Mohon tunggu...
Daris Dzulfikar
Daris Dzulfikar Mohon Tunggu... Seniman - Freelance Filmmaker

Penciptaan Seni Videografi, Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film Indonesia Era Kolonial (Bagian 1)

24 September 2022   10:46 Diperbarui: 24 September 2022   16:11 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rejo Grup Loetoeng Kasaroeng dalam proses syuting di Menes, sebelah barat Kota Pandeglang (Sumber: National Geographic).

Salah satu faktor dimulainya kemajuan peradaban terjadi pada awal abad 20 ketika Terusan Suez yang menghubungkan antara Laut Mediterania dengan Laut Merah terbuka. Sehingga, membuat perjalanan dari Eropa ke beberapa negara di bagian belahan timur bumi semakin singkat. Peristiwa ini juga yang akhirnya mendorong bangsa Eropa untuk datang ke daerah Hindia Belanda, tak terkecuali Kota Batavia. Keunggulan daerah yang terletak di daerah Barat Laut Pulau Jawa ini adalah menjadi pusat perekonomian, sehingga mengundang bangsa Eropa, utamanya Belanda untuk dapat turut mengambil bagian dalam peningkatan aktivitas ekonomi ini. Beberapa bangunan dibentuk pada saat itu, termasuk gedung-gedung hiburan pertunjukan dan bioskop (Burhan, 2008). 

Berkembangnya aktivitas industri ini mendorong berbagai penemuan teknologi baru untuk mempermudah aktivitas manusia. Tak terkecuali, teknologi untuk pembuatan film yang digagas dengan pertunjukan pertama di Grand Cafe Boulevard des Capucines Paris di tahun 1895 hingga akhirnya industri film menjangkau berbagai negara lain. Salah satunya, Hindia Belanda yang dimulai pada awal tahun 1900-an (Ardan, 1984). 

Dalam catatan sejarah, film di Batavia pertama kali diputarkan pada 5 Desember 1900 oleh perusahan Bioskop milik orang Belanda yang bernama Nederlandsche Bioscope Maatschappij yang terletak di Kebon Jahe, Tanah Abang. Film yang diputar adalah film bisu produksi luar negeri dengan cerita yang membahas berbagai tema kehidupan khas Eropa atau Amerika. Film yang diputar adalah video rekaman perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Ciri khas film yang diputar pada masa ini adalah video monokrom tanpa suara serta film bisu yang hanya dapat diputar dalam studio atau yang disebut bioscoop. Sehingga, masyarakat Hindia Belanda, khususnya Batavia menyebutnya dengan ‘Gambar Idoep’ (Biran, 2009: 27-33). 

Pemutaran perdana film di daerah Hindia Belanda diabadikan dalam surat kabar Bintang Betawi yang dimuat pada 30 November 1900: 

“De Nederlandsch Bioscope Maatschappij (Maatschapij Gambar Idoep) memberi tahoe bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi liat tontonan amat bagoes, jaitoe gambar-gambar idoep dari banyak hal jang belon lama telah kejadian di Europa dan di Afrika Selatan….”.

Dalam berita ini juga memuat informasi mengenai lokasi bioskop serta harga tiket masuk yang terdiri dari 3 kelas dengan harga yang berbeda-beda. Kelas pertama seharga 2 gulden, kelas kedua seharga 1 gulden dan kelas ketiga seharga 0,5 gulden. 

Pada awal pemutaran bioskop, film-film yang diputarkan hanya dapat ditonton oleh kalangan elit, seperti Meneer (julukan Tuan untuk bangsa Eropa), pejabat pemerintah, keluarga dari bangsa Eropa serta Vreemde Oosterlingen (sebutan untuk orang Timur Asing). Begitu pula lokasinya yang masih berpindah-pindah, seperti menyewa gedung milik Kapten Tionghoa Tan Boen Koei serta secara sederhana diputar di Lapangan Mangga Besar atau Los Pasar Tanah Abang. Pemutaran film yang dilaksanakan di tempat terbuka seperti ini memiliki harga tiket yang lebih murah (Biran, 2009: 27-33). 

Iklan surat kabar Bintang Betawi yang memuat pemutaran film pertama di Hindia Belanda (Sumber: Surat Kabar Bintang Betawi, 30 November 1900).
Iklan surat kabar Bintang Betawi yang memuat pemutaran film pertama di Hindia Belanda (Sumber: Surat Kabar Bintang Betawi, 30 November 1900).
Pemutaran film bersuara pertama di Indonesia, Bioskop Oost Java, Surabaya, Desember 1929 (Sumber: Sinematek Indonesia).
Pemutaran film bersuara pertama di Indonesia, Bioskop Oost Java, Surabaya, Desember 1929 (Sumber: Sinematek Indonesia).

Seiring berjalannya waktu, bangsa Hindia Belanda dapat menonton pertunjukan di bioskop dengan harga tiket yang lebih murah. Media film ini ternyata dapat menjadi sarana belajar budaya dari berbagai suku dan bangsa. Seperti film-film yang berasal dari India, Hongkong dan Amerika maupun berbagai daerah lain di Indonesia dapat menyampaikan pesan terkait kebiasaan, budaya dan adat istiadat yang dianut. Film menjadi cara untuk membuat masyarakat mendapatkan sebuah informasi baru dan gambaran budaya dari film yang ditonton (Abdullah, Biran, Ardan, 1993).  

Film Pertama Buatan Hindia Belanda

Industri perfilman di Indonesia bermula dari pementasan komedi stambul atau yang disebut dengan pertunjukan keliling di Surabaya pada awal abad ke-20. Kata Stambul berasal dari kata Istanbul untuk merepresentasikan eksotisme dunia timur. Hal ini dikarenakan banyaknya adaptasi cerita seribu satu malam. Meskipun pada awalnya dianggap sebagai karya impor luar negeri, namun setelah ditelisik lebih jauh, karya Stambul menggunakan pakaian, lagu, perlengkapan dan instrumen karya asli dari masyarakat Hindia Belanda (Soekiman, 2014). Dengan semakin maraknya pertunjukkan komedi Stambul ini, menjadi awalan cikal bakal industri tontonan dan industri film di Indonesia. 

Setelah bioskop berhasil hadir di Indonesia, sayangnya masih belum ada film Indonesia yang ditayangkan di bioskop. Cerita-cerita yang diputar pada bioskop Kota Hindia Belanda berpusat pada kehidupan warga Eropa (Arief, 2010). Sebaliknya, bioskop didominasi oleh film impor hingga dekade kedua abad 20. Baru pada tahun ke-26 pasca berdirinya bioskop pertama, akhirnya dibuatlah film pertama di Hindia Belanda. 

Film pertama yang diproduksi dengan mengangkat cerita dari penduduk Hindia Belanda adalah Loetoeng Kasaroeng yang diproduksi NV Java Film Company yang didirikan oleh L. Heuveldorp dan G. Kruger dengan bantuan dari Bupati Bandung, Wiranata Koesoemah V untuk memenuhi biaya produksi. Alasan dari produksi film ini adalah persetujuan dan obsesi Wiranata untuk mengembangkan kesenian dan kebudayaan Sunda dalam film pertama yang diproduksi Hindia Belanda (Khoirunnisa, 2020:46). Pemain dalam film ini adalah kaum priyayi pribumi, seperti anak bupati Wiranata Koesoemah V. 

Poster promosi film Loetoeng Kasaroeng (Sumber: Buku Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa karya Misbach Yusa Biran).
Poster promosi film Loetoeng Kasaroeng (Sumber: Buku Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa karya Misbach Yusa Biran).

Film Loetoeng Kasaroeng dibuat pada tahun 1926 menjadi film bisu pertama yang diproduksi di Hindia Belanda (Arief, 1997). Film ini ditayangkan pada 31 Desember 1926 di Bioskop Elite dan Majestic, Bandung. Film ini menginspirasi berbagai tema cerita lokal, hingga akhirnya muncul berbagai film seperti Si Tjonat, Resia Borobudur, Nyai Dasima, Melati van Agam dan lain-lain (Soekiman, 2014). 

Poster film Loetoeng Kasaroeng (Sumber: Buku Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa karya Misbach Yusa Biran).
Poster film Loetoeng Kasaroeng (Sumber: Buku Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa karya Misbach Yusa Biran).

Loetoeng Kasaroeng bercerita tentang kisah cinta. Lebih lengkapnya, Loetoeng Kasaroeng menceritakan tentang kakak beradik, Purbasari dan Purbararang yang bersaing. Purbararang yang merupakan kakak Purbasari menggoda adiknya mengenai kekasih terakhirnya, Lutung (Guru Minang), sedangkan Pacar Purbararang, Indrajaya adalah pria yang tampan. Namun, kakak beradik itu pada akhirnya mengetahui bahwa Lutung sebenarnya adalah dewa yang memiliki wajah lebih tampan dari Indrajaya. 

Penjualan tiket dari Loetoeng Kasaroeng terbilang cukup mahal. Sehingga, hanya dapat ditonton oleh priyayi dan orang Eropa secara langsung di bioskop. Sedangkan bangsa Hindia Belanda yang memiliki penghasilan rendah tidak dapat menontonnya, hanya melihat di balik layar bioskop dengan tampilan terbalik. 

Kegiatan perfilman (membuat dan menonton film) yang dilakukan masyarakat dalam era ini berhasil membentuk industri film pada masa Hindia Belanda. Bahkan artefak-artefak yang berupa bioskop pun bangunannya masih ada hingga sekarang yang secara detail akan penulis bahas di tulisan selanjutnya. 

Sumber:
Buku:
Abdullah, T., Biran, M. Y., Ardan, S.M. 1993. Film Indonesia Bagian I (1900-1950). Jakarta: Perum Percetakan Negara RI.
Ali, Mohammad. 1984. Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa
Ardan, S. 1984. Data Perbioskopan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video, Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan PERFIN.
Arief, M. S. (2010). Politik Film di Hindia Belanda. Depok: Komunitas Bambu.
Arief, M. Sarief. 1997. Permasalahan Sensor dan Pertanggungjawaban Etika Produksi. Jakarta: Badan Pertimbangan Perfilman Nasional.
Biran, M. Y. 1993. Sejarah Film 1900–1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Dewan Film Nasional. Komunitas Bambu
Jauhari, H. 2013. Jurnalisme Televisi Indonesia, Tinjauan Luar Dalam. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Koentjaraningrat, Prof. Dr. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Soekiman, D. 2014. Kebudayaan Indis. Depok: Komunitas Bambu.
Tjasmadi, HM Johan. 100 Tahun Bioskop di Indonesia 1900 - 2000. Bandung: Megindo Tunggal Sejahtera

Jurnal:
Batubara, Taslim. 2020. Memutar Sejarah “Gambar Idoep” Masa Silam: Industri Perfilman dan Dampaknya di Medan pada Era Kolonial Belanda sampai Orde Baru. Warisan: Journal of History and Cultural Heritage  

Skripsi:
Khoirunnisa, Lutfiana. 2020. Peranan Etnis Cina dalam Industri Perfilman pada Zaman Hindia Belanda Tahun 1900-1942. Jember: Universitas Jember

Web:
Pranata, Galih.  2021. Melihat Produksi Loetoeng Kasaroeng, Film Bisu Pertama Indonesia.

Rinoza, Renal. 2009. Dosa Asal Tak Berampun Dalam Catatan Historiografi Film Indonesia.  

Hutagalung, Ridwan. 2013. Bioskop di Bandung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun