Mohon tunggu...
darma ismayanto
darma ismayanto Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu seperti pisau, harus terus diasah agar semakin tajam

Pecinta makanan berbumbu kacang, yang jatuh cinta pada puisi Chairil, karya-karya Pramoedya dan Ahmad Tohari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Ibu dalam Ingatanku

6 Desember 2020   07:38 Diperbarui: 6 Desember 2020   07:41 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Darma, Sumber: freepngimg

IBU seperti wadah yang mengikuti bentuk bendanya. Kebaikannya membuatnya dapat menjadi wadah bagi siapa saja.

Bus kota sedang padat saat itu. Panas. Saya duduk di bangku alternatif. Bangku buatan agar bus dapat memuat penumpang lebih banyak. Letaknya dekat sopir. Ibu berdiri tak jauh dari saya. Tangan kanannya memegang sandaran bangku bus. Tangan kirinya memegang tangan kakak yang juga berdiri. Bahan makanan yang didapat dari warung nenek, ditaruh di bawah, tidak jauh dari kakinya.

Saya masih kecil saat itu. Entah umur berapa, lupa. Pastinya belum sekolah. Karena udara yang panas, saya pun jadi rewel. Menangis tak henti. Ibu jadi sibuk mengurusi saya dan kakak, yang umurnya hanya terpaut dua tahun dari saya.

Sial. Sibuk mengurus anaknya. Saat turun, ibu lupa, bahan makanan dari nenek tertinggal di bus. Hilanglah bahan makanan yang seharusnya dapat mengisi perut kami selama dua hari ke depan.

Saya tidak ingat reaksi wajah ibu saat itu. Tentu sangat kecewa. Tapi saya masih terlalu kecil untuk memahami kekecewaan dan kekesalannya.  Saya juga tidak ingat apakah saya dimarahi atau tidak. Tidak ingat.

Tapi saya ingat peristiwa itu, dan seingat saya ibu adalah orang yang tidak pernah mengeluh. Tidak juga pernah marah secara keras dan kasar terhadap anaknya.

Ibu memang bukan tipe perempuan heroik, yang turut turun tangan membantu perekonomian keluarga saat bapak kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, dengan berdagang atau apalah. Bukan. Tapi ia tipe pengelola keuangan yang baik. Tipe orang yang teguh, yang tidak suka menyusahkan orang lain.

Sedari saya kecil, hingga dewasa. Belum pernah sekali pun saya melihat ibu, seperti perempuan-perempuan lainnya membeli baju-baju bagus, kosmetik, atau belanja perhiasan untuk dirinya. Bahkan ia menghindari jajan hal-hal yang tak penting. Tak pernah, saat berbelanja ke pasar ia berhenti di warung bakso, lalu menikmati semangkuk bakso bersama teh botol atau es kelapa seperti ibu-ibu yang lain kerap lakukan. Tidak pernah.

Tidak hanya ibu, kami anak-anaknya, lima bersaudara, pun tidak bisa jajan seenaknya. Jatah Rp 200 sehari yang diberikan untuk jajan saya saat SD waktu itu, harus cukup.  Tidak akan ada bonus. Bila uang jajan sudah habis, saat tukang jajanan lewat depan rumah, jangan harap ibu akan membelikannya.

Tapi saya dan kakak-kakak, tidak pernah menunggak SPP sekolah. Tidak pernah, tidak bisa membayar atau membeli buku pelajaran. Tidak pernah memakai seragam yang sudah lusuh atau robek. Untuk urusan pendidikan, ibu selalu utamakan.

Untuk itu, mesti gaji bapak sebagai seorang sopir tidaklah besar, tidak ada anak-anak ibu yang putus sekolah. Minimal sampai sekolah menengah atas.

Ibu adalah seorang yang teguh. Ia lebih memilih melakukan penghematan secara ketat ketimbang meminjam uang dan menyusahkan orang lain. Ia akan mengesampingkan semua hal yang tidak penting, dan fokus dengan apa yang menjadi prioritas.

Ya itulah ibu.Ibu sekolah pertama ku.

Sikapnya itu, kini turut memengaruhi ku. Dalam berbagai hal, saya selalu berusaha untuk fokus dan mengutamakan hal-hal yang menjadi prioritas. Sikap tidak ingin bergantung dan menyusahkan orang lain sudah terapkan sedari kecil. Dari sisi ekonomi, saya selalu berusaha untuk menabung. Menyiapkan dana cadangan yang tidak dapat diganggu, sehingga saat terjadi hal yang mendesak dapat saya gunakan, tanpa perlu meminjam dan merepotkan orang.

Terbiasa menentukan hal-hal yang menjadi prioritas, hal ini sangat membantu saya dalam bekerja. Saat pekerjaan sedang menumpuk, saya tak pernah kerepotan menentukan mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu. Dengan cepat saya akan dapat menentukannya. Saat bekerja saya juga selalu berusaha untuk fokus. Saya akan menghindari menyelingi dengan hal-hal yang tidak penting, seperti bermain sosial media atau games. 

Ibu sekolah pertamaku, dan aku belajar begitu banyak darinya.  

SDN Bina Bangun dan Perumahan Bumi Jatiwaringin

Ilustrasi: Darma, Sumber: freepngimg
Ilustrasi: Darma, Sumber: freepngimg

Pondok Gede, Bekasi di medio 1980-an. Bangunan bersejarah berupa pondok besar yang menjadi cikal-bakal nama daerah Pondok Gede masih berdiri saat itu. Belum dirobohkan dan berganti menjadi mal.  Tapi di daerah Bumi Jatiwaringin sudah berdiri perumahan, yang letaknya berdekatan dengan SDN Bina Bangun, tempat saya pertama kali menuntut ilmu secara formal.

Masih sangat membekas dalam ingatan, saat pertamakali datang ke sekolah bersama ibu. Berseragam merah putih serba-baru, rambut belah pinggir yang tertutup topi dan termos minuman yang tergantung di dada, saya percaya diri untuk mulai belajar di sekolah hari itu.

Setelah ikut mengantre di depan kelas bersama anak lain, nama saya tidak dipanggil-panggil juga oleh ibu guru untuk memasuki kelas. Bahkan setelah antrean habis. Tak kunjung dipanggil.

Ibu panik. Dibawanya saya saya ke ruang kepala sekolah. Kepala sekolah beralasan saya masih terlalu kecil. Padahal bukan itu, hanya karena ada urusan administrasi yang belum terlunasi.

Ibu segera mengajak saya ke rumah adik iparnya, Matsuri. Saya biasa memanggilnya mas Mat. Ia dosen di Universitas Indonesia. Ia juga menjadi ketua wali murid di SDN Bina Bangun, kebetulan beberapa anaknya sekolah di SD tersebut.

Letak rumah mas Mat, cukup dekat dengan SD Bina Bangun. Untung ia masih di rumah. Belum berangakat mengajar. Setelah mendengar penjelasan dari ibu, Mas Mat, saya dan ibu menemui kepala sekolah.

Lancar. Saya masuk sekolah tanpa ada alasan apa-apa lagi. Untuk urusan sekolah ibu memang tidak pernah main-main. Bagaimana pun caranya, ia akan memperjuangkan agar anak-anaknya dapat tetap bersekolah. Termasuk menjadi diplomat yang ulung saat anak terkena masalah di sekolah.

Pernah suatu kali, kaka laki-laki saya membuat masalah di sekolah. Ia bolos bersama teman-temannya. Ibu pun dipanggiil. Oleh wali kelasnya ibu disodori secarik surat perjanian, bila kakak mengulangi lagi kesalahannya, maka akan dikeluarkan dari sekolah.

Orang tua lain yang anaknya ikut membolos, dengan ringannya menandatangani, hanya ibu yang tidak. Ibu tetap bersikap tenang.

"Anak saya masih remaja pak, masih kelas satu SMA. Tentu atas kesalahannya saya akan memarahinya. Tapi, di usianya yang masih remaja apa iya dia tidak akan melakukan kesalahan lagi.  Lalu saat anak saya melakukan kesalahan, bapak akan dengan mudah mengeluarkannya. Saat dikeluarkan, masa depannya sudah pasti akan suram. Saya menolak menandatangani. Kita sama-sama pendidik pak, saya mendidik di rumah, bapak di sekolah. Mari sama-sama mendidik, agar dia menjadi anak yang baik dan bermasa depan cerah," kata ibu.

Maka bersihlah kertas penjanjian itu dari tanda tangan ibu. Ibu adalah seorang negosiator yang ulung.

Sebagai seorang ibu dari lima orang anak, dua perempuan dan tiga laki-laki. Ibu memang sudah terbiasa mengurus berbagai macam permasalahan anaknya. Baik di sekolah maupun di luar. Bapak tidak pernah ikut campur.

Ibu sekolah pertamaku. Ia memberikan contoh, bahwa akal harus selalu diutamakan. Saat ada masalah hadapi dengan tenang. Jangan mengutamakan otot dan emosi. Atau bertindak menjadi pengecut, dengan kabur dan berlari.

Tumbangnya Pohon Asem

Ilustrasi: Darma, Sumber: freepngimg
Ilustrasi: Darma, Sumber: freepngimg

Memasuki media 90-an, perubahan mulai terjadi di Pondok Gede. Di dekat pasar tradisionalnya berdiri Mal. Kemodernan yang harus ditebus dengan dirobohkannya sebuah pondok bersejarah yang menjadi asal-usul nama daerah Pondok Gede.

Satu cerita yang menarik saat didirikannya mal Pondok Gede adalah, soal pohon asem berukuran ekstrabesar yang tidak dapat dirobohkan. Berbagai kisah mistis pun mulai menyelimuti tentang pohon asem tersebut. Mulai dari kisah banyak dan kuatnya jin yang menghuni pohon tersebut, hingga saat orang yang coba memotong kesurupan dan besoknya meninggal. Kampak, gergaji mesin, dan alat berat yang tidak bekerja dengan baik untuk menumbangkan pohon. Hingga kisah didatangkannya dukun-dukun hebat untuk mengusir jin di pohon, agar dapat dengan mudah ditumbangkan.

Tapi memang pohon asem itu sungguh sakti. Ia tidak tumbang-tumbang. Tapi lama-kelamaan memang pohon itu seperti mulai mati, daunnya mengering, rontok tak tumbuh-tumbuh. Barulah bisa ditumbangkan.

Yang tidak bisa saya lupakan bila berbicara soal pasar Pondok Gede yaitu, dahulu ada anak-anak rema teman kakak yang berprofesi sebagai sopir dan calo di terminal Pondok Gede yang kerap main ke rumah. Ibu menerimanya dengan baik. Memberi mereka makan dan membiarkan mereka tidur di rumah.

Karena perlakuan yang baik, mereka pun jadi segan. Mereka sama sekali tidak berbuat yang aneh-aneh selama di rumah. Bahkan kerap saat pulang dari pasar mereka membawa bahan makanan, sambil terus meyakinkan ibu kalau itu dapat beli dari uang yang halal. Mereka tidak ingin mengecewakan ibu.

Ibu memang menerima mereka dengan sangat baik. Bahkan pernah, di saat Lebaran dan mereka tidak pulang kampung, mereka turut dibawa oleh ibu diajak untuk berkeliling mengunjungi ke rumah saudara kami. Tidak ditinggal, untuk menjaga rumah.

Ya itulah ibu. Bagiku, ia seperti wadah yang mengikuti bentuk benda cairnya. Bukan benda  air yang mengikuti bentuk wadahnya. Kebaikannya membuatnya dapat menjadi wadah bagi siapa saja. Ibu sekolah pertamaku untuk berbagai hal. Ketegasan, ketenangan, kebaikan, dll.

Saat ini wajah Pondok Gede sudah sangat berubah. Tapi penilaian dan perasaan saya tentang ibu tidak pernah berubah. Ibu sekolah hidup pertamaku.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun