Mohon tunggu...
Darin Salsabila S
Darin Salsabila S Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga 20107030079

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perempuan, Target Objektifikasi dalam Standar Kecantikan Masyarakat

22 Maret 2021   21:24 Diperbarui: 27 Maret 2021   18:15 1533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Produk Kecantikan Perempuan. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Siapa sih perempuan yang tidak ingin telihat cantik? Siapa sih perempuan yang tidak ingin memiliki body goals?

Tentunya semua perempuan menginginkannya. Kecantikan ini sudah begitu erat kaitannya dengat tampilan fisik seorang perempuan. Akan tetapi, saat ini pertanyaan tersebut seperti menjadi sebuah standar yang harus dicapai. 

Seperti stigma masyarakat, sekarang ini kecantikan dianggap menjadi sebuah nilai tolok ukur untuk memandang seorang perempuan. Dan stigma masyarakat ini akhirnya menjadi sebuah standar kecantikan yang melekat pada perempuan.

Banyak faktor yang memengaruhi terbentuknya stigma masyarakat atas standar kecantikan ini, salah satu yang mengambil peran terbesar adalah media. Ya, media, entah itu media online atau offline, secara tidak langsung memang telah membentuk fenomena ini. 

Seperti yang sudah kita tahu, dari dulu kehidupan media siaran seperti televisi, akan selalu menampilkan hal-hal yang menarik, seperti contohnya adalah artis televisi pasti dipilih yang melikiki paras cantik dan menarik. 

Begitu juga berbagai iklan di televisi pasti akan menggunakan model yang mempunyai tampilan fisik bagus.

Para model dalam peragaan busana pun tentunya adalah orang-orang yang bisa menarik banyak orang. Poster maupun baliho yang dipasang di pinggir jalan juga tak luput dari visual model perempuan yang cantik, berkulit putih, dan tinggi.

Dan sekarang, pada era digital internet yang lebih maju, tentunya hal ini juga makin meyakinkan masyarakat atas sebuah stigma standar kecantikan yang ada. 

Banyak sekali konten ataupun postingan yang semakin membentuk stigma ini.  Cara untuk memutihkan kulit, menurunkan berat badan, dan konten mengenai cara cantik menggunakan make up turut menjadi pendorong para perempuan untuk berpenampilan sesuai stigma tadi.

Itulah pengaruh media yang akan membentuk stigma masyarakat tentang definisi sebuah kecantikan yang diidam-idamkan. 

Seperti yang kita sering dengar, kecantikan masyarakat Indonesia ini divisualkan sebagai perempuan yang memiliki tubuh ideal yang tinggi dan langsing, berkulit mulus juga putih bersih, rambut panjang, berwajah menarik, berhidung mancung, dan bermata besar serta berbinar.

Dalam kasusnya, perempuanlah yang tentunya dirugikan atas stigma yang terbentuk ini. Bagaimana tidak, standar ini seperti sebuah keharusan bagi perempuan untuk berpenampilan seperti itu. Dan untuk perempuan sendiri pasti juga akan terobsesi menjadi sedemikian rupa.

Inilah dia mengapa perempuan disebut target objektifikasi. Perempuan selalu menjadi target atas fisik yang ia miliki, entah itu berupa sebuah pujian ataupun kritikan. 

Tanpa disadari sedari kecil perempuan sudah menerima objektifikasi ini. Dari orang tua, saudara, ataupun tetangga, yang menjadi perhatian mereka pasti mengenai fisik. 

Entah itu membahas penampilan, tubuh, atau kondisi wajah. Apapun itu bentuk pujian atau kritikan pasti akan kembali lagi pada pandangan tentang stigma kecantikan tadi.

freepik.com
freepik.com
Lalu apa yang akan terjadi?

Ini akan berakibat pada terbentuknya identitas seseorang. Identitas ini bukan hanya tentang siapa dia dimata dirinya sendiri tapi juga dimata lingkungannya. Menurut teori Looking-glass Self  yang dikemukakan oleh Cooley, ada 3 elemen dalam proses identifikasi diri:

  • The imagination of our appearance to the other person (imajinasi penampilan kita dimata orang lain)
  • The imagination of the other person's judgments on that appearance (imajinasi penilaian orang lain terhadap penampilan kita)
  • Some sort of self-feeling, such as pride or mortification (semacam perasaan diri, seperti bangga atau malu)

Nah, dari teori tersebut konsepsi diri ini terbentuk, identitas diri ini terbangun. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan stigma masyarakat terhadap objektifikasi terhadap perempuan ini memang sangat berpengaruh bagi identitasnya. 

Maka hal yang wajar jika seorang wanita selalu memandang fisik, berbicara mengenai fisik, ataupun mementingkan terhadap penilaian fisik. Karena apa? Karena dari kecil, perempuan memang selalu dikaitkan dengan stigma kecantikan fisik, selalu menjadi target objektifikasi kecantikan ini.

Lebih jauh lagi, dampak dari objektifikasi oleh masyarakat ini akan mengakibatkan juga adanya objektifikasi pada diri sendiri. Jadi bagaimana dengan objektifikasi diri ini? Objektifikasi diri mengacu pada penerimaan stigma atau keyakinan yang dibuat oleh masyarakat.

Sayangnya, konsekuensi dari objektifikasi diri ini sungguh bukan hal baik. Seperti dalam hal ini, maka seseorang tentunya ingin menjadi seperti apa yang menjadi standar kecantikan di atas. 

Perempuan yang menginginkan kulit putih, mungkin akan menggunakan cara instan dengan meminum obat pemutih atau memakai skin care yang tak terjamin keamanannya. 

Perempuan yang menginginkan tubuh ideal akhirnya berakhir sakit-sakitan karena diet yang terlalu ketat. Atau ingin tampil beda dengan make up maka dia akan membeli banyak produk skin care dan berbagai make up seperti yang sudah dilihatnya pada postingan di sosial media.

Ini akan terlihat seperti suatu keharusan bagi orang yang akhirnya mengobjektifikasi diri sendiri ini. Dampak yang akan dirasakan juga berupa rasa ketidakpercayaan diri, rasa insecure, overthinking, dan berujung pada depresi karena tidak bisa mencapai ekspektasinya.

Kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa memang sudah seharusnya kita membuat filter atas diri kita. Perempuan memang rentan terhadap hal-hal seperti ini, tapi ayolah, kita sudah berada di zaman modern. 

Kita harus lebih pintar dalam menyikapi segala sesuatunya. Dengan berkembangnya teknologi maka seharusnya berkembang pula pemikiran masyarakat.

Kecantikan itu bukanlah suatu standar yang harus dipenuhi. Tampilan memang diperlukan tapi attitude yang bagus menghasilkan kecantikan yang lebih tinggi dari hanya sekadar tampilan fisik saja. 

Bersyukur atas apa yang kita punya dan menerimanya sebagai sebuah potensi diri adalah jalan baik untuk menanggapi stigma ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun