Tidak terlalu lama lagi masayarakat Indonesia di beberapa daerah/wilayah akan mengadakan pesta demokrasi dalam rangka memilih kepala daerah (pilkada) mereka masing-masing. Banyak peristiwa-peristiwa menarik dalam proses-proses yang ada menuju pelaksanaan pesta demokrasi tersebut.Â
Pandemi Covid-19 turut menyumbang banyaknya terjadi peristiwa-peritiwa itu. Mulai dari bakal calon yang harus dikarantina karena terkonfirmasi positif Covid-19 hingga pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan yang telah di anjurkan oleh pemerintah. Namun demikian dari berbagai peristiwa menarik yang ada itu, 'Kotak Kosong' menjadi kejadian yang paling banyak menyita perhatian.Â
Kotak Kosong menjadi pesaing bagi calon tunggal di suatu daerah atau wilayah tertentu. Kotak Kosong muncul karena semua partai politik bergabung untuk mendukung satu pasangan tunggal. Sementara melalui jalur perseorangan (independen) untuk menjadi calon kepala daerah menemui jalan yang tidak mudah, sehingga banyak yang gagal melaluinya. Hasilnya terjadilah calon tunggal versus Kotak Kosong.
Trend Kotak Kosong semakin meningkat dalam Pilkada-pilkada serentak yang berlangsung hingga kini. Menurut penelusuran penulis dari berbagai sumber, pada tahun 2015 Kotak Kosong hanya berada di 3 daerah yang melaksanakan pilkada, kemudian meningkat pada tahun 2017 menjadi 9 daerah, dan terus meningkat pada tahun 2018 yakni Kotak Kosong ada di 16 daerah.Â
Dan tahun ini (2020) Kotak Kosong berada di 25 pemilihan kepala daerah. Selain faktor dasar hukum yaitu putusan MK No. 100/PUU-XIII/2015 yang ikut mengukuhkan hadirnya Kotak Kosong secara konstitusional, faktor pragmatisme politik dari masyarakat dan partai politik mendominasi sebab kemunculan Kotak Kosong dalam pemilihan kepala daerah.
Jikalau saja partai politik tidak terlalu pragmatis dalam setiap proses-proses politik dalam pelaksanaan pilkada maka seharunya minimal 2 atau 3 pasangan calon bisa dimunculkan oleh partia-partai politik disetiap daerah yang melakukan pilkada merujuk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Belum lagi ditambah dengan bila hadirnya calon perseorangan (Independen).
Tentu saja penulis tidak ingin mengeneralisasi semua partai politik adalah pragmatis. Mungkin saja ada partai politik yang ingin mencalonkan pasangan calon kepala daerah namun karena tidak cukup kursi di DPRD yaitu 20 persen dari kursi yang ada sebagai syarat mencalonkan kepala daerah maka pupuslah harapan itu.Â
Dilain pihak, mungkin saja ada partai politik yang cukup kursi DPRD sebagi syarat pencalonan, pula demikian dengan kader yang siap dan punya kompetensi untuk jadi pemimpin daerah, namun minimnya dana politik yang dimiliki menjadi pertimbangan dan halangan. Maka terjadilah 'permufakatan' oleh semua partai yang ada untuk bersama-sama bergabung pada satu orang calon yang dianggap memiliki kemampuan dana politik untuk memenangkan pertarungan pemilihan kepala daerah.
Melihat situasi demikian itu, mulailah ada kalangan-kalangan masyarakat tertentu bergerak membentuk aliansi-aliansi dan sama-sama berteriak; 'lawan partai politik transaksional -- pilih Kotak Kosong". Kotak Kosong muncul, tiba-tiba sebagian masyarakat kini seolah-olah berlomba-lomba untuk mencintainya.
Tapi maaf, seandainya Kotak Kosang bisa bicara, penulis yakin dia akan menolak suara anda! Penulis mau mengajak pembaca untuk melihat dari perspektif yang lebih luas. Bukankah selama ini  pragmatisme partai politik merupakan sebab-akibat dari pragmatisme politik yang terjadi dikalangan masyarakat juga? Bukankah partai sedang berhitung? Berhitung kemampuan finansial lembaganya dan juga bakal calonnya. Seberapa kuat kemampuan finansialnya untuk mengumpulkan sebanyak mungkin suara.Â
Mari berkaca pada pengalaman -- pengalaman yang sudah -- sudah dalam setiap pelaksanaan pilkada. Bukankah kebanyakan dari masyarakat pemilih mau memilih calon tertentu ketika mereka di beri uang? Faktanya adalah banyak terjadi 'money politik' bagi masyarakat pemilih. Jadi pelaku utama yang menimbulkan biaya politik tinggi adalah masyarakat pemilih itu sendiri (mohon maaf bagi masyarakat yang murni hatinya).
Penulis  tidak sedang ingin memposisikan diri sebagai pendukung calon tunggal kepala daerah manapun juga.  Tetapi penulis menganggab bahwa tidak elok jika ada masyarakat hanya menyalahkan partai politik saja demgan alasan tidak menyediakan alternatif pilihan, tetapi pada konteks yang sama tidak bersedia memberikan KTP tatkala ada masyarakat yang tulus dan bersedia untuk bertarung melalui jalur perseorangan (independen).Â
Tidak kurang Sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni untuk menjadi calon kepala daerah, tetapi lagi dan lagi, muara pertimbangannya dari semua pihak adalah tingginya biaya-biaya proses politik yang ada.
Kotak Kosong harus menjadi kritik bagi semua. Kotak Kosong menjadi sebuah refleksi bersama untuk mencari dan menentukan pemimpin berdasarkan perspektif-perspektif yang baik dan benar.Â
Sebagai seorang Kristiani dalam memilih dan menentukan seorang pemimpin tergambar jelas dalam Keluaran 18:21. Seorang pemimpin haruslah memiliki minimal 4 hal;
1.Cakap; menyangkut soal kompetensi ilmu pengetahuan seseorang yang harus memadai berkenaan dengan konsep kepemimpan terhadap pemerintahan di suatu daerah.
2.Takut akan Tuhan; Seorang pemimpin harus memiliki spiritualitas yang terukur dan baik. Orang yang percaya kepada Tuhan dan menjadikan Tuhan pengendali kehidupannya.
3.Dapat dipercaya: Seorang pemimpin harus memiliki integritas. Jujur dan mau transparan.
4.Membenci suap: pemimpin tidak boleh manipulatif dan koruptif. Tidak mau mengambil yang bukan haknya.
Ke empat hal di atas dapat menjadi referensi utama dalam menentukan pilihan. Jikalau memang hal itu dirasa tidak ada pada calon bahkan termasuk pada calon tunggal, mulailah dari sekarang untuk belajar jujur menentukan pilihan, pilihlah kotak kosong supaya bangsamu (daerah) tidak hancur.Â
Tetapi sebaliknya, manakala 4 standar diatas telah teruji pada seorang calon, termasuk pada calon tunggal, maka jujur pulalah untuk mengakuinya. Tidak baik memilih Kotak Kosong bila hanya sekedar efek ego personal terhadap calon tunggal yang ada tanpa kerelaan dan keberanian untuk menganalisa dengan baik. Dan terlebih lagi tidak baik memilih siapapun kalau hanya karena politik pragmatis yang terjadi.
Oleh karena itu, penulis mengajak masyarakat semua untuk belajar menghindari praktek-praktek politik pragmatis.Â
Mungkin secara personal ada diantara masyarakat tidak akan mendapat banyak, bahkan mungkin saja tidak akan mendapat apa-apa ketika memilih seseorang yang baik dalam memimpin dalam suatu masa tertentu. Namun karena pilihan yang tepat maka dapat berdampak baik pada ribuan bahkan puluhan ribu masyarakt lainnya.Â
Hadirnya pemimpin yang baik berkat pilihan yang tepat akan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat yang banyak. Dari pada hanya sekedar mendapatkan 100 ribu atau 300 ribu rupiah sebagai upah untuk memilih seorang pemimpin (maupun Kotak Kosong), tetapi pada kemudian hari seluruh potensi daerah akan hancur lebur hanya karena memenuhi hasrat duniawi dari segelintir orang.Â
Untuk itu masyarakat di ajak untuk bijak dalam menganalisa situasi dan menentukan pilihan dengan tulus dan tepat. Kotak Kosong pun tidak akan sudi menerima suara masyarakat kalu toh ternyata calon tunggal memang unggul dalam kebaikan. Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H