Terprovokasi, beberapa rekan yang lain juga memasukkan peralatan ke dalam tas dan cabut.
"Ke mana?" saya bertanya.
"Embuh.... Eh, Koramil ae," Rekan saya menjawab sekenanya.
Hanya ada saya dan Hendra, seorang jurnalis televisi swasta di ruangan itu. "Lanjut ae. Sini kan tempat pengungsian. Mestinya, kan aman." Hendra mengangguk. Saya melanjutkan streaming. Hingga listrik padam di tempat itu yang memaksa kami harus pergi.
Ya. saya pulang ke rumah saya, sekitar 9 km dari Tawang. Melawan hujan kerikil.
Di rumah, saya melanjutkan streaming. Rekan-rekan ternyata sudah di Pos Pengungsian di Convention Hall Simpang Lima Gumul.
Suasana di rumah ramai. Anak saya, Firyaal dan Azza, yang masih TK dan kelas 3 SD juga terbangun. Hampir pukul 01.00 dini hari, saya masih streaming gambar. Budi Pranoto, korlip saya telepon. Awalnya, dia bukan tanya berita. "Kamu aman 'kan?" tanyanya.
Pukul 03.00, tiga item berita, sudah tuntas terkirim. Teman saya Fedho datang ke depan rumah. Setelah sharing sejenak, dia tertidur di kursi hingga pagi...
Para tetangga masih gaduh. Mereka bertengger di atap membersihkan tumpukan kerikil.
Paginya, kami menyaksikan kerusakan bencana Kelud yang masif.
"Piye kondisi sampean kang?" Telepon saya ke Yuli sudah tersambung. "Nggak popo, alhamdulillah sehat. Â Mbah Kelud ngamuk tenan mas.. Omahku ajur," jawab Yuli, suaranya terdengar sedih.. (**)