Betapa berat, kian hari hidup rakyat negeri ini. Minimnya lapangan kerja dan beratnya tanggungan hidup tidak menutup kemungkinan akan membuat kesenjangan semakin melebar. Apalagi ketika pandemi Covid 19 saat ini. Diperkirakan Pandemi Covid 19 bisa menciptakan situasi dimana dalam waktu singkat rakyat terancam  kehilangan pekerjaan mencapai 50 persen atau lebih.
Selain itu, sejumlah perusahaan telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi (Disnakertrans)DKI Jakarta mencatat terdapat 16.056 pekerja di ibu kota yang terkena PHK (www.cnnindonesia.com, 4/4/2020)
Sayangnya, Dimana Covid-19 yang semakin ke seantero negeri tidak dibarengi dengan antisipasi yang baik oleh pemerintah. Bahkan edukasi dan informasi yang diberikan pemerintah hanya sebatas mengumumkan bertambahnya jumlah pasien positif corona saja, selebihnya 'dirahasiakan'. Tranparansi dari pemerintah betul-betul dipertanyakan.
Sangat disayangkan juga, pemerintah sejak awal meremehkan covid-19. Tampak dari membiarkan sumber covid-19 ke Indonesia, ketergantungan pada WHO, serta kebijakan yang limbung dalam mengupayakan pencegahan dan pengobatan. Membiarkan sumber wabah datang ke Indonesia tampak dari tidak adanya keputusan pemerintah melarang pendatang dari Cina masuk ke Indonesia, sejak dari terjadinya wabah di Wuhan hingga saat ini.
Belum lagi, Pemerintah belum memastikan dan mengeksekusi langkah-langkah strategis mutakhir  agar pandemi Covid-19 tidak semakin meluas. Tidak mau lock down untuk memutus transmisi virus tapi hanya Darurat Sipil dengan menerapkan social distancing dan physical distancing.
Lebih menyedihkan, kenapa pemerintah tidak merelokasi pos-pos anggaran antara lain pos anggaran pilkada 2020, pos dana pemindahan ibukota baru serta pos dana infrastruktur yang tidak mendesak untuk dialihkan untuk dana penanganan darurat Pandemi Covid 19. Dananya bisa untuk menanggung kebutuhan rakyat selama pandemi dan mengadakan peralatan ADP tenaga medis dan fasilitas penunjang sarana dan prasarana di seluruh Indonesia. Sebenarnya jika dari awal wabah virus Covid 19 terjadi diberlakukan lakukan lock down, maka dana penanganan Virus Covid 19 jauh lebih kecil dibandingkan hari ini.
Jika wabah ini kian meluas maka dampak pada perekonomian akan semakin masif. Saat ini Rupiah sudah anjlok. Berbagai pusat perbelanjaan pun memutuskan untuk menutup sementara operasionalnya, sehingga pendapatan manajemen dan berbagai tenant pun otomatis menurun. Jika kian hari Wabah kian menyebar pasti akan mempengaruhi sektor industri dan produksi. Lantas semakin lama pandemi maka otomatis roda perekonomian akan jalan ditempat bahkan mengalami penurunan. Akhirnya mengandalkan utang untuk mengatasi persoalan.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman angkat bicara soal pinjaman yang baru diperoleh pemerintah dari Bank Dunia dan kaitannya dengan mitigasi virus Corona di Indonesia. Ia menyebutkan utang sebesar US$ 300 juta atau sekitar Rp 4,9 triliun (kurs Rp 16.480 per dolar AS) itu berbentuk general financing. Artinya, utang tersebut tidak secara spesifik diperuntukkan untuk mendanai kegiatan tertentu, seperti contohnya untuk mitigasi dampak virus Corona atau Covid-19 .(www.bisnis.tempo.co, 24/3/2020)
Tragisnya, pemerintah mendapat hutang dengan wabah Covid 19 yang mendera negeri ini. Sekilas pinjaman tersebut begitu menggiurkan namun rakyat tidak boleh terkecoh. Karena dibalik pinjaman terdapat rentetan syarat yang justru membahayakan perekonomian bangsa hingga berpuluh tahun setelahnya. Dampaknya bukan sekarang, namun akan menjadi duri yang menusuk di sepanjang perjalanan perekonomian negeri. Masuk Jebakan hutang, dalam sistem ekonomi kapitalis, tidak ada makan siang gratis.
Inilah ironi yang terjadi di negeri ini. Pemerintahan Menjalankan amanah rakyat tanpa peduli apa yang dirasakan oleh rakyatnya. Mara bahaya dan ancaman Covid 19 yang menyebar ke seluruh seantero negeri malah ditangani setengah hati. Menganggap enteng persoalan Pandemi Covid 19 dengan hutang tanpa melihat kondisi rakyatnya yang terseok-seok menuju ancaman kematian dan kemiskinan. Pinjaman pun hanya untuk menyelamatkan  reformasi pada sektor keuangan terutama pasar modal para kaum kapital.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengakui dampak ekonomi dari virus corona atau Covid-19 lebih kompleks jika dibandingkan krisis 2008-2009 dan 1997-1998. Sebab, tidak ada aktivitas kegiatan ekonomi di dalam negeri dan juga tidak ada yang mengetahui kapan bencana virus ini selesai.(www.merdeka.com, 6/4/2020).
Sementara itu, rakyatnya untuk menghela nafas saja terasa berat karena kemiskinan dan beban ekonomi semakin sulit. Apalagi di tengah Pandemi Covid 19 seperti saat ini.
Ekonomi rakyat sangatlah memperhatinkan menginggat lapangan pekerjaan di indonesia sangat minim. Dengan kebijakan Social distancing dan physical distancing malah menyebabkan banyak pengangguran dan kemiskinan merajalela. Di tambah keran tenaga kerja asing ikut mewarnai ketenaga-kerjaan tanah air menambah lapangan pekerjaan semakin sempit.
Kini jerit tangis rakyat miskin seolah olah tidak didengar oleh pemerintah. Rakyat menjerit di  sebabkan oleh ketidakpastian pemerintah dalam menyelesaikan seluruh persoalan negeri ini.
Wajar saja masyarakat banyak yang miskin dan berpotensi jatuh miskin. Â Padahal negara ini adalah negara yang luas pantai terpanjang Di dunia. Ironi bukan? Indonesia terkenal dengan kekayaan SDA dari kandungan perut bumi sampai keberagaman hayati hutan, dari potensi laut yg melimpah sebagai negara maritim sampai kekayaan rempah-rempahnya yang mendunia. Â Tidak mampu menyelamatkan Indonesia dari Kemiskinan dan hutang.
Di dalam Islam, Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban kelak di pengadilan Allah SWT. Seyogyanya para pemimpin negeri ini mencari solusi dengan mengeliatkan sektor industri dan produksi di berbagai sektor bukan menambah hutang dalam mengatasi Pandemi Covid 19.
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'Anhu yang mengingatkan:
Artinya: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut." (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh
Alin FM
Praktisi Multimedia Dan Penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H