Toleransi menjadi sangat rapuh dan bahkan berbahaya bagi keberlangsungan toleransi itu sendiri jika dipahami hanya sebatas saling memberi selamat (apakah itu secara langsung ataupun tidak langsung seperti dalam bentuk-bentuk spanduk-spanduk) dan saling sedia menghadiri event-event keagamaan antara satu dengan yang lainnya. Dasarnya adalah bahwa selain memang tidak sesuai dengan nilai-nilai iman yang diyakini oleh masing-masing agama, juga akan menghadirkan stigma yang buruk manakala kebiasaan itu tidak lagi di upayakan.
1. Tidak sesuai dengan nilai-nilai masing-masing agama:
Bagaimana mungkin kita menyelamati seseorang tatkala ia sedang menghidupi keyakinannya yang menurut iman kita adalah tidak benar. Tentu ke - tidak-benaran dari prinsip-prinsip keyakinan agama seseorang tidak serta merta harus di ungkapkan apalagi di publikasikan. Namun demikian bukan pula berarti kita harus menyelamati setiap pemeluk agama lain dalam melakukan setiap prinsip-prinsip keagamaannya.
2. Stigma Buruk
Kebiasaan yang dibangun yakni saling memberi selamat pada event-event keagamaan, dan saling sedia menghadiri event-event keagamaan antar agama yang satu dengan agama yang lainnya sesungguhnya sangat rapuh sebagai sebuah upaya dalam mewujudkan toleransi. Rapuh dan tidak ada jaminan keberlanjutannya karena memang tidak ada dasar hukum yang jelas untuk mengatur tindakan-tindakan demikian itu sebab tindakan demikian sangat subjektif dan personal sekali sifatnya. kemudian alasan yang paling fundamental adalah seperti penjelasan di atas (sebuah tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh masing-masing pemeluk). Sehingga kebiasaan saling menyelamati menjadi pudar bahkan hilang maka yang muncul adalah saling memberikan stigma buruk pada masing-masing pemeluk agama bahwa dianggap tidak lagi toleran karena ukuran lama dianggap fatwa.
---------------------------------------------
Dengan demikian sebaiknya bagaimana?
Kepingan mozaik yang sangat fundamental sesungguhnya telah diabaikan atau paling tidak terlupakan oleh sebagian besar masyarakat bangsa ini. Potongan mozaik toleransi yang terlupakan itu adalah sebuah Pola Toleransi Konstitusional yang telah di buat sejak berdirinya bangsa ini.
Para pendiri bangsa ini sangat memahami kemajemukan masyarakat yang ada di Nusantara ini. Kemajemukan budaya, perilaku sosial, serta kemajemukan dalam mengekspresikan setiap pandangan hidup yang dimiliki termasuk dalam keyakinan beragama yang sangat plural ada di bangsa ini sejak dahulu kala. Oleh karena kesadaran itu, sebagai satu bangsa telah dianggap perlu untuk dibuat sebuah aturan main yang berlaku bagi semua elemen masyarakat supaya dalam kemajemukan yang ada itu tetap tercipta kerukunan dan kesejahteraan. Maka di muatlah dalam Undang-undang Dasar khususnya pada pasal 28 yang menyatakan bahwa semua masyarakat Indonesia memiliki hak atas kebebasan meyakini kepercayaannya. Kemudian hak atas kebebasan meyakini kepercayaannya itu di atur lagi dalam pasal 29 yang mengatakan bahwa Negara wajib melindungi hak-hak kebebasan kepercayaan setiap orang tersebut. Dasar undang-undang ini adalah kesepakatan bersama untuk menjadikannya Undang - Undang Dasar yang sah secara konstitusional yang mengatur seluruh warga bangsa tanpa terkecuali.
Dengan demikian pola yang paling tepat dalam membangun toleransi dalam negara ini adalah;
1. Sebagai langkah pertama bahwa setiap orang seharusnya sadar dan mengakui adanya kemajemukan agama di Bangsa ini.
Pengakuan itu bukan pada konteks nilai-nilai kepercayaannya melainkan eksistensi keberagamaan itu.
2. Sikap mengakui akan melahirkan sikap yang saling menghargai dan menghormati.
Menghargai dan menghormati tidak mutlak di wujud-nyatakan dalam bentuk-bentuk tindakan saling memberi selamat dan saling menghadiri perayaan-perayaan keagamaan satu dengan yang lainnya. Sikap menghargai dan menghormati sangat relevan bilamana di wujud-nyatakan dalam bentuk cara hidup yang dapat berdampingan walau berbeda keyakinan, dan tanpa saling bermusuhan. Sehingga yang ada adalah saling berlomba untuk menciptakan citra diri yang baik berdasarkan nilai-nilai hukum yang berlaku serta nilai-nilai agama yang kita yakini masing-masing. Dengan citra diri itu akan menjadi kesaksian yang faktual dan kemudian dapat menjadi kesaksian atas kebenaran yang sejati dari setiap agama yang ada. Maka terciptalah masyarakat yang rukun dan sejahtera.
Merdeka.!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H