Mohon tunggu...
Saiful Anas
Saiful Anas Mohon Tunggu... -

Memang sebaiknya banyak membaca dan menulis supaya fikiran tidak buntu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sengsara di Tanah Merdeka

16 Agustus 2012   21:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:39 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sengsara Di Tanah Merdeka

Pak Maman mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan Ajat sebab itu adalah informasi mengenai keluarganya yang ditinggalkan di desa.

”Si Ujang makin rewel, perutnya semakin besar.”

“Sakit apa?

“Tidak tau, tapi kata bi Inah Ujang kurang gizi, harus banyak minum susu.”

“ Hm..”

Pak Maman mengalihkan pandangannya ke jalan raya, kepada mobil-mobil yang berseliweran. Sudah dua jam dia menunggu truk yang akan memberinya order.

“Tidak di bawa ke Rumah Sakit?” Tanya pak Maman tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya.

Ajat memandang pak Maman dengan tatapan heran. Pak Maman balas menatap Ajat sesaat, lalu kembali mengalihkan tatapannya ke jalan raya, kemudian terdengar dia menghela napas panjang.Tiba-tiba pak Maman  bergerak cepat karena di depannya telah berhenti sebuah truk. Ia mengulurkan tangannya kepada orang yang berada di atas truk. Sekali tarik dia sudah berada di atas truk.

“Sampai nanti, Jat.” Teriak pak Maman melambaikan tangan.

Ajat balas melambai lalu bergegas pergi menjajakan dagangannya. Ajat adalah pedagang asongan yang baru saja kembali dari desanya. Ajat dan pak Maman berasal dari desa yang sama.

Setelah lebih kurang setengah jam perjalanan, truk sampai di tempat yang dituju. Pekerjaannya adalah memuat tanah ke dalam truk. Untuk itu pak Maman dapat Rp.20.000,-Sebetulnya pak Maman ingin ikut ketempat menurunkan tanah, tapi sopir bilang untuk menurunkan tanah cukup 3 orang yang sudah ada.Jadi pak Maman terpaksa kembali ketempat semula dengan jalan kaki sebab kalau dengan angkot itu berarti Rp.4000,-Sayang sekali. Dia merasa bahwa dia harus semakin berhemat.

Sambil berjalan dia memikirkan pembicaraannya dengan Ajat tadi. Jadi si Ujang sakit kurang gizi? Duh! Kasihan Ujang. Bisiknya dalam hati.

Ujang adalah cucunya, anak satu-satunya dari putrinya bernama Lastri. Perkawinan Lastri berantakan gara-gara suaminya yang bernama Basuki kabur dengan perempuan lain persis ketika Lastri sedang hamil tua.Sudah hampir 3 tahun berlalu, entah dimana Basuki si bedebah itu sekarang. Kalau bertemu akan dipaculnya kemaluan si Basuki biar tidak bisa lagi mempermainkan wanita.

Akibat perbuatan si Basuki itu dia harus mengambil alih tugas menghidupi cucunya. Dengan pekerjaan sebagai kuli cangkul penghasilannya tak menentu dan kecil sekali sementara dia harus mengidupi isteri, anak serta seorang cucunya di desa, maka bagaimana pula dia bisa menyediakan gizi untuk cucunya?

Bagaimana pula Lastri bisa membawa si Ujang kerumah sakit atau puskesmas?Darimana dapat uang? Lagi pula, bagaimana sakit kurang gizi bisa disembuhkan kalau obatnya harus makan yang bergizi? Bagaimana bisa memperoleh makanan bergizi kalau untuk memenuhi kebutuhan makanan yang tidak bergizi saja susah? Pak Maman malas meneruskan fikirannya. Pelan-pelan dia berjalan kembali ketempatnya semula tempat dia menunggu truk tadi.

****

Seorang wanita setengah tua sedang memasukan teh manis ke botol minuman plastik.Kemudian terdengan dia berkata:

“Pak! Sebaiknya tunggulah sampai bapak sembuh benar baru kemudian keliling lagi.”

Laki-laki yang dipanggil pak itu menoleh sekilas, lalu berkata lemah: “Kita sudah ndak punya apa-apa lagi.”

“Tapi Bapak kan belum kuat, bagaimana nanti kalau terjadi apa-apa di jalan? Aku akan coba utang lagi di warung buk Mimin. Siapa tahu dia masih mau ngasih.”

Laki-laki tua itu tidak menjawab, ditimang-timangnya beban berat yang akan dipikulnya, ialah sebuah bangku santai yang terbuat dari bambu.Dulu dia dapat mengangkat bangku tersebut dengan mudah, tapi sekarang kekuatannya sudah banyak berkurang dan baru sembuh pula. Sebenarnya diapun tidak begitu yakin dengan kondisinya  sekarang bisa mengangkat beban seberat itu. Tapi kalau tidak keliling, dia tidak akan dapat uang. Menjual bangku santai itu adalah sumber keuangannya satu-satunya guna menghidupi dia dan isterinya. Tadinya ada seorang anak laki-laki yang ikut mereka. Tapi sejak menikah, anaknya itu tinggal dirumah isterinya.Anaknya tidak bisa diharapkan karena penghasilannya sebagai kuli bangunan juga pas-pasan.

Dengan susah payah akhirnya laki-laki itu berangkat juga memikul bangku santai dipundaknya, dia kelihatan payah, apalagi ketika berangkat hanya diganjal secangkir teh.Sebetulnya kalau tetap di rumah dia berniat ingin puasa, tapi kalau harus keluar menjajakan bangku dalam kondisi tubuhnya yang belum kuat betul dia merasa tidak mampu menjalankan ibadah puasa.

****

Pak Maman kelihatan lelah. Sudah hampir dua jam dia berjalan menuju ketempatnya semula. Perasaan haus ditahannya sebab dia puasa.Tapi kakinya sudah mulai terasa berat.

Dia memutuskan untuk istirahat sebentar. Kebetulan dia melihat sebuah bangku santai yang ditaruh dipinggir jalan di bawah pohon. Ada seorang laki-laki yang sedang tiduran di bangku tersebut, kelihatannya juga sedang istirahat.Dihampirinya tempat itu, tapi tak ada ruang tersisa untuknya maka dia duduk saja di bawah di samping bangku.

Pak Maman kembali memikirkan pembicaraannya dengan Ajat tadi. Dia merasa bahwa dia harus semakin giat bekerja, malam ataupun siang. Dia berjanji tidak akan terlalu menghargai tenaganya lagi, berapapun dibayar akan diterimanya. Ujang harus diberi makanan yang cukup.

Tiba-tiba pak Maman mendengar orang yang sedang rebahan di bangku mengerang. Ditatapnya orang itu dengan seksama. Wajahnya kelihatan pucat. Dipegangnya keningnya, terasa panas. “Bapak sakit?” Tanya pak Maman. Laki-laki itu hanya menatapnya sayu. Pak Maman melihat tempat air plastik disamping laki-laki itu, tapi tampaknya airnya sudah kosong, lalu dia menuju sebuah warung yang tidak jauh dari situ, dibelinya sebotol air mineral lalu diberikannya ke laki-laki itu. Laki-laki itu hanya menatapnya lemas. Pak Maman dapat menduga apa yang terjadi lalu tanpa pikir panjang dia kembali ke warung membeli dua potong roti. “Ini makanlah.” Kata pak Maman. Laki-laki itu mencoba memakannya, tapi hanya sedikit. “Paksakan”Kata pak Maman.Laki-laki itu mencobanya lagi. Akhirnya dengan susah payah dia bisa menghabiskan sepotong roti dan sebotol air mineral. Setelah itu wajahnya sudah mulai memerah, dia sudah bisa duduk.

“Tadi istri saya sudah melarang saya keliling tapi saya memaksa. Inilah akibatnya”Kata laki-laki itu lirih.

“Bapak tinggal dimana”? Tanya pak Maman.

“Cukup jauh dari sini” Jawab laki-laki itu: Ayo!Mari saya antar.”Kata pak Maman sembari membimbing laki-laki itu berdiri.

“Saya merepotkan bapak saja”

“Tidak apa-apa”

Bangku ini milik bapak?”

“Ya! Tinggalkan saja. Nanti kalau saya sudah sembuh saya kembali lagi kemari menjemput.”

Sambil memapah laki-laki itu mereka jalan pelana-pelan. Disepanjang jalan yang mereka lalui berjejr bendera dan umbul-umbul berkibar dengan megahnya.

Mengapa banyak bendera?Tanya pak Maman seperti kepada dirinya sendiri.

“Kan hari ini tujuh belas Agustus.” Jawab laki-laki itu pelan.

“ Oh ya?Kok tidak ada panjat pinang?”

“Kan sekarang bulan puasa.”

Bagi pak Maman, perayaan HUT RI itu berarti Panjat Pinang. Baginya itulah yang membedakan HUT RI dengan hari-hari besar lainnya. Entah sudah berapakali panjat pinang yang dilaluinya.Tapi hidupnya tetap seperti ini, padahal situasi sekelilingnya sudah banyak berubah. Sekarang sudah banyak gedung bertingkat, mobil-mobil bagus, jalan lebar-lebar, rumah-rumah aneka warna dan kelihatan mewah.Ajat sering mengatakan kepadanya, ini jaman reformasi, semua sudah berubah, semakin banyak mobil bagus berseliweran di jalan, para pejabat negeri, para wakil rakyat hidup makmur,  gemuk-gemuk, sehat-sehat, gemar berpakaian mahal   dan cincin berkilau di jari manis sebagai aksesoris. Kata Ajat sebagian dari kemewahan itu mereka peroleh dari hasil korupsi. Tapi dia, memberikan cucunya gizi saja tidak mampu sehingga cucunya menderita penyakit busung lapar.

Dia menoleh kepada laki-laki yang sedang dipapahnya, biar sedang sakit masih berusaha keliling menggotong bangku yang cukup berat itu. Ini menggambarkan betapa susahnya kehidupannya, tapi tetap berjuang demi keluarga. “Nasib kami sama.” Bisik pak Maman dalam hati.

Kedua orang laki-laki itu berjalan tertatih-tatih, sayup-sayup terdengar lagu Kebangsaan Indonesia Raya. ……..hiduplah tanahku hiduplah negeriku bangsaku rakyatku semuanya……..

Enam puluh tujuh tahun sudah usia negeri ini. merdeka…..!!

Tapi siapa peduli kepada nasip kedua lelaki  papa itu……? Negarapun tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun