Mohon tunggu...
DANUR WIDIASTUTI
DANUR WIDIASTUTI Mohon Tunggu... Diplomat - Mahasiswa

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hambatan Pemberantasan Rasisme Serta Pengaruh Rasisme Dalam Hubungan Internasional

5 Juni 2023   06:35 Diperbarui: 5 Juni 2023   07:06 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perilaku rasisme merupakan antagonisme, diskriminasi atau prasangka yang dihadapkan pada seseorang maupun kelompok etnis, agama, ras tertentu dengan posisi perbedaan marginal dan minoritas. Keyakinan mengenai manusia dengan dasar biologis menjadi kelompok yang berbeda dengan hubungan antara sebab akibat kecerdasan, moralitas, kepribadian, ciri perilaku dan budaya yang mengakibatkan sejumlah ras dipandang lebih unggul. Rasisme sendiri adalah salah satu persoalan utama dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat dikarenakan kata rasisme memberikan efek emosional yang besar yakni rasa sakit terutama pada kelompok yang pada masa lalu mengalami tindakan eksploitasi dan penindasan atas dasar sikap yang rasis. Namun berbanding terbalik dengan kelompok yang tertindas, pada masyarakat dengan etnis budaya yang berkekuatan untuk melakukan eksploitasi terhadap masyarakat lain, rasisme memberikan kontribusi pikiran yang tinggi untuk berperilaku unresponsible serta pasif pada perilaku rasisme. Pada pandangan politik, korban dari tindakan rasisme akan dikuasai dan ditindas oleh ras yang dapat mengendalikannya. Masyarakat yang menjadi korban tidak dapat melakukan konfrontasi terhadap perilaku yang dilakukan terhadap diri mereka dikarenakan kuasa yang besar dimiliki oleh pihak ras yang lebih kuat maka kemungkinan untuk menentang mereka melakukan perlawanan maupun pemberontakan dengan akhir berupa kegagalan yang dampaknya lebih buruk dan masif. Pada bidang ekonomi, perilaku rasisme dilakukan dengan tindakan eksploitasi sumber daya alam secara habis-habisan dengan mengakibatkan pihak yang dirugikan tidak merasakan hasil untuk dinikmati. Seluruh sumber daya manusia juga dimanfaatkan untuk kepentingan perekonomian ras yang berkuasa, mereka secara paksa bekerja keras yang memberikan keuntungan besar namun perekonomian tidak berkembang diakibatkan ketergantungan yang tinggi pada rasa yang menguasai. Ketertindasan yang alami mendorong kemiskinan yang secara material berlanjut pada kemiskinan kebebasan, kesehatan, pendidikan yang merenggut identitas dari kelompok yang mengalami rasisme. Pada bidang hukum, ras yang dinilai lebih lemah akan mendapatkan sasaran sebagai objek penindasan. Peraturan yang dibuat kerap memiliki sifat yang membatasi dan mengikat hak-hak ras tertentu sehingga pada hadapan hukum rasisme mengalami perlakuan yang diskriminatif.

            Menurut North Star Forward Consulting, rasisme dibagi menjadi empat dimensi. Rasisme internal yakni terdapat dalam tindakan, rasa, serta pikiran yang secara sadar maupun tidak sadar dilakukan sebagai individu. Rasisme interpersonal yakni perilaku rasisme oleh individu kepada ras tertentu dengan interaksi publik yang memberikan pengaruh. Rasisme institusional yakni tindakan diskriminasi yang langgeng berada pada sistem ekonomi, politik, atau hukum. Hal ini berakibat ketimpangan dalam hak-hak sipil dengan budaya kerja menyudutkan ras minoritas. Rasisme sistemik yakni tindakan rasisme yang lebih jauh karena berada pada entitas penegak kebijakan yang memiliki sifat rasis pada berbagai bidang diakibatkan praktik diskriminatif yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Negara yang mengesampingkan masalah rasisme dapat membuat mekanisme yang perbaikan dan identifikasi pola diskriminasi mengalami hambatan.  Dalam sejarah, praktik rasisme dapat diperlihatkan dari ras tertentu memiliki status pekerjaan, pendidikan, dan hak-hak sipil yang tergolong rendah dibandingkan ras dominan yang berkesempatan pada kekuasaan politik, sosial, dan ekonomi dengan akses yang lebih eksklusif. Menghilangkan prasangka rasis tidak dapat menyelesaikan kesenjangan yang diakibatkan rasisme selama berabad-abad. Pandangan yang invalid mengenai perbedaan ras telah memberikan kerugian yang besar untuk korban rasisme sehingga melahirkan konflik, kebencian hingga pada ancaman nyawa.

            Fenomena globalisasi membuat batasan negara menjadi borderless dengan lahirnya liberalisasi pada berbagai lini kehidupan. Amerika Serikat sebagai pemenang Perang Dunia II serta Perang Dingin memperoleh power dalam melakukan penyebaran globalisasi dengan ideologi demokrasi dan sistem ekonomi yang liberal. Hegemoni yang berpengaruh oleh Amerika Serikat menguatkan paham pro pada globalisasi terutama kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme adalah gagasan ide yang memiliki tujuan untuk mengoptimalkan konsep masyarakat dunia dengan identitas yang tidak mendasar pada teritori batas negara sehingga mampu dalam mencapai perdamaian dunia. Tujuan kosmopolitanisme yakni perdamaian abadi dengan bersatunya manusia dalam kesatuan identitas dengan kesetaraan kedudukan warga negara satu dengan yang lain, keterbukaan negara, hingga kebebasan HAM. Namun hambatan pada pemberantasan rasisme lewat kosmopolitanisme dapat dilihat dari islamophobia di Eropa. Dengan akibat kaum muslim yang dipandang sebagai radikal karena peristiwa 9/11 di Amerika Serikat.  Hingga kini, islamophobia membuat penduduk muslim kehilangan perlindungan hak untuk beragama yang berhubungan erat pada keadilan dalam aturan kosmopolitan. Kegagalan di Amerika Serikat untuk menciptakan kosmopolitanisme dapat terlihat dari rasisme masyarakat yang tinggi dengan 7,314 kasus kebencian dan 8,559  penyerangan atas latar belakang etnis dan ras pada tahun 2019 oleh The FBI's Hate Crime Statistics Report. Kuatnya rasisme mencederai HAM sehingga sulit untuk membangun identitas bersama untuk penciptaan perdamaian abadi.

Rasisme juga berdampak besar terhadap hubungan internasional dengan mempengaruhi berbagai aspek. Paradigma utama dalam studi Hubungan Internasional, seperti realisme dan liberalisme, memiliki tujuan untuk menjelaskan mekanisme kerja sistem internasional. Kedua paradigma tersebut menyampaikan pandangan bahwa dunia internasional adalah suatu sistem yang memiliki sifat "anarkis". Sistem internasional yang bersifat anarkis di sini merujuk pada konsekuensi dari tidak adanya entitas politik yang lebih tinggi dari negara dan karakteristik negara yang selalu bersifat egois dan independen. Salah satu bentuk nyata yaitu kemunculan fenomena negara gagal atau rogue state. Pada praktiknya peristiwa ini kerap melekat pada negara-negara Afrika dan negara-negara Dunia Ketiga. Konsep ini telah membuat negara Barat menjadi "penolong" dan negara-negara Dunia Ketiga sebagai yang harus di tolong mereka. Hal inilah yang membuat rasis menjadi akut sejak era kolonialisme. Adapun beberapa poin di mana rasisme mempengaruhi dinamika hubungan internasional yang pertama konflik dan ketegangan etnis, rasisme dapat menjadi pemicu konflik antara negara-negara atau kelompok-kelompok etnis. Etnis atau suku bangsa seperti yang diketahui memang memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Sesuatu yang dianggap normal atau baik bagi suku tertentu akan terlihat berbeda pandangan dengan suku lainnya. Perbedaan etnis ini dapat menyebabkan terjadinya konflik antar sesama kelompok etnis. Konflik etnis ini dapat mempengaruhi stabilitas regional dan bahkan memicu konflik berskala besar. Yang kedua mempengaruhi dalam hal politik migrasi dan pengungsi, rasisme dapat mempengaruhi kebijakan migrasi dan penanganan pengungsi.  Diskriminasi rasial dapat menyebabkan pengungsi atau imigran menjadi rentan terhadap perlakuan tidak adil, penolakan masuk, atau pengabaian hak asasi manusia. Rasisme juga dapat mempengaruhi sikap dan kebijakan pemerintah terkait integrasi imigran atau pengungsi, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi hubungan bilateral dan multilateral. Yang ketiga adanya ketidaksetaraan global dipengaruhi oleh rasisme, hal ini berkontribusi pada ketidaksetaraan global yang ada antara negara-negara dan kelompok-kelompok ras tertentu. Seperti di negara Amerika Serikat terhadap warga dari keturunan Amerika Latin, Afrika hingga Asia mendapatkan sikap rasis dari warga kulit putih Amerika Serikat, seperti dalam hal gaji tahunan. Untuk warga keturunan Amerika Latin mendapatkan sekitar USD33.540 (sekitar Rp472 juta), sementara untuk gaji seorang warga kulit putih adalah USD61.576 (Rp867 juta). Ada perbedaan sebesar USD28.036 (Rp394 juta) per tahun. Hal ketidaksetaraan ini juga dapat terlihat dalam akses terhadap sumber daya, kesempatan ekonomi, pendidikan, dan pengaruh politik. Ketidaksetaraan tersebut dapat menciptakan ketegangan dan konflik dalam hubungan internasional, serta menghambat upaya kerjasama dan pembangunan global yang adil. Yang keempat diplomasi dan pengaruh dalam kerja sama global, rasisme dapat mempengaruhi hubungan diplomatik antara negara-negara. Hal itu karena prasangka rasial dan stereotip negatif dapat mempengaruhi persepsi dan sikap negara terhadap satu sama lain, yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri, diplomasi, dan kerjasama regional. Seperti negara Uni Eropa yang membuat kebijakan tentang imigran. Rasisme juga dapat mempengaruhi pengaruh negara-negara tertentu dalam lembaga-lembaga internasional, memperkuat ketimpangan kekuasaan dan menghambat kesetaraan representasi. Lalu yang terakhir rasisme dapat mempengaruhi dalam Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan global, rasisme melanggar hak asasi manusia dan prinsip-prinsip keadilan global. Praktik-praktik rasial yang merendahkan atau mendiskriminasi melanggar prinsip-prinsip universal tentang martabat manusia, kesetaraan, dan non-diskriminasi. Di Amerika Serikat, separuh dari orang kulit hitam yang ditembak dan dibunuh oleh polisi tidak sebanding dengan komposisi demografi AS. Meskipun jumlah orang kulit hitam hanya sekitar 13 persen dari total populasi, jumlah mereka yang tewas akibat tindakan polisi lebih dari dua kali lipat jumlah orang kulit putih yang mengalami nasib serupa. Setiap satu juta populasi orang kulit hitam, terdapat 30 kasus kematian karena tembakan polisi. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan statistik yang menunjukkan bahwa setiap satu juta populasi orang kulit putih, terdapat 12 kasus kematian karena tembakan polisi. Data ini menggambarkan kemungkinan adanya rasisme atau diskriminasi terhadap individu dengan warna kulit yang lebih gelap. Pelanggaran hak asasi manusia ini yang disebabkan oleh rasisme dapat memicu reaksi internasional, termasuk sanksi, isolasi diplomatik, atau intervensi internasional. Namun rasisme bukanlah faktor tunggal yang mempengaruhi hubungan internasional. Tetapi, dampaknya yang meresap dalam dinamika politik, sosial, dan ekonomi internasional menunjukkan pentingnya mengatasi rasisme dalam upaya membangun hubungan internasional yang lebih adil, dan inklusif.

Rasisme merupakan perilaku atau prasangka yang ditujukan kepada individu atau kelompok berdasarkan perbedaan etnis, agama, atau ras tertentu. Rasisme memiliki dampak emosional yang signifikan, terutama pada kelompok yang telah mengalami eksploitasi dan penindasan sebelumnya. Rasisme dapat terjadi dalam berbagai dimensi, seperti tindakan individu, perilaku interpersonal, sistem institusional, dan entitas penegak kebijakan. Rasisme juga berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk konflik etnis, kebijakan migrasi, ketidaksetaraan global, hubungan diplomatik, dan pelanggaran hak asasi manusia. Praktik rasisme melanggar prinsip-prinsip universal tentang martabat manusia, kesetaraan, dan non-diskriminasi. Data yang ada juga menunjukkan terdapat ketimpangan dalam beberapa negara, yang mengindikasikan adanya dugaan rasisme atau diskriminasi. Rasisme juga memiliki dampak negatif pada hubungan internasional, menghambat kerjasama global, dan merusak perdamaian dunia. Oleh karena itu, mengatasi rasisme merupakan perjalanan panjang yang membutuhkan upaya berkelanjutan. Keterlibatan individu, komunitas, dan pemerintah sangat penting dalam mengenali dan mengatasi rasisme guna menciptakan masyarakat yang adil, setara, dan harmonis.

Nama               : Danur Widiastuti (151220045) &  Rizky Yunita Putri (151220046)

Kelas               : HI-B

Mata Kuliah    : Politik Internasional

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun