Mohon tunggu...
Darmalasari
Darmalasari Mohon Tunggu... Guru - pribadi

Seorang Ibu dari sepasang putra putri yang cerdik dan penyejuk hati. Seorang manusia yang ingin menjadikan hidupnya lebih baik dari sebelumnya dan dapat berguna bagi orang banyak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sekolahku Kini

28 November 2020   20:29 Diperbarui: 28 November 2020   20:44 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Biasanya setiap hari, aku pergi ke sekolah bersama dengan teman-temanku. Mengayuh sepeda dari rumah ke sekolah. Setiap pagi sebelum memasuki gerbang sekolah kami biasanya disambut oleh bapak dan ibu guru yang bertugas hari itu. Kebiasaan kami senyum, sapa, salam setiap memasuki gerbang sekolah menjadi kebiasaan yang sudah kami lakukan selama bersekolah di sini.

Namun berbeda untuk hari ini, aku datang ke sekolah seorang diri. Perlahan namun pasti aku memasuki gerbang sekolah yang serasa asing bagiku. Seluruh penjuru sekolah sepi, tidak seperti biasanya.

Aku terus melangkah masuk. Lapangan sekolah yang biasanya ramai dengan teman-teman yang berlarian atau sekedar memainkan bola sudah tidak terlihat. Aktivitas pagi yang ramai dengan orang tua yang mengantarkan anak-anaknya tidak terlihat saat itu. Aku mendekati penjaga sekolah yang duduk sendirian ditengah lapangan. Aku menyapanya dengan riang seperti biasa.

" Assalamualaikum Bapak... "
Beliau menoleh dan tersenyum kepadaku. Sambil membalas salam ku

" wa'alaikumsalam neng.. sendirian saja?" ucapnya.

"iya nih, mau ketemu ibu guru buat nganterin buku ini" lanjutku sambil menunjukkan tas plastik yang berisi buku yang aku pinjam sebelum libur panjang ini.

"o... ibunya ada di kantor" sambil menunjuk ke arah kantor

"baiklah, saya duluan pak " aku mengakhiri percakapanku dengan penjaga sekolah itu.

Aku memasuki ruangan majelis guru, disitu ibu guru sudah menunggu kedatanganku. Ya, kami melakukan janji untuk bertemu setelah ibuku menelpon ibu guru semalam. Kali ini, aku tidak bersalaman dengan ibu guru. Janggal rasanya, namun aku tidak dapat melakukan itu karena mengikuti protokol kesehatan yang berlaku.

Ibu guru tersenyum dan menanyakan kabarku, kabar keluargaku dan juga teman-temanku yang dekat dengan rumahku. Aku menjawab sesuai pengetahuanku. Terlihat sendu mata ibu guru menahan rindu.

Aku membalas senyuman ibu guru sambil meletakkan tas plastik berisi buku di atas meja. Ibu guru memintaku untuk langsung pulang kerumah, tak lupa beliau menitipkan salam kepada keluarga dan teman-teman yang aku temui. Bu guru berpesan

"sampaikan salam rindu Ibu untuk teman-teman yang kamu temui, jangan lupa untuk selalu menjaga kesehatan. Masker selalu dipakai, jangan berkumpul jika tidak terlalu diperlukan".

" baik bu.... kami juga sangat merindukan ibu. Saya pulang dulu bu, Assalamualaikum" tutupku sebelum membalikkan badan dan pulang.
Dalam perjalanan menuju gerbang, aku bertemu dengan Bapak penjaga sekolah tadi. Tanpa ditanya, bapak tersebut berbicara kepadaku

"sepi sekali sekarang ini... biasanya jam segini Bapak lihat kalian berlarian di lapangan. Main bola, atau hanya sekedar berkumpul di bawah pohon itu" sambil menunjuk ke arah pohon ketapang rimbun yang biasanya aku dan teman-teman selalu duduk di bawahnya.

"iya pak. Semoga bisa cepat sekolah lagi. kami juga rindu untuk bisa sekolah lagi" ucapku.

"aamiin... semoga cepat selesai pandemi ini ya neng"..

"aamiin..." balasku

" sekarang mau kemana lagi?" sambung bapak penjaga sekolah.

" saya mau pulang pak.... ibu sudah berpesan untuk tidak kemana-mana setelah mengantarkan buku" jawabku.

" baiklah.. hati-hati di jalan" sambungnya

"terimakasih pak.. assalamualaiku" ucapku

"waalaikumsalam" terdengar lirih salam balasan yang diucapkan bapak itu.

Di dalam hati aku berkata "aku sangat merindukan sekolah ini. Seperti biasa riuh, ramai dan penuh dengan aktivitas teman-teman ku" semoga pandemi ini berakhir tanpa harus meninggalkan bekas yang terlalu menyakitkan untuk kami

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun