Mohon tunggu...
Daris Dzulfikar
Daris Dzulfikar Mohon Tunggu... Seniman - Freelance Filmmaker

Penciptaan Seni Videografi, Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Regulasi Film Indonesia: Era Orde Baru dan Sekarang

24 September 2022   09:15 Diperbarui: 24 September 2022   10:03 1715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Riri Riza saat syuting Film Humba Dreams (Sumber: OPPO Indonesia)

Undang Undang Perfilman seperti kitab suci bagi insan perfilman di Indonesia.

Membaca Undang-Undang Perfilman pada era Presiden Soeharto (UU No.8 Tahun 1992) dan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (UU No. 33 Tahun 2009) seperti membaca kitab suci yang mendasari perfilman di Indonesia. Secara garis besar, undang-undang ini mengatur segala hal tentang perfilman di Indonesia. Dalam UU versi orde baru, diatur juga ekosistem film lain selain produksi film, yaitu aturan yang memberlakukan export dan import film. 

Dalam era orde baru, sepertinya pembuat film juga harus berhati-hati dikarenakan aturan sensor film pada zaman ini cukup ketat dan bersanksi berat. Bahkan mungkin pada waktu itu tidak ada negosiasi dan dialog antara lembaga sensor dengan pembuat film tentang film yang memasuki proses sensor. Sehingga akan merugikan pihak pembuat film.

Undang-undang ini juga memberi perhatian kepada para insan perfilman yang dibuktikan dengan adanya aturan untuk menghindari pemusatan industri film (tapi pada kenyataannya, sampai hari ini, industri tersebut hanya terpusat di ibu kota). Sedikit sekali pemerataan, jika adapun, hanya di kota-kota besar (seperti Yogyakarta dan Makassar). Undang-undang perfilman pada era orde baru juga mengatur dan meningkatkan kapasitas ekosistem film melalui pembinaan profesi dan lain lain. Hal tersebut dilakukan untuk tetap menjaga tujuan film dan mengukuhkan fungsinya sebagai sarana penerangan, pendidikan, dan hiburan.

Sedangkan, dalam Undang-Undang versi terbaru yang dirilis pada tahun 2009 di era kepemimpinan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, banyak pasal dan aturan yang ditambahkan. Dalam UU ini, perfilman diharapkan memiliki fungsi sebagai pendorong daya kreatif, ekonomi, pendidikan, hiburan, informasi dan kebudayaan. Dijelaskan secara detail pula tentang klasifikasi usia untuk setiap tontonan film yang mana dalam UU sebelumnya tidak tertulis. 

Ekosistem film yang lain pun ditambahkan dalam undang-undang ini, yaitu kegiatan pengarsipan film. Karena menurut saya, pengarsipan film sangatlah penting untuk merekam jejak perkembangan negara pada era tertentu. Pengarsipan film ini juga berlaku tidak hanya pada film cerita, namun pada film dokumenter yang memiliki nilai-nilai sejarah dan budaya bangsa.

Riri Riza saat syuting Film Humba Dreams (Sumber: OPPO Indonesia)
Riri Riza saat syuting Film Humba Dreams (Sumber: OPPO Indonesia)

Segala hal yang berkaitan dengan perizinan perfilman juga tertulis dengan jelas birokrasinya. Jobdesk dalam produksi film juga diatur jelas dan lebih tertata rapi, dan tentunya insan perfilman yang terlibat memiliki perlindungan hukum, asuransi serta jaminan sosial dan tenaga kerja. Bahkan, penggunaan anak dibawah umur untuk keterlibatan dalam produksi sebuah film (talent) diatur dalam undang-undang. Hal tersebut langsung diawasi dengan keterlibatan langsung Menteri Kebudayaan dalam mengurusi hal ini. 

Banyak sekali penambahan yang dilakukan pada UU versi baru ini. Dalam UU versi terbaru ini, diatur juga tentang prioritas penggunaan SDM lokal daripada asing. Distribusi (pertunjukan) film juga lebih detail diatur dalam UU yg baru ini, seperti aturan untuk pelaporan berkala jumlah penonton kepada menteri. Terdapat pasal apresiasi film (di versi sebelumnya tidak ada) yang mana di dalamnya ada festival film, lokakarya dan kritik film. Sensor film dalam undang-undang versi baru ini lebih mengutamakan sensor mandiri, berdasarkan dialog dengan pemilik film, contohnya: jika ada yg perlu diperbaiki, maka film akan dikembalikan lalu disensor ulang.

Dijelaskan juga dalam sebuah pasal, yaitu pembentukan BPI (Badan Perfilman Indonesia) sebagai bentuk peran serta masyarakat yang berfungsi untuk apresiasi dan promosi film, memberikan penghargaan, penelitian dan pengembangan, memberikan masukan perfilman, dan mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film luar negeri. Sebagai bentuk perhatian atas kualitas film, UU ini juga mengatur sertifikasi profesi untuk meningkatkan standar kompetensi insan perfilman Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun