‘Mang, jangan nyerah ya. Bapakku dulu juga cuma lulus SD, gajinya beda tipis sama Mang Uus. Anaknya tujuh (aku yang keenam). Tiga orang jadi sarjana, seorang jadi manajer, seorang lagi S2 di Jepang. Kalau ada niat inysa Allah ada jalan. Makasih ya sudah nemenin keliling Ciwedey hari ini’ Pesan itu cukup panjang untuk dikirimkan melalui sms. Apalagi aku tahu, ponsel yang kukirimi pesan tadi bukan smartphone yang bisa menampung banyak karakter. Tak tahulah mereknya, tapi dengan model candybar berlatar pendar cahaya kuning, nampak jelas bahwa ponselnya sangat bersahaja seperti yang punya. Tapi balasan yang kuterima cukup mantap, meyakinkanku bahwa ia telah membaca pesanku seutuhnya, ‘Amin, makasih banyak ya mas itu hikmah dan semangat buat saya. Semoga mas tambah rejekinya’ Aku memejamkan mata begitu membaca pesan itu. Perasaanku campur aduk. Sedikit genangan cairan kurasai di kedua sudut mata. Tapi ego lelakiku menahannya. Apalagi tatapan mata manusia di angkutan L-300 yang kutumpangi tak memungkinkanku untuk mempertontonkan emosi, jadi biarlah saja kusimpan untuk diriku sendiri dan Tuhanku. Biarlah sekarang aku pulang dengan hati penuh. Inilah akhir dari sebuah perjalanan memenuhi panggilan jiwa. Aku tak tahu harus memulainya dari mana. Hari itu Jumat, di minggu terakhir bulan April. Akhir bulan yang selalu saja diisi oleh rutinitas sama: order meeting dan closing. Hampir seminggu ponselku selalu bergetar menerima komando-komando dari seberang, yang selalu saja harus aku balas dengan ‘oke, siap dan terima kasih’. Bah, persetan! Aku berpikir apa jadinya kalau aku membalas bbm para bos besar dengan kata barusan? Dan sekali lagi ponselku bergetar. Seketika ingin kumelemparkannya ke keranjang sampah. Tapi kesejahteraan yang kupunya belum cukup untuk melakukan aksi dramatis macam itu. Jadilah, kugeser-geser trackpad ke gambar amplop yang menyala. Yeah panggilan tes, Bandung, Sabtu, 29 April jam 07:00. Aku tak membaca semua pesan di e-mail. Tapi kata Bandung membuatku bersemangat. Dimanapun, selain Jakarta adalah ide baik. Masalahnya justru kalimat terakhir di e-mail itu. 29 April jam 07:00 berarti besok pagi, empat belas jam dari sekarang. Bajingan! Aku tak bisa menemukan alternatif kendaraan yang tepat untuk sampai ke Bandung pagi hari tanpa harus menginap, karena aku memang harus pulang malam dari kantor hari ini. Akhirnya aku memutuskan untuk bangun pagi buta esok. Kusetel alarm jam dua yang entah bagaimana baru membuatku terjaga pukul tiga lewat tiga puluh pagi. Kupicingkan mata karena silau lampu kamar yang masih menyala. Kupaksa mataku untuk memelototi layar ponsel. Snooze alarm berkedip-kedip, alarm 02:00 am. Lantas telah berapa kali aku memencet snooze sedari tadi? Mampus! Dengan enggan kulangkahkan kakiku ke kamar mandi. Guyuran air di pagi hari sedikit-demi sedikit mengusir kantuk yang masih menggelayuti mata. Byur...byur.. byur, suara yang cukup menganggu pukul setengah empat pagi. Biarlah, tetangga sebelah pasti mengiraku telah bermimpi indah pagi ini. Jam lima pagi, aku mendapati terminal Polugadung masih lengang. Satu keluarga musafir tertidur nyenyak beralaskan karung seperti tak terganggu dengan kebisingan bis yang baru saja dihidupkan dari tidur, siap untuk memberikan lembar demi lembar rupiah kepada si empunya. Aku menunggu dengan bimbang, tak mungkin sampai waktuku. Tapi apa daya, aku sudah terlanjur sampai disini. Bandung tak boleh gagal, teriakku dalam hati. Menit demi menit berlalu, bis tak jua beranjak dari tempatnya. Aku sadar sepenuhnya bahwa rencanaku telah gagal total. Tapi hatiku berteriak maju, kau harus tetap ke Bandung. Entah apa yang akan aku lihat disana. Tak ada rencana, tak ada saudara, dan tak tau mau melakukan apa. Aku berkelana tanpa tujuan. Iseng-iseng kubuka jendela browser di ponsel. Jari-jariku bermain lincah di atas qwerty mengetikkan kata-kata ‘wisata Bandung’. Akhirnya, setelah menemukan sumber yang terpercaya, aku memutuskan untuk mengunjungi Ciwedey dan Dago. Ya, aku telah memutuskan untuk pergi kesana! Aku bersyukur, pada akhirnya bisa memantapkan hati untuk ke Bandung meski rencanaku gagal total. Kepergianku kali ini lebih karena dorongan hati. Kepergian yang didorong oleh panggilan jiwa. Dan karena mengikuti panggilan jiwa itulah aku bisa bertemu dengan seorang anak manusia dari Priangan bernama mang Uus. Mang Uus ayah dari tiga anak, usianya mungkin sekitar empat puluhan. Kulitnya hampir sama sepertiku, gelap kecoklatan, tapi cukup hitam untuk warna kulit orang Priangan. Aku bertemu dengannya pertama kali di terminal Ciwedey, dalam sebuah angkot kuning jurusan Kawah Putih, sebuah resor wisata yang akan kukunjungi. Ya, dialah si sopir angkot yang akhirnya menjadi sopir pribadiku selama berkelilling Ciwedey. Angkotnya masih kosong ketika aku masuk kedalamnya. Mang Uus, yang saat itu belum kuketahui namanya berkata padaku. ‘Sendirian aja?’ ‘Iya mas’ Jawabku ‘Hari ini mah sepi, dari pagi baru berangkat dua angkot, itupun isinya cuma dua orang, yah mudah-mudahan bisa nambah dua-tiga orang lagi’ Aku terperanjat, ‘trus kalau nggak penuh berarti nggak berangkat dong mas?’ ‘Ya, kalau mas mau cepet kasih aja lah 150 ribu, ntar dianter sampe ke kawah Putih, ditungguin juga pulangnya’ Bah! Orang kampung ini licik dan opportunis rupanya. Jakarta selalu mengajariku untuk skeptis dengan tawaran manis. Aku takkan tergoda.’Tunggulah bentar lagi mas’, kataku. Cukup lama juga aku menunggu. Sesekali aku melirik Swiss Army KW yang melingkar elegan di pergelangan, jam 11:30. Waktuku terbuang percuma. Tapi baiklah, aku akan bersabar 30 menit lagi. Selama itu pula Mang Uus banyak menceritakan dirinya. Rupanya ia mantan TKI yang dijanjikan bekerja jadi supir, namun kenyataanya justru dipekerjakan sebagai buruh sawit di Malaysia. Masih tak cukup, ia harus merelakan uang setahun penghasilannya untuk menutup hutang pada PJTKI. Alhasil, ia pulang kampung tanpa memiliki apa-apa. Aku hanya sambil lalu menanggapi ceritanya. Hatiku yang masih berbalut curiga tak mengijinkanku untuk berempati. Tiga puluh menit waktuku terbuang percuma untuk mendengar kisah biografi Mang Uus. Saatnya membuat keputusan. Akupun membuka negosiasi. ‘Ke kawah Putih jadi berapa tadi?’ Tanyaku ‘150 mas’ ‘120 aja lah ya’ tawarku. Mang Uus hanya terkekeh sambil memberikan penjelasan rinci tentang perhitungan bisnisnya. ‘Gini mas, ke sana kan jauh, habis ongkos bensin 40 ribu, bayar tiket 15 ribu, belum lagi setor ke juragan mas, saya dapat berapa?’ Mmm iya, perhitunganya masuk akal memang. Aku mengintip lembaran rupiah di dompet, 300 ribu. Setidaknya masih akan tersisa cukup uang untuk mengantarkanku pulang ke Jakarta atau ATM terdekat jika aku benar-benar kehabisan uang. ‘Oke lah mas, tapi tambah ke situ Patenggan ya!’ ‘Ya sudah, sini pindah kedepan saja mas, biar enak kita ngobrol-ngobrolnya’ Sambil tangan kakinya lincah menekan kopling dan menyalakan mesin. Aku pun memenuhi tawarannya. Rasanya ia memang tak bohong. Sepanjang perjalanan nampak kulihat angkot-angkot mangkrak di pinggir jalan menunggu penumpang. Ia lebih mujur. Sedikit demi sedikit, aku mulai menaruh percaya padanya. Tanpa diminta, ia memberikanku penjelasan tentang lokasi yang akan kukunjungi, mitos dan semua cerita klenik seputar kawah putih, layaknya seorang guide. Cukup lama perjalanannya, ditambah kontur jalanan yang selalu naik, menjadikanku merasa bersalah telah menawar jasa angkotnya. Dan kini sampailah aku di Kawah Putih, sebuah tempat yang hanya kulihat di layar ponselku lima jam lalu. Ah, betapa dunia ini begitu sempit kelihatannya. Aku menghabiskan satu jam di kawah putih. Udara dingin dan bau belerang mengingatkanku pada puncak-puncak tanah Jawa dan Lombok yang pernah kujejaki dulu. Hanya saja terlampau banyak manusia disini. Tak seperti di Rinjani, ketika aku bisa meneriakkan Indonesia sekencang-kencangnya sambil berlinang air mata. Disini, aku tak bisa melakukan itu. Tapi tak apa, setidaknya pemandangan disini sedikit mengurangi ketegangan syarafku di Jakarta. Satu jam aku menghabiskan waktu di tempat itu. Setelah aku kembali, Mang Uus, yang sampai saat itu belum kuketahui namanya tersenyum padaku. ‘Sudah mas?’ sapanya. ‘Bentar yah, sholat dulu’ Ah, udara gunung selalu saja bisa membuatku menjadi lebih religius. ‘Oo mangga, musholla di sebelah sana’ sambil jempolnya bergerak ke satu arah, antara mempersilakan dan memberi petunjuk. Entahlah perpaduan Jawa dan Sunda yang aneh. Batinku. Lepas shalat, ia mengantarku ke situ Patenggan. Sebuah danau di tengah perkebunan teh yang luar biasa indah. Di etape kedua inilah aku mulai mengorek lebih dalam tentang dirinya. Ia telah memiliki separuh kepercayaanku. ‘Sehari narik angkot bisa dapat berapa mas?’ ‘Tergantung rejeki mah, kadang kalau lagi rame bisa dapat 20-30 ribu, kalau sepi mah paling cuma 10 ribu’ jawabnya. Gila, itu jatah sekali makanku di Jakarta. Kadang belum termasuk pajak. ‘kalau saya mah ikhlas, tergantung rejeki yang penting ada buat beli beras, kalau urusan lauk mah ada aja’ Ia menambahkan sambil pandangannya kosong menatap ke depan. Aku meresapi tatapan kosongnya. Tidak! Ini bukan tatapan seorang pengemudi penuh konsentrasi, tapi tatapan meratapi nasibnya yang tak begitu baik. Tak ingin nasibku berakhir celaka, aku kembali bertanya untuk mengalihkan perhatiannya. ‘Udah punya keluarga mas?’ tanyaku. ‘Sudah, anak saya tiga, masih pada sekolah semua. Satu SMK, adeknya SMP satu lagi masih SD. Mas udah berkeluarga?’ Ia balik tanya padaku. ‘Belum’, jawabku singkat. Entah kenapa aku selalu sentimen dengan pertanyaan macam itu. ‘Jangan buru-buru nikah kalau belum siap mas, saya kadang masih pengin cari duit ke luar. Kemarin ditawari kerja di Bangka, gaji 1,5, tapi inget anak istri mau dikasih makan apa kalau ditinggal nunggu duit sebulan nggak ada? Mending ngangkot, biar penghasilan kecil tapi tiap harinya ada’ Aku mengiyakan saja nasihatnya. Aku menghela nafas panjang sambil sesekali memainkan shutter kamera sepanjang kebun teh yang kulewati. Sunyi. ‘Emang cukup mas dari ngangkot buat keluarga?’ aku bertanya mengusir kebisuan. ‘Habis ngangkot, saya malemnnya ngojek mas. Nyewa motor tetangga. Lumayan lah nambah-nambah barang sepuluh duapuluh!’ ‘Kerja non stop dong mas?’ Aku masih tak percaya. ‘Yah tak apa disyukuri aja. Saya juga kadang nyesel dulu nggak nurut sama orang tua. Suruh sekolah nggak mau, cuma tamat SMP. Tapi saya mah bersyukur atuh, anak saya pada bisa sekolah semua, nggak pake biaya’ ‘Beasiswa? Pinter-pinter dong mas?’ tanyaku kembali. ‘Beasiswa sih nggak tapi Alhamdulillah ya, anak saya selalu dapat bantuan. Habis dia memang kreatip orangnya, sampai-sampai Bu Kades minjemin laptopnya buat anak Mang Uus, buat pengalaman katanya’ Oo, aku membatin bukan saja kagum karena kecerdasan anaknya, tapi  sedari tadi aku baru tahu kalau namanya Mang Uus. Akupun menyarankan untuk menguliahkan anaknya saja. Ide yang spontan Mang Uus tertawakan. Tapi aku berusaha meyakinkannya, karena akupun telah membuktikannya dahulu. Bahwa tak ada yang tak mungkin. Setidaknya banyak alternatif sekolah ikatan dinas tanpa biaya yang bisa ia coba. Ia pun berjanji padaku untuk mencobanya. Semoga saja. Akhirnya setelah perjalanan ke Situ Patenggan usai, ia kembali mengantarkanku ke terminal Ciwedey, tepat sesuai dengan yang dijanjikannya. Jam empat lewat, ketika di tengah jalan segerombolan anak-anak sekolah menyetop angkotnya. Ia bertanya padaku, bolehkah membawa mereka? Spontan aku mengiyakan. Kini aku telah mempercayai mang Uus sepenuhnya. Bahkan, rasanya ia telah menyentuh sisi empatiku yang sedari tadi berselimut kabut curiga. Biarlah anak-anak itu menjadi tambahan rejekinya. Sampai di Ciwedey, aku segera membayar ongkos. Sejenak, aku masih khawatir dengan jumlah sebenernya yang ia minta. Persis seperti kisah beberapa kawanku sendiri yang ditipu di muka, dengan dimintai ongkos lebih di belakang. Akankah Mang Uus melakukannya dan mencederai kepercayaan yang telah kuberikan? Kuberikan tiga lembar rupiah dari dompetku. Jumlah yang sesuai dengan permintaanya. Ia menerimanya dengan senyum, tanpa protes atau menggerutu karena menungguku terlalu lama. Aku masih bimbang sejenak, tak ada respon berarti darinya, kecuali ucapan terima kasih yang tulus. Rasanya ia telah berbuat banyak hari ini, maka aku kembali memberinya satu lembar rupiah lagi. Air mukanya berubah, mendadak bisu. Ia enggan menerimanya. ‘Terima saja mang, sekedar tambahan’ Untuk pertama kalinya aku memanggilnya Mang.. Matanya berkaca-kaca, mencium uang itu. Demi Tuhan itu bukan jumlah banyak, setidaknya untukku yang telah terbiasa hidup di Jakarta. Jumlah yang bisa saja kuhabiskan sekali saja demi memenuhi tuntutan gengsi atas nama profesi di mall-mall yang bertebaran di Jakarta. Tapi kata mang Uus, jumlah itu cukup untuk membuatnya tak narik angkot tiga hari tanpa membuat keluarganya kelaparan. Ya Tuhan, betapa timpangnya kehidupan. Sebelum meninggalkan Ciwedey, aku meminta nomer handphonenya. Aku punya firasat, suatu saat akan kembali ke tempat ini. Jika memang takdirku, aku ingin menemuinya lagi. Kini, rasanya aku mulai mengerti apa yang ditulis Coelho, ‘Maka bukalah matamu di tempat yang bisa membuatmu jiwamu menangis, karena disitulah harta sejatimu berada’. Harta sejati yang mungkin bukan berasal dari materi, tapi hati yang penuh dan harga diri karena bisa memberi manfaat sekecil apapun itu, dari pada hanya menjadi kacung berdasi di sebuah kota bernama Jakarta. Ah, rasanya terlampau tinggi aku berfilosofi. Toh, hingga detik ini aku juga masih menjadi kacung yang mengabdi pada modal. Sudahlah, itu pemikiran yang terlampau berat untuk dipikirkan di malam Minggu. Lagi pula Dago masih menungguku di sana, juga mojang-mojangnya. Bandung, 29 April 2012, Atas kebaikan hati Mang Uus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H