Mohon tunggu...
Dara Artarini
Dara Artarini Mohon Tunggu... Penulis - Interested in writing and make it a part of happiness

Gladly if you can appreciate and enjoy this work

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menyalahartikan Ibu

17 Agustus 2023   04:43 Diperbarui: 20 Agustus 2023   22:20 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memanggilnya dengan sebutan ibu, seorang wanita tidak terlalu tinggi yang memiliki pipi tembam, potongan rambut yang selalu pendek. Ibu berjalan dengan menggemaskan dengan kedua kaki pendek milik tubuh itu, dan yang membuatku selalu teringat adalah senyuman yang manis dan tulus. 

Masa kecilku hidup di rumah sederhana, tembok kami tanpa polesan warna hanya berasal dari semen tanpa kehalusan. Berlantaikan bahan yang sama seperti tembok rumah kami, tanpa ubin berkilau. Rumah berdempet dengan saudara-saudara bapak, kami mempunyai 2 jendela. Jendela pertama menghadap ke depan rumah, dan yang lain menghadap halaman belakang rumah. 

Halaman belakang terdapat sumur untuk menimba air sehari-hari, samping sumur tua terdapat sekat tembok dengan tinggi setengah badan orang dewasa. Sumur tua tempat kami mengambil air, cara menimba air mengerek ember turun sampai dasar sumber air. Jika terasa air sudah penuh tarik ember sampai tepi atas sumur, ibu membeli ember tersebut di pedagang asongan keliling.

Saat hujan turun genteng rumah sering bocor, suasana riuh menghiasi rumah petak milik kami. Suara tersebut berasal dari langkah cepat kaki kami berlarian mengambil wadah untuk menampung bocor tersebut. Solusi mengatasi rembes yang berasal dari genteng sebab air hujan, kami menaruh ember di bawah tetesan bocor itu. 

Saat hujan turun ibu memasak kudapan untuk kami, ibu lebih sering masak makanan kesukaanku. Lebih sering tempe goreng maupun pisang goreng saat hujan. Meskipun anggapan orang momen tersebut biasa namun, bagi kita hal tersebut langka sekaligus menyenangkan. 

Ibu dan bapak lebih sering menghabiskan waktu untuk bekerja hingga petang. Uang yang mereka punya pas untuk kami berenam, terkadang aku melihat ibu lebih memilih menahan lapar untuk melihat perut kami terisi penuh makanan. Setiap memiliki makanan, kami membagi untuk berenam. Meskipun mendapat bagian yang tak seberapa tidak apa agar semua dapat mencicipi. 

Ekonomi kami saat itu sederhana cenderung menengah ke bawah. Tetapi aku merasa bahagia, terkadang pertanyaan muncul pada benakku saat orang menjual cerita kesedihan demi menarik simpati dan perasaan iba orang lain.

Aku merasa saat kecil ibu sangat menyayangi diriku. Ibu teramat baik dan sabar, bahkan bukan kepada diriku saja, sifat baik hati tersebut untuk semua orang. Rasa sayang itu dia tunjukan dengan perhatian, mengingat hal-hal yang aku suka, dan selalu menjadi orang pertama yang mengingat hari ulang tahun anaknya ini, bahkan diriku sendiri pun sering lupa. Ibu tahu aku tidak suka makan tempe gembus (salah satu jenis tempe berasal dari ampas tahu), kesukaanku tempe kedelai biasa. 

Ibu juga paham betul bahwa saat masih kecil aku hanya bisa tidur dengan tangan masuk ke lubang yang ada di bantal atau guling, memang sedikit tidak lazim tetapi itu ritual yang aku lakukan setiap akan tidur. 

Suatu hari kekesalan ibu memuncak karena kapuk isi bantalku berserakan keluar, karena kejadian tersebut ibu berinisiatif membuatkan kantong khusus jari yang pas tanganku agar aku bisa tidur nyenyak dan tidak membuat isi bantalku berserakan. 

Ibu sering mengajakku berbelanja ke pasar, terkadang ibu juga membelikanku daster baru sepulang dari pasar. Kesukaanku yang lain adalah pergi ke Pasar Malam untuk membeli gulali, mandi bola, naik sangkar burung, komidi putar, dan melihat Tong Setan. 

Tong Setan merupakan pertunjukan ekstrem, kita melihat sepeda motor serta mobil berputar dalam area khusus berbentuk cekungan dengan kemiringan tertentu. Pengendara motor Tong Setan menuju puncak atas atas tanpa terjatuh, para penonton hanya di perbolehkan melihatnya dari sisi atas bangunan tersebut. 

Hari semakin larut, saatnya pulang, besok pagi ibu harus berjualan. Sepulang dari Pasar Malam tentu aku pulang tidak hanya dengan senyuman saja, di tangan kanan dan kiriku tergenggam plastik mainan dan baju yang dibeli di pasar malam.

Saat aku kecil ibu berjualan di warung kecil yang dia sewa dari tetangga kita, letaknya di sebelah masjid suatu desa. Menu makanan dan minuman yang di jual ibuku adalah kesukaanku, mulai dari Soto, Tempe goreng, serta Es Teh. Setiap bangun tidur aku pergi ke warung ibu dengan berjalan kaki yang jaraknya tidak jauh untuk sarapan menu kegemaranku tersebut, Soto yang aku beri kecap, tak lupa dituang pada Tempe goreng yang baru saja matang. 

Saat aku belum selesai makan teman-temanku selalu menghampiriku dan mengajak bermain. Aku hanya boleh pergi setelah selesai makan, teman-temanku menunggu sebentar untuk diriku menyelesaikan sarapanku tersebut. Seusai makan, lalu aku berpamitan kepada ibu untuk bermain bersama teman-teman.

Terkejut setelah bermain bersama teman-teman aku di jemput untuk pulang, kali ini pergi ke rumah berbeda. Kenyataan pahit hari itu membuatku menangis, seorang wanita yang selalu aku panggil dengan sebutan ibu telah membohongiku. Di hari itu aku menangis lama, menelan kenyataan pahit bahwa dia sebenarnya hanya orang yang diminta tolong oleh keluargaku yang sebenarnya untuk menjagaku. 

Kini aku harus pulang ke keluargaku yang sebenarnya, sore itu ibu tidak mengatakan sepatah kata apapun kepadaku tetapi aku melihat dengan jelas ibu menahan air matanya sebelum merelakan kepergianku. Aku harus segera bersekolah ke tingkat TK itu yang membuatku harus berpisah dengan ibu. 

Mataku menjadi merah dan bengkak karena tangisku, seorang wanita yang mempunyai senyum manis dan tulus ternyata bukan ibu kandungku. Ibu kandungku sudah menungguku di rumah. 

Seseorang yang merawatku dan melahirkanku, ternyata diriku menyalahartikan Ibu. Walau demikian, aku akan tetap menyayangimu seperti ibu kandungku, ibu Asih. Asih adalah nama ibu yang merawatku sebelum aku bersekolah karena ibu kandungku harus bekerja di luar kota. Setelah tidak satu rumah, ibu tetap mengingat hari dimana aku terlahir, yang kebetulan memang kita lahir di bulan dan tanggal yang sama. Ibu membelikanku boneka sebagai hadiah ulang tahunku, terima kasih ibu engkau sangat baik padaku meski diriku bukan anak yang di kandungnya. Sungguh aku menyayangimu bu…     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun