Belakang ini dunia maya media sosial tengah dihebohkan perdebatan dan perbedaan pandangan tentang topik keagamaan; Apakah Kesahihan Akidah Bisa Diilmiahkan? Sampai-sampai isu ini diangkat ke forum diskusi dan debat yang lebih serius. Media yang menjembatani acara debat ini diampu oleh penerbit buku Keira, hingga akhirnya broadcast acara diumumkan bahwa acara debat akan dilaksanakan di gedung aula Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Depok.
Melihat rekam jejak sebelum dari kegiatan debat ini, mulanya berawal dari statement seorang influencer (begitu yang ia akui juga ke publik saat debat acara ini berlangsung) yang dikenal dengan sebutan Guru Gembul (GG). Ia mengatakan dalam videonya yang diunggah pada 15 September 2024, "Allah SWT. dengan berbagai atributnya itu tidak bisa diilmiahkan." Terus GG melanjutkan penjelasan arti ilmiah, menurutnya, "ilmiah itu melibatkan satu pembuktian iderawi, kemudian penelitian dan observasi, kemudian pengujian yang bisa diterapkan berulang-ulang, kemudian pernyataan dan klaim dari otoritas akademik, kemudian hipotesis yang didasarkan pada pertanyaan dan penggunaan rasio yang benar." Tidak sampai di situ saja, selain statement-statement yang sudah GG utarakan dalam video itu, ia memberikan caption posting-an videonya itu di Instagram berupa tantangan, "Assalamualaikum, bagi Baraya siapapun saya tantang, tunjukkan kepada saya metodologi ilmiahnya Allah, mau siapapun termasuk akademisi silahkan coba cari bagaimana cara mengilmiahkan Allah." Kemudia ia men-tag/ menandai dua nama yaitu Muhammad Nuruddin (MN) dan Habib Hanif Al Athos. Tidak lama, MN membalas di kolom komentar menerima tantangan debat ini.
Di sinilah awal mula diskusi-debat itu muncul, sehingga memikat banyak orang baik dari penggemar konten Guru Gembul, para civitas academica, konten kreator islami, para ustaz, dan penikmat buku-buku karya Muhammad Nuruddin.
Jika boleh diutarakan, kita bisa mendikotomi ada dua jenis pengikut dari tiap-tiap mereka: pertama, pengikut yang terbiasa menikmati konten audio visual-verbal; kedua, pengikut yang terbiasa menikmati konten literatur visual-verbal. Kelompok pertama kerap kali diidentikkan dengan mereka yang senang berselancar di media sosial, senang mengomsumsi informasi singkat yang tidak komprehensif, tidak terbiasa / hobi dalam membaca buku, dan senang dengan isu-isu hangat. Sementara kelompok kedua adalah mereka yang punya hobi membaca buku, senang dengan konten-konten kritis yang mengedukasi, tidak terlalu kolot dengan perkembangan teknologi dan informasi, dan mereka-mereka yang sudah punya posisi mapan di dunia akademik.
IMBAUAN UNTUK PARA AKADEMISI
Di era revolusi industri 5.0 saat ini, semua orang bisa dengan mudah memanfaatkan segala peluang yang ada di sosial media, baik itu bertujuan untuk mendapatkan informasi, bersenang-senang / entertainment, atau pun peluang bisnis. Di dunia maya, mendapatkan uang bukanlah menjadi hal yang sulit saat ini. Menjadi konten kreator bisa menguntungkan dan menghasilkan pundi-pundi uang. Untuk itu, orang-orang pada tergiur dengan pekerjaan satu ini, konten kreator.
Tak mengherankan kita melihat orang-orang pada membuat konten yang beragam. Salah satu strategi agar konten dilirik dan masuk algoritma ialah dengan membuat konten yang berbeda, konten yang bersifat click-bait, apalagi konten-konten yang bisa mengundang kontroversi. Sayangnya, banyak dari kalangan konten kreator itu bukan dari kalangan profesional atau terakreditasi di bidang dan passion-nya. Apalagi, konten-konten yang mereka sajikan itu sangat singkat. Sehingga materi/konsep gagasan yang harusnya disajikan secara mendalam, komprehensif, dan tidak cukup dijelaskan secara pendek akan mengundang keheranan dan konflik bagi orang-orang yang melihat konten singkat itu. Di tambah lagi, kebanyakan orang yang merespons konten singkat itu dari kalangan yang tidak terbiasa critical thingking, problem solving, dan controlling ego-sentiment. Atau dengan kata lain, mereka adalah kalangan masyarakat awam dan netizen yang tak berpendidikan tinggi. Makanya, jika mereka merasa setuju dan sesuai dengan omongan si pembuat konten, mereka akan mengafirmasinya dengan pujian dan memberikan emotikon-emotikon dukungan. Kalau mereka tidak setuju dengan kontennya, acap kali direspons dengan sumpah serapah, caci maki, hate-speech, dan lain sebagainya. Semakin banyak yang komen semakin menaikkan algoritma si punya akun.
Menukil dari bukunya Donald A. Mackenzie yang berjudul "Egypt Myth and Legend", teringat sebuah petunjuk dan petuah dari Ptah-Hotep yang pernah suatu saat menyampaikan nasihat dan kata-kata bijak untuk anaknya, yaitu:
"Jangan sombong meskipun engkau berpendidikan tinggi; berbicaralah kepada orang yang buta huruf seperti engkau berbicara kepada orang yang bijaksana. Bagaimanapun, kepandaian ada batasnya. Ucapan sopan lebih jarang dijumpai ketimbang Zamrud yang ditemukan oleh para budak perempuan di antara batu-batu. Jika  orang yang suka berdebat itu tidak tahu lebih banyak dibandingkan engkau sendiri, koreksilah dia dan tunjukkan kepadanya bahwa engkau lebih bijaksana; orang lain akan menyetujui u dan memberimu reputasi yang sangat baik.
Dari fenomena ini, alangkah baiknya para akademis bisa ikut nimbrung ke dalam obrolan yang cukup hangat, baik merespons langsung di kolom komentar atau pun membuat konten bandingan untuk penjernihan konsep konten yang di luar jalur dan kurang tepat. Tentu yang diharapkan dari hadirnya seorang akademisi di kolom komentar ialah untuk menciptakan ruang diskusi dan debat yang terstruktur, bersifat intelektual, rasional, penuh data, tidak sentimental, penuh tutur kata yang santun. Semua itu tidaklah sulit untuk dilakukan dan diterapkan oleh seorang akademis di kolom komentar media sosial, karena mereka sudah terbiasa menerapkannya di kampus-kampus dan forum-forum musyawarah dan diskusi. Alangkah indahnya jika kita membayangkan konsep Socrates dan Plato dalam menyebarkan ide gagasannya langsung ke khalayak ramai, face-to-face, mendiskusikannya di pasar atau di tempat umum, kemudian kita terapkan saat ini dalam dunia maya. Dengan hati yang lapang, kita ajak diskusi dan membuat pertanyaan dan pernyataan yang memantik dan kritis untuk para netizen di kolom komentar. Tentu ini akan mengorbankan kesabaran yang besar dan waktu luang untuk menghadapi netizen-netizen. Harusnya nuansa-nuansa seperti ini yang kita harapkan ada di media sosial. Agar kolom komentar tidak hanya berisi ujar kebencian dan afirmasi yang tak jelas, tapi bisa berisi dengan diskusi intelektual dan penuh data.
IMBAUAN UNTUK PARA INFLUENCER
Walaupun kita bisa bebas aktif di media sosial dan menuangkan segala kreatifitas yang ada, mestinya dibarengi dengan kesadaran terhadap latar belakang dan kredibilas yang mumpuni. Tidak hanya Guru Gembul saja yang bisa kita jadikan contoh bagaimana seorang influencer sangat rentan tersalah dan tergelincir akibat dari statement dan konsep konten yang tidak matang dan tidak dikuasai dengan baik, bukan ahlinya.
Banyak dari para influencer sering kali terjebak dengan motivasi-motivasi yang picik. Merasa terpanggil ketika mendapatkan dalil "sampaikanlah walaupun satu ayat" kemudian berbicara seenaknya dan sebebasnya tanpa pertimbangan yang matang. Kira-kira apakah mereka tahu dan sadar juga adanya dalil peringatan akan pentingnya kredibilitas dan sanad keilmuan yang kokoh untuk mencari dan mendapatkan ilmu atau pun menyebarkan ilmu. "Laulal isnad, la-qola sya'a ma sya'a (kalaulah tidak ada sanad keilmuan yang jelas, maka orang akan berkata sekehendak dan semaunya saja)".
Ada juga satu kepingan nasihat Ptah-Hotep kepada anaknya terkait ini, "jika engkau berbicara dengan orang yang suka berdebat dan benar-benar tahu lebih banyak daripada engkau sendiri, dengarkanlah dia dengan penuh penghormatan, dan jangan marah jika dia berbeda darimu."
Ada satu lagi penggalan kalimat dari Faiq Hilmi yang bisa menjadi renungan kita bersama, "Mabuk agama, orang jadi pembohong. Mabuk konten, orang jadi raja tega."
Kairo. Okotober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H