Mohon tunggu...
Dara Suci Amini
Dara Suci Amini Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Sekolah dan Pendidikan

Psikolog yang concern dengan edukasi anak-anak usia dini, anak berkebutuhan khusus, dan juga perkembangan karier remaja Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menyikapi Diagnosis Psikologis

15 Agustus 2023   10:36 Diperbarui: 19 Agustus 2023   07:53 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ADHD, autisme, bipolar, depresi, dan beberapa diagnosis psikologis lainnya ini sudah cukup familiar di telinga masyarakat Indonesia. Entah orang tua siswa yang berbicara dengan sesama wali murid atau sedang konsultasi kenaikan kelas dengan guru, obrolan mahasiswa yang sedang nongkrong di warung kopi, atau acara bincang-bincang di media.

Yang menarik adalah level pengetahuan dan pemahaman setiap orang mengenai diagnosis-diagnosis ini berbeda-beda, dan itu dapat dengan mudah terlihat melalui ekspresi mereka ketika membicarakan atau mendengar diagnosis ini. 

Beberapa akan menampilkan ekspresi prihatin, beberapa lagi menunjukkan ekspresi lega, dan beberapa lainnya tampak bingung. 

Di zaman sekarang, dengan mengetik beberapa kata saja, maka kita akan memperoleh ribuan informasi dengan mudah. 

Oleh karena itu, umumnya sikap orang-orang terhadap diagnosis ini dikategorikan menjadi tiga: (1) telah menerima diagnosis, (2) bereaksi berlebihan, dan (3) tidak menganggap penting diagnosis psikologis.

Orang yang telah menerima diagnosis biasanya adalah mereka yang memiliki pengetahuan dan pemahaman terkait diagnosisnya. Mulai dari kesadaran diri atau rasa ingin tahu, misalnya ketika ia  merasa ada yang janggal dan mencari tahu sendiri, kemudian menerima diagnosis, dan bantuan dari psikolog atau psikiater. 

Ia tidak hanya mengetahui istilah atau jargon-jargon yang berhubungan dengan diagnosis psikologis yang ia miliki, namun ia lebih mendalaminya dengan informasi-informasi seperti karakteristik dan simtom yang muncul, penyebab, faktor risiko, dan penanganan yang tersedia. Bahkan ada orang-orang yang mengikuti perkembangan penelitian dalam topik yang berhubungan dengan diagnosisnya. 

Sementara orang yang bereaksi berlebihan terhadap diagnosis psikologis yang diberikan biasanya akan berkali-kali mencari second opinion, mencari tahu tentang diagnosis namun hanya pada aspek spesifik secara ekstrim. 

Misalnya, A adalah orang tua yang anaknya menerima diagnosis disabilitas intelektual dengan skor IQ 50. Setelahnya ia berkali-kali mengikutkan anaknya ke psikotes-psikotes lain dengan harapan skor IQ yang diterimanya berbeda. 

Lalu ia akan mencari tahu terapi-terapi yang memiliki banyak testimoni berhasil, mencoba pengobatan alternatif, dan terlalu terfiksasi dengan kisah sukses orang-orang disabilitas intelektual dan berasumsi bahwa diagnosis ini dapat disembuhkan. 

Ia tidak mencari tahu informasi-informasi lain seperti pentingnya dukungan emosional, finansial, dan sosial untuk anak dan keluarga yang memiliki disabilitas intelektual, informasi mengenai metode pembelajaran yang lebih efektif untuk mereka, keterampilan-keterampilan yang esensial dikuasai agar mereka dapat berdaya, komunitas-komunitas pendukung, dan sebagainya. 

Dengan bereaksi berlebihan, individu akan cenderung menggunakan kacamata kuda dalam memandang suatu permasalahan tanpa melihat secara keseluruhan dan ini akan membuat tindakan yang diambil menjadi kontraproduktif.

Selanjutnya, orang yang meremehkan atau tidak menganggap serius diagnosis psikologis. Orang-orang seperti ini biasanya antipati, menganggap bahwa diagnosis psikologis tidak ilmiah, tidak berbahaya, dan sebagainya. 

Apabila ini adalah sikap dari individu yang didiagnosis, biasanya karena ia merasa bahwa diagnosis yang diterima tidak tepat dan merasa bahwa dirinya baik-baik saja secara psikologis. 

Hasil ini dapat terjadi dengan dua kemungkinan, pertama, pemeriksaan yang dilakukan tidak valid karena alat ukur yang tidak tepat atau jawaban testee yang tidak relevan, dan kemungkinan kedua adalah karena individu yang didiagnosis masil denial dan tidak menyadari atau mengakui kondisi psikologisnya. 

Contohnya, Z didiagnosis depresi tapi ia merasa bahwa dirinya baik-baik saja karena ia masih mampu bekerja, bersosialisasi, dan sehat secara fisik. 

Padahal diagnosis ini ditegakkan setelah simtom-simtom depresi secara signifikan muncul, seperti pola makan dan tidur yang berantakan, kualitas kerja yang menurun, dan meningkatnya intensitas berbelanja walaupun dengan nominal yang kecil namun sangat sering, dan sebagainya. 

Kemudian, apabila ini adalah sikap dari orang-orang di sekitar individu yang didiagnosis, maka mereka umumnya menganggap bahwa individu tersebut terlalu melebih-lebihkan, bahwa mereka tidak memercayai diagnosis psikologis. 

Misalnya W didiagnosis mengalami panik attack karena suara keras akibat pengalaman melihat kecelakaan kembang api. Lalu orang-orang di sekitar W menganggap W terlalu melebih-lebihkan, merusak suasana atau mood killer, dan masih membercandainya dengan membawanya ke tempat ramai dan bising tanpa memedulikan kemungkinan ia terkena panic attack lagi.

Tidak berbeda dengan diagnosis penyakit fisik yang diberikan oleh dokter, diagnosis psikologis yang diberikan oleh psikolog pun perlu dianggap serius dan dihadapi dengan tepat. Mencari second opinion diperbolehkan namun jangan sampai hal ini menghambat atau menunda penanganan yang penting. 

Denial atau penolakan terhadap diagnosis itu wajar terutama di masa-masa awal, namun jangan kemudian hal ini berlarut lama dan membuat diagnosis menjadi tidak tertangani tepat waktu. 

Mencari tahu, menggali informasi dari buku, internet, atau sumber lainnya sangat membantu, namun harus dipastikan bahwa sumber tersebut terpercaya dan berkompeten, tidak membuat teror ketakutan, dan secara jelas memberikan pengetahuan holistik yang membantu dalam memahami diagnosis psikologis secara tepat. Penerimaan terhadap diagnosis psikologis akan membantu keberhasilan treatment dan juga langkah-langkah intervensi yang dilakukan.

Kamu sendiri, sudah pernahkah mendatangi psikolog dan menerima diagnosis psikologis? Atau ada orang-orang di sekitarmu yang memiliki diagnosis psikologis? Bagaimana sikapmu? Bagaimana sikap mereka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun