Akhir-akhir ini kata konde selalu banyak dibicarakan. Ia dibicarakan bukan karena ukuran kecil besarnya, bukan pula karena bentuk rupanya, apalagi karena harganya.
Kon*de /kond/ n gelung rambut; sanggul; kundai; (KBBI), dulu di bawah tahun sembilan puluhan masih banyak terlihat.
Masih jelas terkenang di mata ini, ketika acara-acara besar di negeri ini konde selalu menghiasi rambut para wanita. Berbagai macam bentuk rupanya.Bentuk dan jenis konde sangat bervariasi. Mulai dari tradisional seperti sanggul ukel agung, sanggul bokor, sanggul ukel konde, dan sanggul ukel tekuk.
Sanggul ukel agung istilah untuk konde kupu-kupu. Konde ini berhiaskan bunga mawar, kenanga, dan melati. Konde ini banyak dipakai wanita ketika menjadi pengantin.
Konde sanggul bokor berbentuk tempurung kelapa. Dengan tusuk konde yang pariatif, konde ini dapat menunjukkan derajat sang pemakai. Tusuk konde mulai dari kawat, besi, perak, sampai emas. Ukuran besar kecilnya disesuaikan pula dengan status sipemakai. Jika belum menikah, akan menggunakan yang berukuran kecil, demikian sebaliknya.
Sanggul ukel konde, konde yang berasal dari rambut asli si pemakai. Bagi wanita yang rambutnya panjang biasanya lebih senang dengan konde jenis yang satu ini. Ia bebas mengkreasikan bentuk kondenya. Terlihat anggun dan lebih sesuai jika ia dapat menata sesuai dengan besar kepala dan lebar ukuran muka.
Sanggul ukel tekuk adalah jenis konde yang dipakai para wanita kerajaan pada masa lalu. Para puteri raja, ibu suri, selir, dan dayang-dayang menggunakan jenis ini. Konde ini di tengarai sanggul puteri berdarah biru. Untuk membedakan  permaisuri, ibu suri, selir, ataupun dayang-dayang, dengan melihat tusuk kondenya. Semakin tinggi derajatnya maka tusuk kondenya pun semakin unik dan terbuat dari bahan yang semakin mahal.
Sementara jenis konde modern dapat berjenis cepol, kepang, tiara, bunga, kristal, plintir, dan sarang tawon. Ada pula yang mengikut konde artis seperti BCL, Â Manohara, dan Iyet Bustami.
Konde modern ini tidak terikat pada kebesaran tusuknya. Tidak pula terikat pada besar kecilnya. Konde ini biasanya menyesuaikan acara dan peran sipemakai pada acara yang akan dihadirinya. Tema acara menjadi penentu gaya dan jenis konde. Sangat variatif dan mudah digunakan.
Begitulah bentuk dan jenis yang banyak digunakan pada masa dulu hingga pada masa kini.
Kembali lagi pada bahasan awal bahwa pembicaraan konde akhir-akhir ini, karena sebuah puisi dari puteri Sang Proklamator, Sukmawati Sukarno. Ia bermaksud membanggakan budaya nasional diantaranya konde ini. Sayangnya ia membandingkan dengan jilbab.
Jilbab atau kerudung merupakan pakaian syariat kaum hawa yang beragama Islam. Menurut penggunanya, jilbab bujan sekedar kerudung pengganti konde, yang bisa dipakai semaunya. Jauh dari itu ia lebih menunjukkan ketaqwaan kepada sang Khaliq. Jadi tidak tepat bila dibandingkan.
Pemakaian konde, memang telah banyak ditinggalkan oleh perempuan Indonesia seiring semakin pahamnya mereka pada ajaran agama Islam yang dianutnya.
Agama Islam merupakan agama terbesar di Indinesia. Tercatat hampir 90 % penduduknya memeluk agama ini. Mereka berusaha taat. Bagi mereka kecantikan diri, dengan mengumbar aurat yang salah satunya dengan membuka kepala, atau menggunakan konde merupakam sebuah pelanggaran.
Prinsip mereka, kecantikan boleh diperlihatkan hanya pada suami tercinta saja. Orang pilihan yang sudah menjadi mahromnya.
Inilah dasar tertinggalkannya konde pada akhir-akhir ini.
Begitupun konde, masih banyak pemakaiannya kita temui pada saat pesta pernikahan. Dengan alasan ingin tampil cantik beberapa wanita masih menggunakannya ketika sedang menjadi pengantin.
Selain itu, jika kita ingin melihat konde dapat juga membuka peti wasiat, peninggalan ibu, nenek, atau uyut kita.
Kini pertanyaannya adakah anda sebagai peminat konde?
KL, 060418
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H