Tahun 622 Masehi sebelum Islam mengalami peperangan, Rufaidah diajari oleh sang ayah untuk mengubah metode pengobatan sesuai dengan ajaran Islam. Perubahan yang diajarkan terdapat 2 hal, yakni terkait kebersihan di mana jika sebelumnya tempat pengobatan sangat kotor, saat itu Rufaidah mengubahnya menjadi tempat yang bersih dan higienis (Saputra dkk., 2020). Kebersihan ini sesuai dengan ajaran dasar Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang memperhatikan kebersihan. Perubahan kedua adalah menghilangkan jimat atau jampi-jampi untuk mengobati pasien (Saputra dkk., 2020). Jampi-jampi dan jimat dianggap syirik dalam Islam. Makanya, Rufaidah mengubah dengan doa-doa serta sholawat yang Rasulullah ajarkan (Syauqi, 2019). Di zaman sebelum peperangan juga Rufaidah dikatakan mendirikan sekolah keperawatan meskipun lokasinya tidak bisa dipastikan (Atkinson, 2015). Melalui sekolah ini, Rufaidah memberikan kesempatan kepada perempuan-perempuan di Madinah untuk berkarir di bidang keperawatan dan pelayanan bagi masyarakat (Saputra dkk., 2020).
Memasuki masa peperangan Islam yang berlangsung dari tahun 623-630 M, Rufaidah bersama Al-Asiyah (kelompok perawat wanita periode awal Islam) meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk ikut berperang. Rasulullah mengizinkan, maka Rufaidah dan perawat-perawat lainnya berada di garis belakang peperangan. Mulai dari Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, dan Perang Khaibar, Rufaidah dan Al-Asiyah senantiasa menjadi sukarelawan yang merawat tentara Islam yang terluka. Rufaidah saat itu juga mendirikan rumah sakit lapangan atau lebih akrabnya Khaimah Rufaidah (Tenda Rufaidah) sebagai tempat untuk mengobati tentara-tentara tersebut. Tenda Rufaidah menjadi tenda palang merah pertama dalam sejarah manusia dan keberadaannya merupakan contoh luar biasa dari layanan medis Islam (Salim, 1990).
Dikisahkan juga di dalam beberapa sejarah bahwa ketika sahabat Rasulullah, Sa'ad bin Muadz terluka, Rasulullah meminta kaumnya untuk membawanya ke tenda Rufaidah. Rasulullah tadinya sempat melakukan pengobatan Kay, yaitu pengobatan dengan menempelkan besi panas ke atas luka (Kaf, 2017). Hal ini beliau lakukan untuk menghentikan darah mengalir dari luka Sa'ad. Ketika sampai di tenda Rufaidah, ia merawat luka Sa'ad dengan berhati-hati sehingga kondisinya mencapai homeostasis. Atas keterlibatannya ini, Rufaidah dihadiahi sebuah kalung sebagai penghargaan khusus dari Rasulullah. Rufaidah merasa terharu, ia sampai berkata, "demi Allah, kalung ini tidak akan terpisah dari jiwaku, dalam tidur dan dalam bangun ku, sampai aku menemui kematian" (Syauqi, 2019).
Di masa setelah perang, Rufaidah tetap menjalankan aktivitasnya sebagai perawat. Ia merawat orang-orang yang sakit dan terlibat dalam beberapa aktivitas sosial (Salim, 1990). Rufaidah menghabiskan waktunya untuk mendidik, berbagi pengalaman dengan calon-calon perawat dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan perawatan. Perannya di masa sebelum maupun setelah Islam datang dijadikan dasar memajukan dunia keperawatan (Khasanah, 2006). Atas dedikasi yang Rufaidah lakukan pula, Ahmad Muharram membuat puisi tentang dirinya yang diambil dari kitab al-Ilyazah al-Islamiyyah (Salim, 1990).
Wahai Rufaidah
Ajarkanlah Kasih sayang kepada manusia
Tambahkan ketinggian harkat kaummu
Ambillah orang yang terluka dan sayangi lah
Berkeliling lah di sekitarnya dari waktu ke waktu
Bila orang-orang tidur mendengkur
Maka janganlah engkau tidur