Mohon tunggu...
Alin FM
Alin FM Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Multimedia dan Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Biarkan tinta-tinta malaikat mencatat semua kata yang ku punya untuk dunia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lalai dari Covid-19

28 Maret 2020   01:19 Diperbarui: 30 Maret 2020   14:26 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor menunjukkan hasil tes cepat (rapid test) pendektesian COVID-19 kepada orang dalam pengawasan (ODP) di Bogor, Jawa Barat, Minggu (22/3/2020). Tes tersebut diperuntukan bagi peserta Seminar Anti Riba yang berlangsung di Babakan Madang Kabupaten Bogor pada 25-28 Februari 2020, dimana dua orang peserta seminar tersebut meninggal dunia di Solo Jawa Tengah akibat COVID-19. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww)

Sangat disayangkan, pemerintah sejak awal meremehkan covid-19. Tampak dari membiarkan sumber covid-19 ke Indonesia, ketergantungan pada WHO, serta kebijakan yang limbung dalam mengupayakan pencegahan dan pengobatan.

Membiarkan sumber wabah datang ke Indonesia tampak dari tidak adanya keputusan pemerintah melarang pendatang dari Cina masuk ke Indonesia, sejak dari terjadinya wabah di Wuhan hingga saat ini.

Pemeriksaan suhu di bandara serta pelabuhan dan tindakan apa pun itu, tetapi dengan tetap mengizinkan pendatang dari Cina masuk ke Indonesia justru memfasilitasi terjadinya wabah di Indonesia. Ini menunjukkan pemerintah remeh dalam kasus covid-19 bahkan bisa dikatakan lalai.

Sebab, riset terkini yang dimuat di The Lancet, menunjukkan penderita infeksi covid-19 bisa hanya dengan gejala ringan bahkan tanpa gejala. Karena begitu sulitnya mendeteksi pengidap infeksi covid-19.

Maka seharusnya, yang harus dilakukan pemerintah adalah pencabutan visa bebas kunjung bagi warga negara Cina. Menutup keran sumber wabah untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.

Kelalaian pemerintah berikutnya adalah mengikuti info WHO, Menyadur dari BBC, pada Februari lalu Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus pernah mengungkapkan bahwa virus corona berpotensi menjadi pandemi. 

Namun saat itu Tedros tak kunjung menyatakannya sebagai pandemi sebab belum terjadi penyebaran global yang tak terkendali. Status pandemi global virus corona baru ditetapkan WHO pada Kamis (12/3/2020), sebulan setelah prediksi tersebut.

Meski pada akhirnya ia mengakui kesalahan fatal tersebut sebagaimana diwartakan Channel News Asia, Selasa (28/1/2020), dan pada Kamis (30/1/2020) dinyatakannya dunia dalam bahaya (Forbes.com, Kamis, 30/1/2020).

Terlebih lagi, begitu banyak bukti bahwa WHO hanyalah berdedikasi bagi kepentingan hegemoni dan korporasi raksasa farmasi dunia milik negara-negara kafir penjajah (ghwatch.org). 

Sudah menjadi rahasia, kemunculan wabah baru seringkali diikuti dengan penjualan vaksin yang harganya selangit, ini belum berbicara apakah vaksin itu benar-benar ampuh sebagai pelindung atau justru menjadi silent killer. Bahkan, berdasarkan kejadian serupa yang sudah-sudah, kemunculan wabah baru identik dengan ketergantungan dunia pada korporasi industri farmasi, obat-obatan, dan vaksin.

Paling disayangkan ketidaksungguhan pemerintah dalam upaya pencegahan dengan peningkatan imunitas masyarakat melalui asupan nutrisi bergizi. Sebab, nyaris tanpa tindakan, jauh dari langkah antisipatif, jauh panggang dari api. Sulitnya Ekonomi Masyarakat minimnya asupan gizi dan nutrisi.

Saat ini,  ada puluhan bahkan ratusan juta penduduk Indonesia  hidup miskin. Dan, kemiskinan itu sendiri identik dengan buruknya akses pada segala aspek yang penting bagi peningkatan daya tahan tubuh. Seperti asupan bergizi, sanitasi dan air bersih, tempat tinggal dan perumahan yang sehat.

Ini semua jelas-jelas membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk penyelesaiannya. Ini di satu sisi. Di sisi lain, angka kesakitan berbagai penyakit menular yang menjadi faktor risiko kematian Covid-19 begitu tinggi, seperti TBC, HIV, dan malaria.

Kelalaian itu juga tampak pada upaya pengobatan. Karena efektivitas kemampuan fasilitas kesehatan di Indonesia terbatas pada jumlah tertentu. Sebagaimana ditegaskan Tri Yunis Miko Wahyono, Ketua Departemen Epidemiologi di Universitas Indonesia, "Dari 100 rumah sakit, paling banyak rata-rata masing-masing merawat 3 pasien, jadi sekitar 300 pasien yang mampu di rawat di rumah sakit isolasi itu."

Lebih lagi, tambah Miko, jika jumlah pasien terus bertambah, ada kemungkinan pihak rumah sakit mengalami kekurangan peralatan bagi petugas kesehatan, seperti pakaian pelindung. (bbc.com).

Dengan demikian dari aspek mana pun, jelas sekali pemerintah Indonesia lalai dan tidak siap menghadapi wabah Covid-19. Yang bila ditelisik secara mendalam semua kelalaian itu berpangkal dari berbagai paradigma batil sekuler yang menyandera pemerintah. Baik yang terhimpun dalam konsep good governance, maupun aspek-aspek lain.

Berpangkal penerapan sistem kehidupan sekuler kapitalisme, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri. Sementara itu, membebaskan Indonesia dan dunia dari ancaman pandemi kuman mematikan merupakan persoalan yang mendesak.

Ini membuka mata dan telinga kita, bahwa pentingnya pemimpin negarawan dan sistem yang benar dalam menyelesaikan kasus Covid-19 dengan sempurna.

Oleh
Alin FM
Praktisi multimedia dan penulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun