Manusia, sebuah misteri yang terjalin dari jasad dan jiwa, berdiri di ambang keabadian dan kefanaan. Dalam tubuh yang fana mengalir jiwa yang abadi, sebuah kilauan ilahi yang membuat manusia mampu menjangkau kedalaman makna dan puncak pemikiran. Jiwa manusia bukanlah sekadar nafas hidup, melainkan roh yang membawa manusia melintasi dunia materi menuju cakrawala spiritual. Inilah keajaiban yang menjadikan manusia lebih dari sekadar debu duniawi, mampu memahami dan merindukan Sang Tak Terbatas.
Jiwa, sumber kehidupan yang agung, adalah anugerah tak ternilai dari Allah, Sang Pencipta segala yang ada. Kehilangannya menghantar manusia pada kehampaan; keberadaannya menyalakan pelita terang dalam kegelapan. Pandangan ini telah menjadi pijakan Gereja Katolik, diilhami oleh kebijaksanaan St. Thomas Aquinas. Dalam kebesaran dan kelemahannya, manusia adalah makhluk yang bergantung kepada Allah. Ia adalah bayangan yang mencari cahaya, dahaga yang hanya dapat dipuaskan oleh lautan kasih Sang Pencipta.
Kisah Jiwa yang Terpanggil: St. Fransiskus dan Kekayaan Sejati
St. Fransiskus dari Assisi, seperti seorang pengelana dalam gelap malam, menemukan jalan menuju terang yang memuliakan jiwanya. Pada mulanya, ia seorang pemuda yang tenggelam dalam kemilau dunia, memuja kemewahan dan mengumpulkan harta benda dengan segenap daya. Kekayaan menjadi tujuannya, namun dalam keheningan batin yang tak terbendung, ia mendengar bisikan dari langit. Kilauan duniawi memudar dan menyisakan kehampaan, hingga Fransiskus berhadapan dengan kebenaran sejati: hanya Allah yang mampu memenuhi dahaga jiwa manusia.
Perubahan yang ia alami begitu mendalam. Harta benda yang dulu ia agungkan menjadi abu di hadapan cinta kasih Allah yang tak terhingga. Dalam wasiatnya, ia menuliskan pengalaman yang menggetarkan hati:
"Beginilah Tuhan menganugerahkan kepadaku, Saudara Fransiskus, untuk mulai melakukan pertobatan. Ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan, berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggalkan dunia." (Was 1-3)
Dalam kemiskinannya, Fransiskus menjadi kaya akan sesuatu yang tak terukur: kekayaan surgawi yang bersumber dari Allah. Ia tak sekadar menanggalkan harta duniawi, tetapi melepaskan diri dari beban ilusi dunia. Kemiskinan yang ia peluk adalah cerminan dari Kristus, yang rela merendahkan diri dan hidup sebagai hamba. Dengan berani menapaki jalan kemiskinan, ia menjelma menjadi saksi keindahan kekayaan ilahi yang tidak pernah habis.
Panggilan di Tengah Gemerlap Zaman
Di tengah era modern yang berlimpah kilauan materi, kisah Fransiskus menyeruak sebagai undangan untuk meninjau kembali apa yang benar-benar berharga. Dunia hari ini menawarkan segala macam kenikmatan duniawi, namun sering kali mengabaikan sesuatu yang lebih dalam: jiwa yang haus akan Allah. Manusia begitu mudah tergoda oleh bayangan-bayangan fana, mengira kebahagiaan dapat dibeli atau dimiliki, padahal sejatinya kebahagiaan adalah karunia dari Sang Kekal.
Namun, sebagaimana Fransiskus menemukan kelegaan dalam melepaskan, kita juga dapat membuka hati kepada kekayaan rohani. Melepaskan bukanlah tanda kekurangan, tetapi sebuah pembebasan. Di sanalah manusia menemukan dirinya, bukan sebagai budak dari dunia, tetapi sebagai anak dari Allah yang kekal. Dalam Allah, ada damai yang melampaui pengertian, ada cinta yang tak tergoyahkan, dan ada sukacita yang tak berkesudahan.