Mohon tunggu...
Dara Artarini
Dara Artarini Mohon Tunggu... Penulis - Interested in writing and make it a part of happiness

Gladly if you can appreciate and enjoy this work

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bertemu Ibu

20 Agustus 2023   22:19 Diperbarui: 21 Agustus 2023   02:04 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu hatiku sedang kalang kabut mungkin aku rindu ibu. Aku ingin menemui ibu kerumahnya, Saat aku ke rumahnya aku tentu berharap bertemu dengan ibu kesayanganku tersebut. Di perjalanan air mataku ku rupanya sudah membasahi pipiku karena aku ingin menceritakan garis besar kehidupanku yang sudah kulalui dan tidak menceritakan kepadanya. Sebenarnya rumahku cukup dekat dengannya. Tetapi aku jarang ke rumah masa kecilku tersebut. Sebab ibu sibuk bekerja, begitu pula diriku. Motorku sudah membawaku ketempat tinngal milik ibuku yang juga aku tinggal disana saat masih belum sekolah TK. Setelah aku memanggilnya cukup lama, ibu tidak menyahut suaraku. Air mataku pun mulai menetes aku berpikir ibu yang aku sayangi sudah pindah. Kenyataan pahit ada di hadapanku tersebut semakin membuat mataku merah dan banjir air.

Setelah membeli cilok dan minuman kesukaanku yaitu kopi. Usai melewati lorong untuk memarkirkan motorku. Pria bertubuh tinggi yang aku panggil dengan sebutan mas. Dia sudah duduk dan melirik kearah kedatanganku. Firasatku benar saja setelah aku menurunkan standar motor dia mulai bereaksi menyiksaku seperti biasa. Dihadapan orang-orang termasuk keluargaku dan tetanggaku dia memegang tanganku karena dia ingin lebih leluasa menyiksaku. Sudah 1 tahun tidak aku ajak bicara rupanya hal tersebut tidak membuatnya kapok dan merenungi kesalahannya padaku genap 1 tahun lalu. Tahun lalu dia menyiksaku dengan cara mencekik leherku dan tentunya hal tersebut belum membuatnya puas. Dia mengoceh mengataiku dengan hal-hal yang buruk dan kasar tentu aku tidak melakukan hal yang di ocehkan tersebut. Belum puas dengan kekejiannya terhadapku tersebut dia melanjutkan dengan meludahiku dan mengatakan diriku tidak pantas menjadi adiknya. Dalam sudut pandangku mutlak dia yang tidak pantas menjadi abangku. Lelaki mana yang menyiksa adik perempuan yang lebih muda dan tubuhnya jauh lebih kecil di banding dia. Dengan hebatnya seperti itu, aku rasa hampir tidak mungkin di dunia ini. Padahal kenyataan yang ada hal tersebut lumrah terjadi di dunia yang sudah tua seperti kata orang-orang agamis.

Penyiksaan awal saat itu dia memegang tanganku lalu mendorong tubuhku hingga jauh. Biasanya aku saat di aniya tidak menangis namun muak. Tetapi saat itu aku merasa malu sebab dia menyiksaku di depan orang-orang yang ku sebut dengan kata yang cukup terkenal yaitu keluarga dan tetangga. Pria yang kukenal sedari kecil dengan sebutan mas tersebut menghentikan aksi penyiksaan setelah tetanggaku berteriak dan memelukku. Malam itu aku menangis hebat ternyata ibuku berada di rumahku dan melihat semua kejadian tersebut. Akhirnya aku bertemu ibu. Dia terpaku dan mengatakan bingung terhadap apa yang terjadi saat itu. Tentu hal semecam ini bukan hal yang lumrah pada keluarga harmonis yang terkenal dengan sebutan keluarga cemara. Pasti semua orang mengidamkan keluarga cemara. Terlebih pada keluarga-keluarga yang kurang harmonis.

Setelah menangis hebat aku memegang tangan ibuku dan mengajaknya pergi dari rumah itu. Baru keluar beberapa langkah dari gerbang rumah sudah ada lelaki yang merupakan tetangga rumahku kebingungan dan bertanya kepadaku. "Kenapa mbak?". Tetapi aku tidak menyawab karena malu dan sedang sedih. Kemudian ibuku menjawab, "Nggak papa." dan tetap mengikuti langkahku menjauh dari rumah itu. Setelah cukup menjauh aku memeluk dan menangis di dekapan ibu yang menurutku tulus menyayangiku. Dia merupakan orang yang menangis juga saat aku melihatnya menangis. Setelah menceritakan sebagian keluh kesah hidupku sambil menangis. Tenggorakanku terasa haus, dau berkata, "Bu,ayo beli minum aku haus." Sembari tetap menangis. Ibuku memesankan ku Es Teh. Penjual mengajak Ibuku berbincang. Ibu bercerita dia tidak pindah, namun dia bergeser rumah di sampingnya.

Setelah melanjutkan cerita di samping ruko kosong yang memiliki sedikit tempat duduk. Ibuku mengajak kerumahnya. Sampai di rumahnya aku tetap menangis sambil meratapi hidupku ini. Kemudian ibu berkata "Dah makan belum?". "Sudah." Kataku. Yang sebenarnya kelaparan dan ingin memakan cilok yang ku beli tadi. Namun karna kakaku agak gila. Aku menganggapnya sebagai orang yang mempunyai gangguan mental. Aku sudah membicarakannya dengan keluargaku sebelumnya. Aku menyuruh untuk membawanya ke psikolog/psikiater. Sebab aku yakin ada yang salah dengan akal dan otaknya tersebut. Namun sudah pasti keluargaku tidak membawanya ke sana sebab pria yang sudah cukup tua tersebut termasuk orang keras yang jadul dan arogan. Pasti pria berusia 28 tahun tersebut berpikir kalau di bawa ke psikiater menganggap hanya orang yang sudah gila saja.

Setelah bertanya kepadaku tersebut tak berlama-lama ibu menawariku untuk makan mie/telor, tetapi nasi yang di masaknya habis. Aku menjawab "Mie aja." Setelah matang aku memakannya. Tak lama tetangga yang juga merupakan sahabat saat SMP wanita yang melahirkanku menghampiriku di rumah ibuku. Dia ingin mendengarkan cerita kesedihanku tanpa tahu dia tulus atau tidak. Aku menceritakan kelakuan pria yang di kenal orang dengan sebutan kakak. Dalam sudut pandangku dia menahan air, namun menurutku dia hanya bersimpati saja. Sebab dialah orang yang berkata hal yang tidak di ketahui di depan pria itu. Dan tetanggaku terlihat terlihat sedikit terkejut setelah mengetahui fakta bahwa pria 28 tahun tersebut adalah orang yang dalam bahasa kekinian disebut dengan pria problematik. Sebab jika ada orang terdekat pria 28 tahun dia berlaku dengan bersikap pendiam, suara lembut tidak berteriak. Namun berbeda dengan kenyataan bahwa dia memaki wanita yang melahirkanku yang ku panggil dengan sebutan mamah dengan kata-kata "nyolong." yang menurutku terdengar kasar. Hanya karena uang 20 rb yang di pinjamnya namun kata mamah entah pria tersebut tidak mendengarnya atau memang belum bilang pinjam. Entah, apa yang di pikirkannya dengan uang yang tidak cukup besar nominalnya. Karena aku merasa kesal dan muak dengan kelakuan pria tersebut 'Mamah pinjam berapa? Nih tak kasih 50 nggak kurang to?." Dalam bahasa Jawa. Namun dia tidak menjawab dan memilih pergi dari pintu kamarku tersebut yang di dalamnya ada mamah yang sedang menangis. Banyak kelakuannya yang membuat orang lain resah sampai dalam grup RT semua orang membicarakannya. Dan masih ada beberapa lagi yang enggan ku ceritakan.

Setalah tetanggaku pergi. Ibu menawarkan untuk tinggal dengannya lagi. Sebenarnya aku mau, namun takut keluargaku mengganggunya. Terima kasih ibu atas kebaikannmu. Engkau juga sedih dan menangis setelah melihatku begitu. Hal yang cukup sepele, namun menurutku begitu berharga. Sama seperti dulu aku menyayangimu selalu diantara bulan dan bintang-bintang yang bersinar Bu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun