Menjadi Sahabat Yang Friendly Ketika Anak Mulai Pacaran
Orang tua akan merasa was-was ketika anak mulai pacaran. Hal yang wajar karena orang tua tidak ingin pacaran berdampak buruk bagi anak. Ceramah yang lama, nasihat yang panjang dengan intonasi agak tinggi memicu salah paham antara orang tua dan anak. Masa pubertas adalah masa penuh inovasi, menggali rasa ingin tahu hingga cenderung memberontak. Alangkah baiknya orang tua mengimbangi agar anak merasa ada dukungan. Sering kali orang tua menghakimi dan menolak lupa bahwa anak mereka tidak kecil lagi.
Siklus anak memiliki rasa tertarik pada lawan jenis terjadi secara alami. Tidak perlu merespon dengan khawatir yang berlebihan. Bukankah dulu kita juga mengalaminya? Jika orang tua kita masih dalam mode kolot maka sudah waktunya kita merombak pandangan pacaran di usia remaja itu tabu atau pamali. Jangan sampai anak justru main backstreet karena terhalang restu orang tua. Hehehe.
Ajari anak untuk selalu terbuka dengan masalah pribadinya termasuk soal asmara. Kita menjadi orang tua yang asyik maka anak pun akan nyaman untuk berbagi kisah. Kesampingkan watak seram agar anak-anak kita bisa jujur tanpa paksaan. Lempar candaan ringan agar mental si anak tidak mudah down. Ngobrol santai ala anak masa kini sambil selingi dengan nasihat. Anak senang, orang tua pun merasa tenang.
"Prestasi si doi bagus di kelas jangan sampai kamu kalah dalam belajar loh, Nak."
"Tadi traktir apa nih di kantin? Seru dong pastinya?"
"Boleh kok punya teman dekat tapi ingat belajarnya jangan kasih kendor."
Tiga kalimat di atas hanya contoh sederhana bahasa komunikasi orang tua dengan anak. Gaya yang ringan dan jauh dari kesan marah akan memberi timbal balik yang baik karena anak juga akan menghargai kita.
"Kamu itu masih bocil, pacaran melulu. Mau jadi apa kamu, ha?!"
"Jajan saja masih minta uang orang tua sudah bawa-bawa cewek!"
"WA cowok terus sampai keriting jarinya. Lupa kewajiban! Kamu itu tugasnya sekolah, pulang terus bantu ibu!"
Bisa dibadingkan dengan tiga kalimat berikutnya. Ketika orang tua berapi-api maka di anak yang ada akan semakin menghindar dan tertutup. Dalam rasa tertekan akan tersemai benih-benih pemberontakan. Jangan heran jika suatu hari anak juga membalas dengan bentakan sebagai respon akumulatif rasa muak pada warak meras orang tua.
Orang tua jangan sungkan untuk memberitahu hal-hal yang harus dihindari saat anak berpacaran. Misalnya boleh jalan bersama tapi tidak bergadengan tangan, berangkulan apalagi berciuman. Sangat absurd tapi harus ditegaskan agar anak berpacaran secara sehat. Boleh memiliki pacar tapi untuk penyemangat. Bicara dari hati ke hati dengan anak secara friendly agar amanat kita tersampaikan.
Ada kalanya kita memposisikan diri sebagai sahabat bagi anak agar mereka tidak sungkan untuk terbuka. Ada kalanya kita memposisikan diri sebagai orang tua yang tegas agar mereka tidak menyimpang norma pergaulan. Memberi izin atau kebebasan pada anak untuk mengenal cinta dengan batasan-batasan yang tegas jauh lebih bijak dibanding melarang mutlak tanpa alasan yang logis. Norma kesusilaan harus diterapkan secara jelas agar anak paham bahwa pacaran bukan hubungan yang halal. Beri rambu-rambu agar anak ingat adab bergaul dengan lawan jenis. Pentingnya ilmu agama sebagai pondasi agar anak dapat mandiri sekaligus berkepribadian yang bisa dipercaya. Orang tua tetap harus mengawal karena masa pubertas ini adalah masa dengan emosi yang masih labil. Jangan sampai sikap kita menjadi bumerang.
Parenting adalah circle yang akan terus menjadi ajang belajar baik bagi orang tua maupun bagi anak. Pubertas anak adalah ajang orientasi orang tua untuk menjadi lebih bijak. Pacaran adalah salah satu proses bagi anak menuju dewasa. Mari kawal anak-anak kita agar menjalani hubungan pertemanan yang sehat dengan asyik, bijak lalu mendewasa bersama. Terima kasih.
Kebumen, 9 November 2022
Penulis : Danu Supriyati, S.Si
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H