Mohon tunggu...
Humaniora

Kita adalah Sebagaimana Kita Ingin Menjadi

28 Desember 2017   15:40 Diperbarui: 28 Desember 2017   15:45 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika mendengar sebuah kata "pedang" atau "pisau", maka yang langsung terbesit di benak kita adalah sebuah benda yang berbentuk pipih, panjang dan tajam tentunya. Namun tahukah kita bahwa ada yang lebih tajam dari itu? Dialah "Mind"dan "Soul". Jika kita mengenal jati diri kita sebagai makhluk yang diciptakan "istimewa sekaligus sangat kecil dan tak berdaya", maka sangat mudah bagi kita untuk memahami bahwa pikiran dan hati kita adalah dua hal penting yang Tuhan berikan sebagai "senjata" sekaligus "perisai".

Pemberian itu tentunya bukanlah sebagai pajangan saja layaknya pedang dan perisai antik yang disimpan di museum-museum sejarah. Namun karena tantangan yang akan kita hadapilah yang menjadikan kita membutuhkan keduanya. Dengan banyaknya keburukan dan kekejaman yang tersebar dan menjadi wabah di muka bumi ini, maka saat itu pikiran dan hati kita menentukan untuk mengehentikannya atau malah ikut menjadi aktor pendukungnya. Begitupun ketika kebaikan-kebaikan yang terlihat oleh mata kita, terdengar oleh telinga kita dan terasa oleh hati kita, apakah kita akan ikut ke dalamnya lalu siap membela dan menghadang siapa saja yang hendak datang dan masuk merusaknya, atau malah memilih menjadi orang yang menentang mewabahnya kebaikan itu sendiri.

Sungguh kedua hal (pikiran dan hati) kitalah yang dapat menentukannya menjadi bagian dari apa yang akan kita pilih. Pintu mana yang akan kita masuki. Sebagaimana seorang budak wanita pada masa Nabi Muhammad s.a.w pertama kali menyebarkan Islam di tanah Arab pernah mengatakan  kepada salah satu budak lelaki yang dicintainya bahwa "ketika engkau bisa menggunakan hatimu untuk membenci segala hal di muka bumi, maka engkau juga bisa menggunakan hatimu untuk mencintai segala hal yang ada di muka bumi". Begitulah kiranya seuntai kalimat yang berusaha menjelaskan kepada kita tentang sebuah otoritas yang kita miliki. Sehingga kita bebas memilih menjadi makhluk berderajat tinggi lebih dari malaikat atau justru menjadi lebih rendah dari seekor makhluk yang kita sebut dengan istilah jin, setan, iblis dan sejenisnya.

Sebuah pikiran dan hati yang kita miliki ini awalnya adalah dua hal yang baik lagi bersih dan suci layaknya perahan susu kambing yang baru saja diperah. Namun ketika susu itu dibiarkan berlama-lama di tempat yang sangat terbuka tanpa pengawasan yang benar, maka kualitasnya menjadi rusak dan tidak lagi baik. Atau kita tak tahu mau menjadikan susu kambing itu menjadi apa di kemudian hari, misalnya youghurt, es krim, keju dan sebagainya. Maka susu itu akan berubah menjadi cairan busuk untuk dibuang. Begitupun sejatinya pikiran dan hati kita yang akan terus terjaga kebaikan dan kesuciannya, jika ia dijaga. Namun akan rusak kualitasnya jika dibiarkan ia terperosok ke dalam pengaruh buruk yang diberikan lingkungannya.

Berdasarkan itulah kemudian kita dapat melihat satu contoh. Dimana salah satu negara maju seperti Jepang yang sangat canggih akses negaranya, maju teknologinya namun ada yang lebih penting untuk dijunjung tinggi dan lebih mereka hargai daripada itu semua, ialah moralitas. Tingkah laku yang baik pada dasarnya bersifat universal. Artinya, meskipun kita setuju bahwa sebuah kebiasaan itu ada yang persifat partikular, yang kalau di suatu tempat diterima baik bahkan diamalkan, justru di tempat lain bisa saja tidak berlaku budaya tersebut. Namun tidak sama halnya dengan sesuatu yang "baik dan benar". 

Seperti apapun kita berusaha menepis, jika itu adalah sebuah kebenaran dan baik, maka siapapun tak bisa menolak dalam hatinya. Meskipun terdapat ada orang-orang yang menolaknya, maka bisa dipastikan orang itu benar-benar tidak paham terhadap kebenaran dan kebaikan yang ditolaknya tersebut, atau ia sebenarnya paham namun ia mendustakan (menolak untuk memenrima) akibat hatinya yang angkuh dan sombong.

Al-Ghazali sebagai salah satu ulama besar muslim yang mengkaji moralitas dalam kitabnya Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa akhlak merupakan sebuah tampilan lahiriah yang berasal dari dalam diri manusia secara batin (jiwa). Kajian al-Ghazali mengenai akhlak ini memang bercorak religius, namun juga rasional, praktis dan realistis. Sebagaimana kita akan paham maksud al-Ghazali tersebut ketika berusaha menyadarinya dalam kehidupan sehari-hari. Atas dasar itulah kemudian kita kembali menekankan pada pentingnya kualitas hati dan pikiran yang dapat kita gunakan sebagai senjata sekaligus perisai.

Jika hati dan pikiran kita baik dan bersih, maka kepribadian yang kita tampilkanpun akan cenderung sama dengan kondisi dan kualitas batiniah kita. Sehingga dimanapun kita, menjadi apapun kita, kita akan menjadi sebagaimana yang seharusnya. Maka dapat dipastikan bahwa seorang presiden korup yang kita anggap memiliki "kapasitas", tidaklah lebih dari seorang makhluk yang hanya memiliki pedang berkarat dan perisai tua tak terpakai. Demikian juga seorang pengusaha kaya yang kikir yang berusaha mengendalikan pasar sesuka hatinya, serta seorang pemulung yang tak jujur, menipu orang banyak, seakan anggota tubuhnya cacat sehingga pantas untuk dikasihani. Siapapun kita, sejatinya bukan dilihat berdasarkan status sosial dan kasta. 

Namun merujuk pada kualitas pribadi baik yang merupakan pancaran kualitas hati yang baik pula. Hati yang suci akan menyalurkan kebaikan-kebaikan pada otak (pikiran) yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan baik sehingga membentuk sebuah karakter seseorang yang oleh al-Ghazali disebut sebagai akhlak (moral). Dan hati yang kotor menyalurkan keburukan-keburukan pada otak (pikiran) yang kemudian melahirkan tindakan-tindakan buruk seperti saling membenci, korupsi, senang menganiaya, dan sebagainya. Semakin buruk keadaan hati dan pikiran, maka akan sangat berpotensi menjadikan kehancuran bagi dirinya sendiri bahkan dunia. Semakin bagus kualitas hati dan pikiran, maka siapa saja akan dengan mudah ditaklukkan.

Sesungguhnya bukan karena pedang dan jumlah pasukan yang membuat nama Sultan Muhammad AL Fatih dijuluki sebagai Sang Penakluk! Tapi karena "keteguhan" hatinyalah yang melahirkan ketajaman pikiran untuk menciptakan strategi perang yang tiada tandingannya, yang membuat mereka akhirnya berhasil menaklukkan musuh. Maka yakinlah bahwa yang "benar" pada akhirnya selalu akan menang. 

Dan mulailah mencari "fitrah hati" kita kembali, renungkan secara mendalam, dan jangan berhenti! Pelajari banyak hal, jangan menutup diri pada satu hal saja, lalu sangat anti terhadap hal yang lain. Karena ilmu tak terbatas. Senjata dan perisai kita membutuhkan ilmu dan pengamalan untuk membuatnya terus dapat digunakan untuk meraih kemenangan itu. Jangan terlena, jangan cepat merasa puas dan keluarlah dari zona aman, tinggalkan kebiasaan lama jika ternyata tidak sesuai dengan yang dikatakan oleh "fitrah hati" kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun