Aku kembali merenung untuk memikirkan sebuah jawaban atas pertanyaan Tuhanku, “Maka nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?” Semakin aku berpikir, semakin jauh jawaban berlari meninggalkan akalku. Aku dipaksa untuk mengakui bahwa aku memang bajingan yang beruntung. Sungguh, Tuhan itu baik, bahkan terlalu baik. Aku pernah mendengar selorohan anak manusia yang berkata, “Tuhan memang baik, tapi hanya uanglah yang mampu membuat manusia berkata Tuhan itu baik”. Aku tak punya pengetahuan atas kalimat itu. Boleh jadi memang benar, tapi boleh jadi tidak.
Jakarta, aku tak punya banyak komentar lagi atas tempat ini. Disini aku telah banyak melihat rupa manusia. Manusia yang kulitnya gosong terbakar matahari, yang berdiri diantara tumpukan sampah dengan muka nanar, atau manusia-manusia wangi yang necis dalam kabin dengan suhu ruangan yang terjaga. Ditengah-tengahnya ada ribuan manusia yang merayap di jalanan, yang setiap hari berkawan debu dan gas buang termodinamika setiap pagi dan petang, salah satunya aku.
Aku merasa mulai normal dengan kehidupan di tempat ini, Jakarta yang macet, Jakarta yang penuh dengan sumpah serapah dan lengkingan klakson di jalanan. Kini aku pun kian jalang. Aku bukan lagi manusia pecundang di jalanan. Hidupku separuhnya telah kuserahkan pada nyali, gas dan rem yang aku berharap tak akan pernah mencoba mencelakaiku untuk kedua kali. Percuma untuk menjadi normal disini. Di tempatku bekerja, aku belajar bahwa setiap penyimpangan dari standar adalah abnormal, cacat dan layak dibuang. Namun di Jakarta, kesemrawutan itulah yang menjadi standar. Jika aku menjadi seorang yang taat, akulah yang terbuang. Maka sudahlah, sampai kapanpun aku tak akan sanggup melawan histeria massa. Aku cukup legawa untuk menerima ekuilibrium kenormalan yang baru, membiasakan diri denganya dan menjadi bagian dari kenormalan hidup Jakarta. Meskipun kenormalan itu berarti kegilaan. Tak apa, kau gila, aku gila kita semua gila. Adil kan?
Jika kau stress dengan jalanan, di sini ada sejuta tempat yang menjanjikan kesenangan. Tak perlu memiliki privilis untuk menikmati semua itu asalkan ada uang. Namun, aku tak bisa banyak bercerita tentang tempat-tempat itu, bukan saja aku memang jarang menyambanginya, tapi aku menemukan hiburan baru disini. Tontonan sumpah serapah! Pernah satu kali aku melihat seorang pria gagah dengan seragam nyaris tertubruk motor. Mungkin karena takut, atau memang terburu-buru sang pengendara motor langsung tancap gas tanpa meninggalkan pesan maaf. Si pria gagah berseragam itu lalu mengejar dan mengeluarkan jurus tendangan maut yang sayangnya meleset. Dongkol, ia lalu berteriak, “Bangsat!!” Aku merasa geli melihat tingkah polah manusia di tempat ini. Sungguh, di jalanan setiap orang menjadi buas. Pantas saja dahulu seorang pria menyalamiku dan berkata, “Welcome to the jungle”. Peduli setan, jika memang Jakarta memang hutan belantara, aku akan berjuang untuk menjadi singa, bukan, lalat atau kecoa.
Sejauh yang aku tahu, kota ini memang keras. Para peragu, dan pemalu akan tergilas. Begitupun dengan aku. Aku belajar untuk tak pernah menundukkan muka meski di tempat ini aku bukan siapa-siapa, culun, dan wagu. Sungguh ada rasa galau tak terperi ketika kau di ceburkan ke dalam pergaulan baru, orang-orang baru, kebiasaan dan bahasa yang baru. Rasanya seperti orang yang tak bisa berenang diceburkan ke dalam kolam sendirian, panik, megap-megap dan ingin kembali ke daratan. Namun bisa jadi tempat inilah yang akan membuatku berubah dari nobody menjadi somebody. Jogjakarta memang selalu indah, namun hal itu tak boleh menjadi lebih indah dari masa depan. Karena aku tahu, ketika aku terjebak pada euforia kenangan masa lalu, aku tak akan kemana-mana.
Sekali lagi, aku bersyukur karena diijinkan oleh Tuhan untuk bisa merasakan kehidupan Jakarta, bahkan ketika toga belum aku kenakan. Setidaknya, aku telah melihat dan merasakan seperti apa sebenarnya realita kehidupan. Dulu aku memang pemimpi, berharap bisa menjadi lelaki yang ideal dalam imajinasiku. Nyatanya kadang realita memberikan jawaban yang berbeda. Dalam keadaan tertentu bahkan mimpi-mimpi itu harus ditanggalkan, berganti menjadi kewajiban untuk memberikan penghidupan pada orang-orang yang kau cintai, terlepas apakah kau bisa menikmati takdirmu atau tidak. Namun aku sedang tak ingin berhenti bermimpi. Bagiku, manusia yang beruntung adalah manusia yang bisa berpijak pada dua kakinya. Ketika manusia berjalan, ia akan melangkahkan satu kakinya kedepan, sementara kaki yang lain akan tetap tinggal diam menopang raga, begitu seterusnya secara bergantian. Ketika manusia melangkahkan kakinya kedepan, sesungguhnya ia tengah membangun mimpi, sedangkan kaki yang menopang raga adalah realita yang mau tak mau harus digauli. Namun aku percaya, kaki yang kita langkahkan ke depan pasti akan tiba giliranya menjadi penopang raga, yang berarti realita. Maka percayalah mimpi itu akan menjadi nyata, asalkan kita mau melangkahkan kaki. Tak usah kau pikirkan jika langkahmu berbeda dari tempat yang ingin kau tuju. Melangkah saja, karena dengan melangkah itu satu-satunya cara untuk menuju ke tempat yang ingin kita tuju.
Jika kau kembali bertanya, sukakah aku disini? Aku tak tahu! Aku hanya bisa menjawab, aku bersyukur. Akan bertahan berapa lama disini aku pun tak tahu. Aku merasa, ketika manusia semakin dewasa, semakin sulit pilihan-pilihan hidup yang harus ia ambil. Ketika ia mengambil keputusan, ia tak hanya sedang menentukan nasib bagi dirinya sendiri, melainkan orang-orang terdekat yang ia cintai. Boleh jadi, inilah saat kita akan membuat keputusan-keputusan besar dalam hidup. Tak ada keputusan yang benar atau salah, melainkan bagaimana membuat keputusan itu benar hingga nanti.
Aku tak ingin berhenti sampai disini, karena mimpiku masih mengajakku ke tempat-tampat lain yang ingin dituju. Jakarta memang menjanjikan dunia, tapi ketika hatimu tak berada disana, akankah kau terus mempertahankannya? Namun bisa jadi hatimu akan berkompromi karena tuntutan kesarjanaanmu, untuk segera mendapatkan pekerjaan apapun itu. Tak perlu kau tersinggung, aku pun pernah mengalaminya, Demi Tuhan. Pun tempat yang aku diami ini adalah buah tuntutan itu. Aku tak meminta untuk berada di tempat ini, semuanya mengalir begitu saja, meski sebenarnya aku memimpikan untuk berada di tempat lain selain Jakarta.
Tiga minggu lagi, dan aku resmi bukan lagi menjadi mahasiswa. Satu-satunya hal yang membuatku bahagia adalah kembali ke Jogjakarta. Ironis, tempat yang dulu aku ingin tinggalkan kini berubah menjadi kampung halaman yang selalu dirindukan. Aku sekarang justru bermimpi untuk menjadi bagian dari kota Jogja. Ya, aku akan pergi untuk kembali. Namun entah sampai kapan. Bisa jadi aku akan pergi ke negeri seberang, berpetualang, dan menikmati peradaban-peradaban baru. Dunia ini rasanya terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Dengan cara apa aku kesana? Sekali lagi aku tak tahu.
Biarlah sang invisible hand yang sudah terlalu baik kembali menunjukkan kebaikkannnya. Inilah langkah kakiku kedepan, yang lainya biarlah tetap berpijak di Jakarta, bergumul dengan kemacetan.
Entahlah, aku tak lagi memimpikan menjadi seorang hartawan, atau menjadi pria berdasi di kantoran. Satu hal yang aku tahu tak akan berubah adalah petualangan. Jika kau bertanya padaku tentang kebahagiaan absulute adalah ketika aku berada di ketinggian, menatap sunset yang merayap padam. Itu saja...
*Untuk Aussie, 29 Januari 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H