Mohon tunggu...
Danz Suchamda
Danz Suchamda Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya seorang spiritualis, praktisi meditasi, penulis. Hidup ini saya pandang sebagai sebuah meditasi yang mengalir sepanjang waktu. Dan manakala kita melihat dunia dalam persepsi termurnikan, sekaligus berani telanjang terhadap apa yang ada; maka dunia ini menjadi begitu berwarna, bercahaya, bernuansa pendar, dan menguak berjuta makna yg berlapis-lapis.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Batin yang Menghamba: Penilaian terhadap 'Orang Suci'

19 Oktober 2011   04:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:46 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti kita ketahui bahwa peran orang suci, nabi, santo, santa, buddha, bodhisattva, guru, dsb memiliki peran sentral dalam kejiwaan seorang spiritualis. Bagaimanakah sebaiknya kita memandang persoalan yg satu ini? Saya memulai kehidupan spiritual saya sewaktu saya masih remaja. Ayah saya yang seorang dokter jiwa (psychiatrist) mengkritik pemujaan saya terhadap tokoh-tokoh yg saya kagumi, yang berasal dari kisah-kisah kuno. Ia menyatakan bahwa sebaiknya mencari tokoh ideal / idola / panutan adalah dari tokoh real yg pernah hidup, bukan dari tokoh2 mitos/dongeng karena hal itu tidak realistik.Lebih lanjut ia mengatakan, peneladanan thd model yang tidak realistik akan menjadi bersifat problematik di masa kemudian kehidupanmu. Sekalipun pada saat itu saya tetap membandel, wejangan dari ayah saya ini memberi peran penting dalam arah pencarian spiritual saya -- terutama pada saat saya 'terbentur tembok dan terjungkal ke selokan'. Saya mulai melemparkan tebaran jaring pengetahuan saya seluas mungkin untuk mengetahui 'who is who'-nya dalam dunia spiritual yang sungguh majemuk. Saya tidak sekedar percaya atau menelan mentah-mentah segala sesuatunya seperti dulu, tapi secara mendalam mencoba menelusuri kebersejarahan dan kompleksitas inter-politik kehidupan sang tokoh dalam proses sampai sesuatu itu menjadi orthodoxy institusi. Ternyata ada kesamaan hal pada tokoh2 suci / guru yg digambarkan sebelum jaman modern ini : semuanya dibungkus oleh hagiografi* yang dikarang oleh pengikut2nya pada masa2 selanjutnya. Hagiografi adalah suatu bentuk karangan yang memuja2 dan melebih2kan kebaikan seorang tokoh yg dibumbui oleh kisah2 'mukjizat' utk memperkokoh kedudukan sang tokoh itu sebagai sentral dalam ajarannya. Dari situ, saya mulai mempertanyakan dengan sungguh2 : apakah arti sebuah kesempurnaan? Apakah ada seseorang yg sempurna?Bukankah kesempurnaan itu sendiri adalah sesuatu yang relatif tergantung sudut pandang penilainya?Katakanlah seorang Siddharta Gautama telah mencapai kesempurnaan dengan menjadi seorang Buddha dengan segala macam sepak terjangnya. Tetapi bagi seorang yg berpandangan hidup selibat adalah suatu kesalahan, maka kritik pun dapat dilontarkan pada sosok buddha itu sebagai seorang pria yg tidak bertanggung-jawab krn meninggalkan anak dan istrinya utk kesenangan pencarian pribadi (escapism). Meskipun demikian, catatan-catatan kritik itu semua saya tampung saja, karena saya tidak melihat terlalu penting apakah seorang tokoh dipuja atau dihina. Bagi saya, inti persoalan spiritual bukanlah pemujaan individu yang kekanak-kanakan seperti itu. Yang jauh lebih penting adalah menyimak apa pesan yang mereka sampaikan baik melalui perkataan maupun goresan kisah kehidupan mereka--memahami secara utuh. Pada periode selanjutnya saya mulai menelusuri tokoh-tokoh spiritual besar yang hidup pada jaman kita sekarang. Tokoh2 seperti Osho, Krishnamurti, Chogyam Trungpa, Bernadette Roberts, Mother Theresa, Gandhi, Dalai Lama, Rama Krishna, dsb. Karena mereka hidup pada jaman dimana manusia sudah cukup disiplin untuk memisahkan antara realita dan imajinasi, serta dikarenakan kemajuan teknologi utk memudahkan mereka berinteraksi dengan banyak orang yg terekam dalam bentuk catatan, maka saya menemukan gambaran yang lebih realistis tentang kehidupan sebenarnya seorang sosok yang "disucikan" atau "linuwih". Walaupun pada awalnya saya kagum dengan segala macam ucapan yang mereka lontarkan dalam ajaran-ajarannya, tetapi melakukan zooming ke kehidupan pribadi mereka ternyata menemukan sisi-sisi yang tidak selalu indah. Bahkan kritik-kritik dari para pengarang yang bersifat antagonis pun tidak kurang "kejam"nya menguliti bayang-bayang kisah kehidupan real mereka. Apakah ada sesuatu yang salah disini? Saya teringat kotbah dari pendeta saya di gereja sewaktu saya masih remaja dulu : bahwa pada akhir jaman ini akan banyak bermunculan guru-guru palsu (yg mana adalah utusan iblis) untuk mencegah manusia setia kepada Kristus. Saya rasa di agama lain pun akan muncul "dalih-dalih" serupa dalam penuturan dengan icon2 yang berbeda. Semuanya pada intinya adalah sebuah persaingan untuk membenarkan kelompoknya sendiri. Tentu saja saya melihat hal seperti ini sudah bukan jamannya lagi. Kita sebagai orang modern dan bertumbuh dewasa dalam spiritual tentu tidak akan mendunia dengan cara pandang yang karikatural kekanak-kanakan seperti itu. Lagipula, adalah tidak fair bila kisah tokoh nabi di jaman abad awal yang sudah tertutup oleh hagiografi dan sisipan/modifikasi sepanjang orthodoxy dibandingkan dengan kisah jurnalistik modern yg mengungkap segala sesuatunya tanpa tedeng aling-aling. Seandainya para tokoh nabi itu hidup di jaman sekarang di negeri barat, tentu tidak akan kurang pula catatan-catatan yg bersifat menyoroti secara tajam bayang2 kehidupan nyata mereka. Melihat ini semua, maka bukankah sebenarnya yang perlu kita sorot adalah kecenderungan batin kita sendiri yang menginginkan kenyamanan dan keamanan dari suatu sosok figur yg sempurna ...yg dipersepsikan sebagai pelindung yg 'infallible'? Ada sesuatu yang besar yg saya rasakan dari ini : yaitu bahwa pada masa kini, alam sepertinya memang mengajar dan menghajar manusia untuk secara radikal memahami proses batinnya sendiri -- suatu revolusi cara pandang. Jadi, apabila kita mencari sosok figur yang sempurna, ini tentu sudah salah jalan. Ajaran kesunyataan utk kita pada masa kini adalah bagaimana mengintegrasikan segala sesuatunya --termasuk sisi gelap kehidupan sang tokoh-- ke dalam suatu pemahaman baru yang cerah. Kita perlu mempertanyakan penilaian-penilaian terhadap hal-hal yang kita persepsikan sebagai bayang-bayang itu. Apabila kita bisa meneliti proses konflik di dalam batin kita sendiri dalam cermin gambaran kehidupan sang tokoh, maka pesan yang mereka sampaikan dalam keberduniannya menjadilah lengkap. Karena individu tokoh itu hanyalah suatu kilasan cahaya warna dalam alam...yang merupakan bagian tak terpisahkan dari warna-warna lain kesadaran yang ada di dunia ini. Dengan demikian, maka kesadarannya adalah kesadaran anda, kesadaran kita semua. Sisi bayang2nya adalah sisi bayang2 kegelapan kesadaran kita sendiri : sex, money, power, dsb. Sebuah proses pembelajaran spiritual yg dewasa, menuntut kita untuk memahami sisi kompleksitas batin manusia dalam pergumulannya. Tentu hidup ini bukanlah sesuatu yang hitam-putih, atau dongeng para peri dan pangeran yang berdiam dalam istana-istana emas. Perbedaan pergumulan batin para tokoh tercerahkan adalah sebuah pergumulan dengan tujuan kepada kebebasan, penuntasan makna keberhidupan yang utuh. Sedangkan kita sebagai orang biasa hanyalah bergumul untuk sesuatu yang remeh-temeh, mediocre, jangka-pendek, short-sighted. Dari perbedaan mendasar inilah maka kita sebagai orang biasa membutuhkan kehadiran mereka untuk menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan pribadi maupun kemanusiaan pada umumnya di dunia ini. Dalam kehidupan seorang yang remeh-temeh, maka kesuksesan menjadi ukuran. Tetapi hal itu sama sekali tidak berdampak pada kehidupan manusia yang lainnya di dunia ini. Secara ironis kita lihat kehidupan para tokoh tercerahkan itu begitu penuh dengan kegagalan, kekecewaan, pergumulan batin....tapi output dari kesadaran mereka mampu mengubah dunia. Mereka manjadi 'suci' bukanlah dengan menjadi manusia tanpa noda, tetapi karena kebulatan tekad perjuangan 'suci' melawan kegelapan bayang-bayang pribadi mereka sendiri maupun bayang-bayang kegelapan kemanusiaan pada umumnya, yg secara konsisten permata-permata itu coba dibagikan untuk kehidupan sesamanya.

  • T' Saint Osa Sudah saatnya kita untuk mengenali diri kita sendiri seperti petunjuk master Lao Zi. Saya merasakan bahwa dengan mencoba untuk mengenali diri, saya menjadi tidak mudah emosi ketika saya dikatakan buruk rupa oleh orang lain, lha saya ternyata memang buruk rupa je... Saya baru menyadari sekarang bahwa saya memang buruk rupa...
  • Daniel Suchamda Ya benar....itulah proses pemahaman diri. Bila kita marah lalu berkata dalam hati "saya tidak boleh marah"...itu adalah suatu bentuk pikiran yg mengingkari. Bila saya keras lalu berkata "saya harus lembut"....itu adalah hasil suatu proses pikiran semata yang tidak akan menjadikan anda lembut. Senyatanya anda akan tetap keras. Kekerasan itu baru hilang bila kita bisa melihat secara utuh dan kemudian menerima apa adanya. Dari situ akan ada sesuatu yang baru, yang lain. Kan tidak ada yg salah untuk menjadi orang keras? Alam sudah menjadikan diri anda dalam karakter itu. Persoalannya adalah bagaimana membawa karakter itu menjadi berguna menjadi sesamamu, dan alam semesta.
  • Daniel Suchamda Alvatarz Mc Law : hi..hi..hi.. orang2 suci adalah org2 yang bodoh, dan pengecut serta suka berbohong . Daniel Suchamda : Benar. Makanya aku masih lebih menghargai pembohong yg membawa manfaat buat kemanusiaan. Daripada pemujaan orang suci yg akhirnya merusak peradaban dan membawa musibah kpd kemanusiaan. Makanya repot kalau manusianya masih baru sampai tahap bisa dididik bila dibohongi. Dengan tulisan ini aku mencoba utk membukakan mata bahwa orang perlu belajar terhadap sesuatu yg realistik. Dan bukan subyeknya yang dipersoalkan, tapi si penerima pesan itu (yaitu diri kita masing2) yang harus menjadi pusat dari penyelidikan.
  • Hardi Cahyanta ‎- Terimakasih saya sudah ditag, Bro Daniel :-) - , barangkali jika dicermati, akan menarik untuk melihat alasan mengapa seseorang merasa perlu memililki tokoh panutan/ pujaan/ idola. Dalam ilmu psikologi (Freudian) misalnya, dipaparkan bahwa seorang anak mengalami "fase ibu", "fase ayah" dan pencarian jati diri, di mana si anak mencari sumber2 contoh di luar kedua orang tuanya. Ada semacam kebutuhan untuk mengidentifikasi diri dengan itu. Selain itu, dalam dunia spiritual (:agama), dikenal juga sistem "juru selamat", di mana seorang tokoh/ messias, diharapkan menjadi jalan pintas menuju keselamatan. Pemujaan tokoh dengan berbagai alasan tadi, menurut hemat saya berujung pada kebutuhan akan jaminan, akan rasa aman. Itu adalah kebutuhan akan "resep sederhana" untuk mencapai keamanan dari berbagai ketidakpastian. ;-)
  • Daniel Suchamda : Nah, benar...kebutuhan rasa aman. Tentu mas, karena figur yang sempurna (disempurnakan) apalagi di-elevasikan ke tataran Ilahi itu memberikan semacam garansi dan penutupan terhadap kecemasan eksistensial yg ada. Jauh lebih mudah untuk berlindung pada imaji-imaji figur, karena imaji itu statis, bisa dimiliki ('dikantongi' dalam wujud foto/simbol), 'abadi', memiliki otoritas, dan bisa dibentuk sesuai dengan kebutuhan. Jelas berbeda dengan realitas kehidupan yg serba ketidak-ada-kepastian, dinamis dan mengharuskan mengambil keputusan2 tanpa otoritas dari siapa pun.
  • Daniel Suchamda Yang menarik dari fenomena tokoh2 tercerahkan jaman modern ini adalah : Mereka mengajarkan kita sesuatu... Tapi pada akhirnya mereka meninggalkan kita sendiri untuk menilai itu dari diri sendiri (leave us alone to decide). Ini konsisten dengan pesan yg mereka sampaikan yaitu ALONENESS (kesendirian). Karena senyatanya kehidupan itu adalah sendiri...: dari otoritas sendiri, dan tiap2 manusia harus berjuang utk dirinya sendiri (pada dasarnya semua manusia egois/ mementingkan diri masing2), bebas dari beban pengaruh apa pun. Walaupun --hal yg sulit dipahami-- pada akhirnya sikap yang sendiri itu mewujud dalam satu kebersamaan yang global (ALL-ONENESS). Dimana tidak ada individu2 yg terpecah, karena kesadaran itu adalah menyeluruh. Paradox ini secara mikro bermanifestasi dalam kisah kehidupan mereka -- cahaya yg tak lepas dari bayang2. Tentu alam memanifestasikan ini dengan suatu tujuan.
  • ULe Albab pencarian akan sosok seseorang sempurna itu sepertinya ada dalam setiap dimensi kebudayaan manusia. pasca kedatangan para mesiah (Nabi dalam agama) pencarian ini terus berlanjut dengan muncul istilah satrio paningit, ratu adil, imam mahdi (syiah) dst...trims mas Daniel tulisan ini memperjelas kondisi "kekurangan" psikologis manusia
  • Daniel Suchamda : Ya, saya mengungkapkan kelemahan psikologis manusia sehubungan dengan figur sempurna. Tetapi di sisi lain, saya ingin mengatakan bahwa hadir manusia2 khusus yg secara nyata memberi pengajaran untuk menyelidiki secara langsung kelemahan2 psikologis itu, dan utk kemudian melampauinya. Bahkan --post-humously--, mereka 'tersirat' meninggalkan pesan bahwa : kemampuan manusia utk keluar dari kungkungan psikologisnya bukan berarti menjadikan dirinya bukan-manusia dengan segala dualitas dan konfliknya. Kalau Buddhis, lebih mudah memahami hal ini, karena adanya doktrin yg mengatakan bahwa : seorang yg tercerahkan bukan berarti bebas dari karma masa lampaunya. Ia masih harus menuntaskan karma masa lampaunya yang berbuah pada kehidupan yg sekarang.
  • Goldy Oceanta ulasan yg bagus
    • Hardi Cahyanta Mereka yang gagal memahami kesendirian, akan selalu sendirian walaupun tidak sadar atau menyangkal bahwa dia sendirian :-)
    • Daniel Suchamda : Ya benar begitu.Dan memang senyatanya kalau orang tercerahkan itu mengajarkan ALONENESS (kesendirian) itu = A. Maka sisi kontradiktif dari si tokoh/figur dalam sistem ini menciptakan saringan (filter)-nya sendiri : yaitu hanya akan mempertahankan 'pengikut' yang A. Sedangkan yang non-A akan rontok atau menyingkir dengan sendirinya (mereka akan cari figur). Tampaknya terdapat perubahan tema millenia 180 derajat. Di masa lalu, sistem melestarikan komunitas2 non-A (sekalipun secara doktrinal berekspektasi terhadap A), sehingga dalam kitab2 mereka selalu bersifatkan hagiografis yg ditambah dengan pasal2 pemusnahan bagi golongan A. Sedangkan jaman sekarang, sekalipun A berkembang dalam skala individu2 , akan tetapi pada akhirnya akan menciptakan suatu new-consciousness yang bersifat global (ALL-ONENESS). Paradox ini sungguh indah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun