Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan DPR RI pada 14 November 2024 lalu, Laksdya TNI T.S.N.B. Hutabarat, sebagai Kepala Dewan Ketahanan Nasional, menyebut LGBTQ sebagai salah satu isu strategis dalam sektor budaya. Pernyataan tersebut didukung oleh Soleh, perwakilan dari Jawa Barat, yang dalam video YouTube DPR RI menyerukan Dewan Ketahanan Nasional untuk lebih berkomitmen menangani "fenomena" tersebut.
Pernyataan ini menuai kekecewaan dari berbagai organisasi hak sipil, termasuk Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat. Berdasarkan survei LBH Masyarakat pada 2022, 40,4% dari 401 responden LGBTQ melaporkan bahwa mereka mengalami kekerasan fisik yang menyebabkan luka serius. Mereka juga rentan terhadap berbagai bentuk diskriminasi, seperti pemecatan dari pekerjaan atau pengusiran dari tempat tinggal hanya karena identitas mereka.
Dalam hal ini, Thailand dapat menjadi contoh bagi Indonesia dalam hal keberagaman dan penerimaan komunitas LGBTQ. Negara tersebut dikenal memiliki pendekatan yang lebih inklusif, walaupun masih terdapat sejumlah tantangan dalam pelaksanaannya. Kesadaran masyarakat dan dukungan pemerintah yang lebih terbuka memungkinkan individu dengan identitas gender dan orientasi seksual berbeda untuk berkontribusi secara lebih positif dalam masyarakat.
Pembelajaran dari Thailand tersebut menunjukkan pentingnya penerimaan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta pengembangan kebijakan yang mendukung keberagaman. Dengan memprioritaskan nilai inklusi, Indonesia dapat menciptakan lingkungan sosial yang lebih aman dan adil bagi seluruh warganya.
Sikap Indonesia VS Thailand tentang Keberagaman LGBTQÂ
Dewan Ketahanan Nasional (DKN) Indonesia adalah sebuah badan pemerintah yang bertugas merumuskan dan mengoordinasikan kebijakan terkait ketahanan nasional dalam bidang pertahanan, keamanan, ekonomi, serta stabilitas sosial. Badan tersebut baru-baru ini memicu kekhawatiran publik dengan pernyataan terkait komunitas LGBTQ. Pernyataan tersebut memperkuat stigma yang membuat komunitas ini semakin rentan menjadi target diskriminasi dan penganiayaan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat menyatakan bahwa DKN tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang identitas queer. Kesalahpahaman ini menyebabkan pemerintah menyamakan komunitas queer dengan masalah seksual seperti zoofilia dan pedofilia, yang secara fundamental keliru. Sebenarnya, komunitas queer adalah istilah payung yang merangkul individu beragam yang tidak merasa nyaman dengan batasan norma cis-heteroseksual. Keberagaman identitas mereka tersebut sama sekali tidak menjadikan mereka pelaku kejahatan seksual.
Salah satu argumen masyarakat yang menolak penerimaan komunitas LGBTQ adalah anggapan bahwa budaya tersebut merupakan pengaruh dari Barat. Padahal, Asia Tenggara memiliki berbagai budaya tradisional yang menerima keberagaman gender dan orientasi seksual. Untuk menangani keberagaman ini dengan lebih baik, Indonesia dapat banyak belajar dari Thailand.
Pada 23 Januari 2025, Thailand menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang memberlakukan  undang-undang pernikahan sesama jenis. Hukum tersebut memberikan pengakuan resmi terhadap pasangan sesama jenis berusia 18 tahun ke atas, serta hak waris, potongan pajak, dan adopsi anak. Berlakunya kebijakan tersebut merupakan hasil perjuangan advokasi oleh komunitas LGBTQ di Thailand. Selain itu, Thailand sudah melindungi individu LGBTQ dari diskriminasi sejak 2015 dan bahkan mencatat Pauline Ngarmpring sebagai kandidat transgender pertama untuk Perdana Menteri pada 2019.
Langkah-langkah progresif Thailand menunjukkan bagaimana kebijakan inklusif tidak hanya memperkuat hak asasi manusia tetapi juga meningkatkan kesejahteraan sosial dan keterlibatan warga negara dalam kehidupan masyarakat. Indonesia dapat mengambil inspirasi untuk menciptakan masyarakat yang lebih toleran dan adil bagi semua warganya.
Filosofi Kehidupan Masyarakat Thailand dan Penerimaan Keberagaman LGBTQÂ
Thailand dikenal sebagai salah satu negara Asia Tenggara yang relatif ramah terhadap komunitas LGBTQ. Sikap penerimaan ini berakar pada filosofi hidup kerajaan mereka, Sanuk Sabai, yang dapat diterjemahkan sebagai hidup santai, bahagia, dan penuh harmoni. Dalam pandangan ini, setiap orang berhak merasakan kebahagiaan selama tidak mengganggu hak kebahagiaan orang lain. Hidup sesuai dengan identitas gender dan ekspresi diri dianggap sebagai bagian penting dari kebahagiaan seseorang, sehingga kebahagiaan komunitas LGBTQ pun dihormati.
Indonesia sebenarnya juga memiliki filosofi hidup yang seharusnya menjadi dasar penerimaan terhadap keberagaman identitas gender dan seksual, yaitu Bhinneka Tunggal Ika --- meskipun berbeda-beda, kita tetap satu. Berdasarkan nilai ini, pemerintah Indonesia seharusnya memperlakukan komunitas LGBTQ dengan kasih sayang dan rasa hormat yang sama seperti warga cis-heteroseksual lainnya. Ini mencakup upaya mencegah diskriminasi dan penganiayaan yang mengancam kehidupan komunitas tersebut.