Alangkah baiknya pasangan yang terlanjur mengalami KDRT duduk bersama dengan kepala dingin, saling introspeksi diri dan saling memahami. Tidak ada kata terlambat untuk saling memaafkan lalu kembali membangun biduk dari awal. Kalau sudah ada sang buah hati, tatap wajah polos mereka, betapa menderitanya mereka karena emosi sesaat orang tuanya yang berakhir dengan drama adu mulut bahkan kekerasan fisik.Â
Lebih bijak lagi jika dalam penyelesaian masalah tanpa melibatkan pihak lain dulu untuk menghindari intervensi. Atau beri waktu pada masing-masing hati agar tidak mengambil keputusan ketika marah. Apabila masih ada ruang untuk saling mengasihi, merangkul kembali pasangannya maka solusinya tidak harus dengan perceraian. Toh, banyak juga pasangan penyintas KDRT yang berhasil langgeng karena dapat menyelesaikan masalah dengan kepala dan hati yang dingin.
Namun tidak bisa disalahkan juga ketika beberapa pasangan memilih perceraian sebagai solusi akhir. Kondisi yang sudah porak poranda, hilangnya kepercayaan antar pasangan, cinta kasih yang telah hambar tidak akan bisa dikembalikan seperti sediakala sehingga perpisahan merupakan jalan keluar yang paling baik bagi mereka.
Ketok palu pengadilan sebagai tanda status baru (duda atau janda) bukan akhir dari drama KDRT. Terlebih bagi mereka yang telah dikaruniai buah hati karena menjadi single parent itu juga tidak mudah.Â
Di samping harus membangun kembali puing-puing hatinya yang retak, sang single parent ini masih harus mendampingi anak yang bisa saja down akibat perceraian orang tuanya. Belum lagi berbagai stigma yang cenderung negatif dari masyarakat sekitar yang mengharuskan tebal hati dan tebal telinga.
Apapun yang menjadi keputusan final dari pasangan tentu dengan harapan masa depan lebih baik. Maka hargai segala pilihan mereka tanpa tendensi ikut campur dalam bentuk apapun.
Apakah yang harus dilakukan agar KDRT tidak terjadi dalam sebuah hubungan suami istri?
Faktor ekonomi sering menjadi kambing hitam terbesar ketika terjadi pertengkaran. Uang memang segalanya setelah pasangan memutuskan untuk berumah tangga. Terlebih jika sudah memiliki buah hati. Automatis kebutuhan akan meningkat drastis dan ujungnya memang kembali pada uang lagi.
Setiap rumah tangga akan menemui ujiannya masing-masing. Adanya masalah merupakan titik tolak pendewasaan suami istri agar dapat lebih memupuk cinta kasihnya demi kelanggengan rumah tangga.
Mengisi kekosongan rohani dengan kegiatan yang positif meski kondisi rumah tangga sedang tidak baik-baik saja. Lebih baik menghindari perselisihan dengan diam terlebih dahulu. Setelah suasana hati bisa diajak kompromi, ajak pasangan untuk berbicara dari hati dengan hati. Bangun energi positif "jangan ada kekerasan" agar jiwa kita ikut tersugesti.Â
Introspeksi paling dalam saat dilakukan berdua dalam suasana syahdu tentu akan memberi dampak yang lebih baik. Tidak perlu ada drama macam-macam jika kedua belah pihak saling memahami, menerima kekurangan dan kelebihan dari pasangannya dan saling memaafkan.