Menarik menyimak kunjungan pertama Presiden Jokowi ke sejumlah propinsi di Pulau Sulawesi yang dilaksanakan pada hari ini. Beberapa situs berita online menulis bahwa kunjungan kepala negara kali ini berbeda dari biasanya karena miskin protokoler dan sepi acara seremonial alias dilaksanakan apa adanya. Tidak ada tarian paduppa, tidak ada paduan suara, tidak nampak jejeran anak sekolah berdiri di pinggir jalan bahkan umbul-umbul pun tidak banyak terpasang. Tentu hal ini terasa sedikit aneh dan tidak biasa bagi para pejabat pemerintah di daerah dalam menyambut kedatangan pemimpin dari ibu kota negara. Konon hal ini adalah keinginan dari sang presiden sendiri yang tidak ingin membuat repot tuan rumah.
Ingatan kembali melayang saat masih duduk di bangku sekolah dasar beberapa dekade yang lalu di desa tanah kelahiran saya yang juga di pelosok Sulawesi. Pada saat itu kedatangan para pejabat negara ke daerah kami biasa disambut penuh antusias oleh segenap lapisan masyarakat. Segala sesuatu harus dipersiapkan sebaik mungkin bahkan jauh hari sebelumnya. Aparat pemerintah dalam semua tingkatan dikerahkan untuk memastikan segala sesuatu yang berhubungan dengan acara tersebut nantinya akan berkenan di hati para pejabat dari ibukota negara. Bagi kami para murid sekolah, kedatangan pembesar di daerah kami sangat dinanti karena itu berarti sekolah akan diliburkan. Biasanya akan ada pengumuman dari sekolah bahwa pada hari penyambutan tersebut proses belajar akan diliburkan berhubung para guru dan murid akan dikerahkan untuk menyambut kedatangan sang pembesar. Kami tetap diwajibkan untuk mengenakan seragam sekolah dan harus bersiap dari pagi hari berdiri dipinggir jalan untuk menyambut rombongan pejabat negara sambil mengibarkan bendera kecil. Seragam sekolah terbaik akan kami kenakan lengkap dengan sepatu dan dasi baru, padahal dalam keseharian kadang hanya memakai sandal jepit ke sekolah. Kedatangan pembesar dan rombongan adalah hajatan semua pihak dan merupakan suatu kehormatan untuk menyambut kedatangan mereka. Semua harus terlihat ‘perfect’ dan tampak bersemangat menyambut sang pembesar sambil mengibarkan bendera kecil, sekalipun sang pembesar hanya sekejap melintas dalam mobil mewah dengan iringan voorijder. Untuk momen yang hanya sekejap itu kami harus rela berdiri selama beberapa jam di pinggir jalan di bawah terik matahari yang menyengat.
Sampai saat ini tradisi penyambutan pejabat dari ibu kota negara belum banyak berubah polanya. Dalam setiap acara yang dihelat oleh pemerintah daerah unsur seremonial dan segala pernak-perniknya sangatlah penting. Sebagai masyarakat yang masih memegang adat ketimuran yang sangat menghargai tamu, adalah pamali dan akan mencoreng muka sendiri apabila menyambut tamu secara apa adanya. Pemandangan lazim disaksikan apabila tuan rumah menyambut kedatangan sang pembesar dengan mengalungkan untaian bunga atau kain adat terbaik sebagai ungkapan selamat datang. Selanjutnya mempersilahkan sang pembesar duduk di tempat duduk yang telah dipersiapkan laksana singgasana. Budaya penyambutan seperti ini telah melekat dan menjadi pakem di seluruh pemerintah daerah dalam menyambut sang pejabat dari ibu kota negara. Acara inti hanya berupa laporan tuan rumah yang tak boleh lupa menyebut sederet panjang nama para pejabat yang hadir disertai ekspose keberhasilan yang dicapai. Setelah sambutan singkat yang disampaikan acara kemudian dilanjutkan serangkaian acara seremonial seperti pemotongan pita atau penandatangan prasasti. Untuk kegiatan pencanangan di lapangan kegiatan simbolis yang akan dilakukan sang pembesar salah satunya seperti menanam pohon pada lubang yang telah disiapkan atau mungkin peletakan batu pertama untuk kegiatan konstruksi. Untuk kegiatan seperti itu seringkali tuan rumah perlu melengkapi sang pejabat dengan sederet aksesoris seperti sarung tangan, topi, payung bahkan karpet merah menuju tempat prosesi acara.
Meskipun acara inti berlangsung hanya dalam hitungan menit atau jam, namun sumber daya yang dikerahkan pemerintah daerah tentu tidak sedikit. Tidak terhitung berapa jumlah jam kerja para pegawai negeri dari berbagai instansi yang terpotong akibat meninggalkan tugas pokok karena dilibatkan untuk acara seremonial tersebut. Biaya konsumsi, dokumentasi, pengamanan, seragam panitia, atraksi budaya, paduan suara lengkap dengan perangkat panggung dan sound system yang terbaik harus dikerahkan untuk menyukseskan perhelatan tersebut. Untuk acara atau kegiatan yang telah terjadwal setahun sebelumnya tidaklah merepotkan karena dana kegiatan tentu sudah di siapkan dalam anggaran daerah, namun apabila kunjungan sifatnya insidentil dan kebetulan ilaksanakan di penghujung tahun tentu mendatangkan kesulitan tersendiri bagi pemerintah daerah dari segi pendanaannya. Namun apapun itu ‘the show must go on’ karena nama baik sebagai tuan rumah adalah segala-galanya.
Kunjungan apa adanya yang dilakukan Presiden Jokowi pada hari ini di sejumlah tempat di Pulau Sulawesi bisa jadi adalah bagian dari Revolusi Mental yang didengungkan oleh beliau pada saat pilpres dahulu. Presiden Jokowi mengirimkan isyarat jelas bagi kalangan birokrasi pemerintah bahwa saatnya menciptakan budaya efisiensi di segala bidang. Presiden yang berpengalaman bertahun-tahun dalam bersentuhan dengan birokrasi pemerintahan tentunya paham betapa besar dana yang dapat disisihkan dari hasil efisiensi apabila sejumlah kegiatan seremonial tersebut bisa dikemas dengan cara yang lebih sederhana. Mulai saat ini para menteri, gubernur, walikota/bupati dengan sendirinya perlu menyesuaikan diri dengan etos kerja baru sang presiden dengan mengurangi serangkaian kegiatan seremonial yang boros sumber daya dengan mengalihkannya ke sektor yang lebih produktif.
Tentu sebagai tuan rumah amat lah patut menyambut tamu sebaik-baiknya sebagai bentuk penghargaan atas kunjungannya namun akan terasa janggal jika dilaksanakan secara berlebih-lebihan. Rakyat bisa jadi kagum dengan pola kepemimpinan priyayi yang adigang adigung yang diperlihatkan oleh sebagian pembesar republik ini saat berkunjung ke pelosok negeri. Siapa yang tidak kagum dan nanar melihat simbol-simbol megah kenegaraan saat hadir di pelosok negeri. Namun kedepan bisa jadi model kepemimpinan seperti ini akan mulai ditinggalkan oleh rakyat. Rakyat rupanya lebih mudah bersimpati pada pemimpin yang sederhana, jujur, egaliter, apa adanya, interaksi tanpa sekat jarak dengan rakyat dan menempatkan diri sebagai pelayan masyarakat dalam arti yang sebenar-benarnya. Tentu saja menyederhanakan tradisi penyambutan pejabat yang sudah berlangsung selama ini tidaklah mudah, untuk itu diperlukan contoh konkrit dari pejabat itu sendiri. Setidaknya Presiden Jokowi sudah membuktikan hal tersebut dalam kunjungan pertamanya ke Sulawesi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H