Mohon tunggu...
darma ismayanto
darma ismayanto Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu seperti pisau, harus terus diasah agar semakin tajam

Pecinta makanan berbumbu kacang, yang jatuh cinta pada puisi Chairil, karya-karya Pramoedya dan Ahmad Tohari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Ibu dalam Ingatanku

6 Desember 2020   07:38 Diperbarui: 6 Desember 2020   07:41 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki media 90-an, perubahan mulai terjadi di Pondok Gede. Di dekat pasar tradisionalnya berdiri Mal. Kemodernan yang harus ditebus dengan dirobohkannya sebuah pondok bersejarah yang menjadi asal-usul nama daerah Pondok Gede.

Satu cerita yang menarik saat didirikannya mal Pondok Gede adalah, soal pohon asem berukuran ekstrabesar yang tidak dapat dirobohkan. Berbagai kisah mistis pun mulai menyelimuti tentang pohon asem tersebut. Mulai dari kisah banyak dan kuatnya jin yang menghuni pohon tersebut, hingga saat orang yang coba memotong kesurupan dan besoknya meninggal. Kampak, gergaji mesin, dan alat berat yang tidak bekerja dengan baik untuk menumbangkan pohon. Hingga kisah didatangkannya dukun-dukun hebat untuk mengusir jin di pohon, agar dapat dengan mudah ditumbangkan.

Tapi memang pohon asem itu sungguh sakti. Ia tidak tumbang-tumbang. Tapi lama-kelamaan memang pohon itu seperti mulai mati, daunnya mengering, rontok tak tumbuh-tumbuh. Barulah bisa ditumbangkan.

Yang tidak bisa saya lupakan bila berbicara soal pasar Pondok Gede yaitu, dahulu ada anak-anak rema teman kakak yang berprofesi sebagai sopir dan calo di terminal Pondok Gede yang kerap main ke rumah. Ibu menerimanya dengan baik. Memberi mereka makan dan membiarkan mereka tidur di rumah.

Karena perlakuan yang baik, mereka pun jadi segan. Mereka sama sekali tidak berbuat yang aneh-aneh selama di rumah. Bahkan kerap saat pulang dari pasar mereka membawa bahan makanan, sambil terus meyakinkan ibu kalau itu dapat beli dari uang yang halal. Mereka tidak ingin mengecewakan ibu.

Ibu memang menerima mereka dengan sangat baik. Bahkan pernah, di saat Lebaran dan mereka tidak pulang kampung, mereka turut dibawa oleh ibu diajak untuk berkeliling mengunjungi ke rumah saudara kami. Tidak ditinggal, untuk menjaga rumah.

Ya itulah ibu. Bagiku, ia seperti wadah yang mengikuti bentuk benda cairnya. Bukan benda  air yang mengikuti bentuk wadahnya. Kebaikannya membuatnya dapat menjadi wadah bagi siapa saja. Ibu sekolah pertamaku untuk berbagai hal. Ketegasan, ketenangan, kebaikan, dll.

Saat ini wajah Pondok Gede sudah sangat berubah. Tapi penilaian dan perasaan saya tentang ibu tidak pernah berubah. Ibu sekolah hidup pertamaku.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun