Tak terasa, sudah hampir setahun sejak Covid-19 teridentifiaksi dan menjadi pandemi global. Sebuah pencapaian fantastis sekaligus mengerikan, melihat jumlah kasus sebanyak 83 juta, dengan angka kematian 1,8 juta dan kesembuhan 58,5 juta jiwa di seluruh dunia, di dalamnya 735 ribu kasus, 21 ribu kematian serta 600 ribu jiwa kesembuhan di Indonesia per 31 Desember 2020 (Sumber: worldometers.info).
Angka tersebut hanyalah data yang diperoleh secara sistemik yang dapat dipantau secara kasat mata sebagai laporan dan acuan perkembangan kasus Covid-19. Lalu bagaimana mengukur tingkat "kebahagiaan" seseorang yang sifatnya abstrak dan tak bisa dinominalkan? Apa hubungannya dengan kasus Covid-19?
Tak dapat dipungkiri bahwa Covid-19 membawa dampak signifikan terhadap perubahan di dunia. Seperti bidang politik, Â sosial, budaya, kesehatan hingga ekonomi. Segera penduduk merasakan kemerosotan dalam bidang-bidang tersebut, khususnya ekonomi yang berimpak langsung terhadap kondisi kejiwaan dan mentalitas masyarakat.Â
Rasa takut, ketidakamanan, hingga paranoid, menjangkiti diri masyarakat yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kebahagiaan mereka. Terlebih kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan Prokes (Protokol Kesehatan) memaksa kita untuk membatasai berbagai kegiatan. Sebagai makhluk sosial, hal ini tentu memberatkan, karena dengan pembatasan tersebut kita semakin rentan terhadap stress, bahkan depresi.
Pada akhirnya masyarakat yang mengalami kemunduran secara kejiwaan dan mentalitas akan menempuh berbagai cara untuk mempertahankan rasa bahagianya yang telah tergerus akibat pandemi. Namun di sinilah pangkal masalah sebenarnya; banyak orang yang justru melanggar kebijakan PSBB dan Prokes demi meraih kembali rasa bahagianya, dengan implikasi angka-angka yang sudah kita beberkan di atas bukannya menurun malah bertambah.
Lalu apa yang harus kita lakukan untuk meraih kembali perasaan bahagia? "Berbagi" adalah cara paling mudah yang dapat kita lakukan untuk meraih kembali rasa kebahagiaan. Kita bisa berbagi dengan hal-hal sederhana yang kita miliki. Tak harus mewah maupun mahal, karena nilai terbesar dalam berbagi adalah kekhlasan dalam memberi, terlebih bila sesuatu yang kita berikan mendatangkan manfaat bagi yang menerimanya.
Bagaimana cara kita berbagi, sementara segala gerak-gerik kita dibatasi? Belakangan ini jasa antar-kirim barang menjadi sangat populer dan sangat memudahkan. Kita bisa saling berkirim makanan kepada sahabat dan kerabat terdekat maupun menyantuni anak-anak dan orang-orang yang membutuhkan berupa hadiah atau alat-alat kesehatan dan barang layak pakai.
Sebagai salah satu terbesar di Indonesia dalam layanan antar-kirim barang, JNE telah menjadi mitra masyarakat selama 3 dekade. Dengan jaringan di seluruh Indonesia mencapai 6.000 lokasi --dan terus bertambah---, jumlah karyawan tak kurang dari 40.000 orang, serta 150 lokasi yang telah terhubung dengan sistem komunikasi online, JNE merupakan "perpanjangan tangan kita" dalam berbagi.Â
Kita bisa berbagi dengan siapapun di negara ini, bahkan tak terbatas hingga ke luar negeri. Kirim apa saja, mulai dari barang, makanan, hingga dokumen-dokumen penting dengan prioritas waktu pengiriman ekspres maupun reguler, dan beragam pelayanan lainnya, menjadikan JNE mitra terpercaya.
Tak hanya menjadi mitra terbaik dalam layanan antar-kirim barang, JNE yang lahir pada 26 November 1990, dengan nama PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir juga konsisten dalam kegiatan berbagi melalui program CSR (Customer Service Responsibility) yang mencakup pelestarian lingkungan (JNE Hijau), pendidikan (JNE Pendidikan), dan grup sosial (JNE Komunitas).
Sepanjang 2020 saja JNE telah membuktikan komitmennya kepada masyarakat melalui bantuan pemulihan bencana alam bagi warga yang terdampak erupsi Gunung Sinabung (Agustus 2020), banjir bandang Sukabumi (September 2020), pemberian air bersih dan sembako untuk masyarakat di Gunung Kidul akibat kekeringan (September 2020), maupun donasi alat kesehatan bagi tenaga medis dan warga untuk penanggulangan Covid-19 di berbagai wilayah di pulau Jawa.