Mohon tunggu...
Aldila Daradinanti
Aldila Daradinanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi Jurnalistik

Belajar untuk menulis, menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah dan Ambang Pintu Kamar

8 Maret 2022   18:39 Diperbarui: 8 Maret 2022   18:41 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepoi - sepoi udara dari kipas angin membelai wajahku. Suasana sunyi penuh ketenangan menemani keseriusan belajarku pada malam saat itu, di sudut kamar tidur yang berseberangan langsung dengan pintu kamarku. Sementara aku sibuk berkutat dengan laptop kesayangan, adikku yang pula sekamar denganku sedang sibuk menggulir layar ponselnya sambil sesekali tertawa kecil. Ia menggunakan pelantang telinga, pun asik dengan dunianya sendiri.

Ceklek...

Seseorang membuka pintu kamar itu tanpa permisi. Aku dan adikku reflek melihat ke arah pintu tersebut secara bersamaan walaupun kami sudah tahu siapa pelakunya.

"Kenapa?" ucapku dingin kepada sosok yang berdiri di ambang pintu itu. Sambil masih memegang gagang pintu, orang itu menjawab "Tidak apa apa" dengan bibir dan mata yang tersenyum pula. Suasana kembali hening, lalu kembali pada kesibukannya masing - masing. Sementara tidak satupun dari aku maupun adikku merespon jawaban singkatan itu. Tapi, sosok itu masih memasang ekspresi yang sama sembari memperhatikan dua insan yang ada di hadapannya sekarang. Ayahku, Ayah kami yang baru saja pulang setelah lelah seharian bekerja.

Ribuan kalimat terasa begitu berat tertahan di dalam bibirku. Aku canggung, segan sekaligus malu untuk sekedar ber-oh-ria menjawabnya. Aku malu, walau hanya sekedar bertanya "Sudah pulang, yah?". Dan aku gengsi, walau hanya sekedar membalas senyuman ramahnya yang pula sekarang masih ia tunjukkan.

Dalam sekian detik tanpa melanjutkan sepatah katapun, ia meninggalkan ambang pintu itu dengan tanpa menutupnya kembali. Aku selalu menerka - nerka mengapa Ayah memiliki kebiasaan seperti itu? mengapa Ayah tidak pernah langsung mengatakan saja apa maunya sama seperti ketika kami meminta sesuatu kepadanya? Aku hanyut dalam lamunan memikirkan kemungkinan - kemungkinan yang Ayahku pikirkan. Tapi kemudian, suara gebrakan kecil dari pintu yang ditutup kembali oleh adikku menyadarkanku dari lamunan itu.

Di hari yang berbeda, Ayah kembali melakukan hal itu pada waktu setelah makan malam. Memperhatikan aku dan adikku yang sibuk dengan dunianya sendiri tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tapi kali ini berbeda, ia membawakan satu kantung kecil berisikan gorengan yang ia beli di pinggir jalan ketika perjalanan pulang dari kantor. "Nih, gorengan", katanya ramah. 

"Aku masih kenyang, yah. Tadi baru saja makan." Sambutku. Aku tidak berbohong, perutku rasanya ingin meledak karena dengan lahap menghabiskan makanan yang Ibu kami masak dengan sepenuh hati ketika makan malam tadi. "Ya sudah, buat adik saja." Katanya lagi. 

"Tidak, aku tidak mau." Ucap adikku dengan dingin. "Tidak mau?" Ayahku mengulangnya. Ia tidak marah, tidak pula membantah apalagi memaksa. Ia hanya membalikkan badannya lalu kembali ke ruang keluarga tanpa menutup pintunya kembali. 

Esoknya di pagi hari, Tak sengaja aku melihat Ibuku sedang menghangatkan beberapa dari gorengan - gorengan itu ketika aku sedang berjalan ke arah toilet untuk membasuh wajah ku.  

"Ayo, makan. Ayah sudah membelinya untuk kalian. Sayang kalau tidak dimakan." Katanya. Sementara aku celingukan mencari keberadaan ayah sampai menyadari bahwa mobil di garasi rumah sudah tidak ada. Itu artinya, ayah sudah berangkat kerja.

Hari ini ayahku pulang cepat. Aku sedang berada di kamar, samar - samar aku mendengar suaranya yang riang bercerita tentang kegiatan di kantor kepada ibuku. Aku yang tidak bisa fokus belajar setiap kali ada suara orang yang berbicara pun merasa terganggu dengan hal itu. Lalu aku memutuskan untuk menutup pintu kamar tersebut. Tapi tak lama, ayahku kembali membuka pintu tersebut tanpa permisi hanya untuk berdiri diamdi ambang pintu sambil tersenyum dan memperhatikan seisi kamarku. Seperti biasa, ia tak menutup pintunya kembali. Dengan perasaan yang sedikit kesal, aku sedikit membanting pintu tersebut ketika menutupnya.

Kejadian kecil itu terus terjadi berulang kali hampir di setiap harinya tanpa aku tahu apa yang sebenarnya ayah pikirkan setiap kali melakukan hal itu. Dengan kebiasaan yang tak pernah hilang, dengan pola yang sama yang tak pernah berubah. Sampai itu menjadi hal yang menjadi ciri khas, menjadi salah satu deretan kegiatan sehari hari yang tak bisa ditinggalkan sama seperti menyapu lantai atau mencuci piring. Hingga terasa begitu aneh ketika tidak ada kejadian kecil itu dalam satu hari saja. Terasa begitu dirindukan ketika hal itu tidak terjadi dalam beberapa waktu, tidak terjadi lagi, bahkan selamanya.

Seperti hari ini, aku rindu kejadian - kejadian kecil itu. Hari ini, tepat 4 tahun setelah kepergian Ayahku. Dengan segala penyesalah yang ada dalam diriku ini aku mengetik cerita spele yang bahkan mungkin tidak membuat orang - orang tertarik. Tapi bagiku, apapun yang menyebut kata Ayah, adalah zikir paling syahdu yang selalu ku idam-idamkan. Panggilan paling indah yang selalu ingin kusebut - sebut. 

Menyesal tidak menjawab senyuman ramah ayah yang berdiri di ambang pintu, menyesal tidak menyambut ayah yang berulangkali masuk ke kamar tanpa permisi, menyesal tidak menyapa dan bertanya "Sudah pulang, yah?", dan menyesal tidak memakan gorengan yang dibeli ayah bersama - sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun