IBU seperti wadah yang mengikuti bentuk bendanya. Kebaikannya membuatnya dapat menjadi wadah bagi siapa saja.
Bus kota sedang padat saat itu. Panas. Saya duduk di bangku alternatif. Bangku buatan agar bus dapat memuat penumpang lebih banyak. Letaknya dekat sopir. Ibu berdiri tak jauh dari saya. Tangan kanannya memegang sandaran bangku bus. Tangan kirinya memegang tangan kakak yang juga berdiri. Bahan makanan yang didapat dari warung nenek, ditaruh di bawah, tidak jauh dari kakinya.
Saya masih kecil saat itu. Entah umur berapa, lupa. Pastinya belum sekolah. Karena udara yang panas, saya pun jadi rewel. Menangis tak henti. Ibu jadi sibuk mengurusi saya dan kakak, yang umurnya hanya terpaut dua tahun dari saya.
Sial. Sibuk mengurus anaknya. Saat turun, ibu lupa, bahan makanan dari nenek tertinggal di bus. Hilanglah bahan makanan yang seharusnya dapat mengisi perut kami selama dua hari ke depan.
Saya tidak ingat reaksi wajah ibu saat itu. Tentu sangat kecewa. Tapi saya masih terlalu kecil untuk memahami kekecewaan dan kekesalannya. Â Saya juga tidak ingat apakah saya dimarahi atau tidak. Tidak ingat.
Tapi saya ingat peristiwa itu, dan seingat saya ibu adalah orang yang tidak pernah mengeluh. Tidak juga pernah marah secara keras dan kasar terhadap anaknya.
Ibu memang bukan tipe perempuan heroik, yang turut turun tangan membantu perekonomian keluarga saat bapak kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, dengan berdagang atau apalah. Bukan. Tapi ia tipe pengelola keuangan yang baik. Tipe orang yang teguh, yang tidak suka menyusahkan orang lain.
Sedari saya kecil, hingga dewasa. Belum pernah sekali pun saya melihat ibu, seperti perempuan-perempuan lainnya membeli baju-baju bagus, kosmetik, atau belanja perhiasan untuk dirinya. Bahkan ia menghindari jajan hal-hal yang tak penting. Tak pernah, saat berbelanja ke pasar ia berhenti di warung bakso, lalu menikmati semangkuk bakso bersama teh botol atau es kelapa seperti ibu-ibu yang lain kerap lakukan. Tidak pernah.
Tidak hanya ibu, kami anak-anaknya, lima bersaudara, pun tidak bisa jajan seenaknya. Jatah Rp 200 sehari yang diberikan untuk jajan saya saat SD waktu itu, harus cukup. Â Tidak akan ada bonus. Bila uang jajan sudah habis, saat tukang jajanan lewat depan rumah, jangan harap ibu akan membelikannya.
Tapi saya dan kakak-kakak, tidak pernah menunggak SPP sekolah. Tidak pernah, tidak bisa membayar atau membeli buku pelajaran. Tidak pernah memakai seragam yang sudah lusuh atau robek. Untuk urusan pendidikan, ibu selalu utamakan.