Posting-posting sebelumnya mungkin memprovokasi setiap kita untuk mengetahui passion kita, atau kecintaan kita. Apa yang kita cintai? Apa yang kita senangi sehingga terus berkarya meskipun tidak dibayar? Ada juga yang bertanya untuk apa kita mengetahui passion kita? Kalau saya sih jawabnya, untuk menemukan kebahagiaan kita dalam hidup ini yang secara langsung akan menuju kepada kesuksesan.
Mungkin pembaca sudah beberapa kali melihat buku rujukan yang saya gunakan yaitu 8 to be Great, karya Richard St. John. Dan saya tidak bosan untuk memberitahu bahwa buku tersebut ditulis berdasarkan riset selama 10 tahun dengan mewawancarai langsung 500 orang sukses dari profesi a-z. Saya tidak mendewakan buku tersebut tapi saya berusaha menyampaikan sesuatu yang jarang disampaikan oleh pendidikan di negeri ini dan juga berusaha untuk melengkapi kekurangan yang ada pada buku tersebut berdasarkan keterbatasan yang saya miliki.
Untuk menuju kesuksesan tidak cukup hanya dengan mengetahui passion kita, tetapi ada hal-hal lain yang harus dilakukan. Richard St. John menulis buku tersebut menjadi 8 bab dan memulainya dengan bab passion. Saya sudah merangkumnya dan mengkombinasikannya dengan beberapa literatur lain pada tulisan-tulisan sebelumnya. Masih ada 7 hal lain yang perlu untuk diketahui dan kita lakukan untuk menuju sukses. Tapi sebelum melangkah kesana, mari kita selesaikan pekerjaan kita yang terdahulu yaitu menetapkan passion kita. Passion bukan segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari passion.
Passion adalah langkah awal. Semua yang ada di dunia ini memiliki awal dan akhir. Kalau passion adalah garis start lantas apa garis finish-nya? Kesuksesan? Tentu. Tergantung bagaimana pembaca mendefinisikan kesuksesan tersebut. Kalau kesuksesan diukur dengan materi seperti jumlah uang, kendaraan, tempat tinggal yang mewah, jabatan (atau bahkan jumlah istri) dsb. kemudian pikirkan apa yang pembaca lakukan setelah semua tercapai? Mengejar sesuatu yang lain kah? Atau beristirahat kah?
Jika pembaca mendefinisikan memiliki 100 cabang restoran yang tersebar di Indonesia sebagai garis finish, kemudian tercapai dan membuat target baru, berarti 100 cabang restoran benar-benar “garis finish” bukan? Buat saya itu hanya “check point”. Target sementara untuk menuju target berikutnya. Jika pembaca dulu bermimpi untuk mendaki 7 puncak tertinggi 7 benua kemudian tercapai pada usia 40 dan memutuskan untuk istirahat. Apakah istirahat tersebut garis finish? Kalau iya, misalkan pembaca pendaki tadi punya sisa hidup 30 tahun lagi lantas 30 tahun itu buat apa? Melakukan sesuatu yang lain? Berarti target pendakian yang tadi bukan benar-benar “garis finish” kan?
Oke, gak usah bingung. Kita samakan persepsi. Finish jika merujuk pada kamus webster punya dua peran, kata kerja dan kata benda. Sebagai kata kerja, “to reach the end of (something) : to stop doing (something) because it is completed”. Sebagai kata benda, “the last part of something”. Saya lebih senang menyamakan finish sebagai “the end”. So, what’s your “the end”?
Garis finish kita adalah waktu dimana kita tutup usia. Ketika kita tutup usia kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi benar-benar “the end”. Sisanya adalah warisan kita, legacy. Selama kita hidup secara sadar atau tidak sadar kita yang menentukan nilai warisan kita? Jika warisan dinilai bermanfaat oleh orang lain maka akan melahirkan simpati atau kebanggaan dari penerusnya. Ada juga yang tidak bernilai sama sekali, jadi kita ada atau tidak ada bahkan tidak membawa perubahan bagi orang lain. Ada tapi gak ada. Ada juga yang nilainya minus, merusak. Ini yang biasanya diharapkan cepet mati waktu orang ini masih hidup. Ketika sudah tutup usia dikutuk dan dibenci.
Terlepas dari kepercayaan apapun, mau dia yang menganggap tuhan itu ada atau tidak ada, mereka pada suatu saat akan sampai ke garis finish (tutup usia). Di Islam, tutup usia ini bisa menjadi finish atau check point. Finish karena memang kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Check point karena transisi kita setelah hidup di dunia adalah kita masih harus menghadapi kehidupan di kubur, kemudian kiamat, hari hisab, dsb. endingnya adalah ketika kita masuk surga atau neraka secara tetap.
Saya mengungkit hal ini karena saya ingin membenarkan persepsi finish (atau bahkan membenarkan persepsi sukses juga?) dan yang nantinya akan berpengaruh terhadap penentuan life purpose. Saya jarang menemukan buku-buku mengenai kebahagiaan atau kesuksesan yang ditulis orang barat mengacu pada kematian atau kehidupan setelah mati (kecuali dibuku religi). Kebanyakan mereka menulis untuk sukses yang saya bilang check point tadi atau menulis cara menjadi kaya atau sukses tapi tidak menjelaskan untuk apa kesuksesan itu. Tak heran jika mungkin di antara kita masih bertanya-tanya kaya untuk apa? Melayani untuk apa? Hidup untuk apa?
Jawabannya, tergantung kepercayaan kita. Disini, saya akan membahas life purpose dengan kaca mata Islam. Allah mengingatkan kepada kita mengenai pertanyaan, “hidup untuk apa? “ dengan firman-Nya sebagai berikut:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun: 115)
Kemudian diperjelas di ayat lain:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Lalu apa arti ibadah itu sendiri? Syaikhul Islam Ibnul Taimiyah menjelaskan arti ibadah secara lengkap, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah.” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).
Jadi segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya adalah merupakan bentuk ibadah. Terus bagaimana untuk mengetahuinya? Ya caranya adalah dengan belajar mencintai. Kalo kita pernah gebet orang pasti kita akan berusaha cari tau orang yang kita gebet sukanya apa. Hari spesialnya kapan aja. Jadi pas kita dateng ke hari spesial kita bawakan sesuatu yang gebetan kita suka. Haha. Kaitannya dengan belajar mencitai Allah, kita bisa melihatnya clues-Nya dengan merujuk pada Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Gabung ke komunitas kerohanian Islam, ke majelis atau pengajian, membeli buku Islam, dsb. Banyak cara.
Tapi kita tidak harus memiliki ilmu yang banyak seperti ulama untuk mengetahui apa saja yang Allah cintai dan menentukan tujuan hidup kita. Dengan berbekal pendidikan keagamaan yang terbatas selama di lembaga pendidikan yang sudah kita jalani, paling tidak kita mengetahui meskipun sedikit apa saja yang dicintai oleh Allah dan diridhai-Nya. Dengan pengetahuan-pengetahuan itu kita rancang tujuan hidup yang mendapatkan ridha Allah dan juga sesuai passion kita. Jadi apa yang kita kerjaan adalah apa yang kita cintai dan dicintai-Nya serta bawa berkah juga buat kita di kehidupan nanti. Insya Allah. Selama perjalanan hidup nanti, pengetahuan kita akan terus bertambah dan tujuan hidup kita akan semakin jelas dan terasa "hidup".
Bagi saya, paling tidak sebagai orang Islam tujuan hidup kita harus memiliki dua hal yang harus sinkron: Pertama, ridha Allah SWT. Kedua, warisan yang bermanfaat untuk sesama manusia (entah harta, keturunan atau gagasan).
Oke terus gimana caranya menentukan tujuan hidup? Santai bro, sis. Tulisan ini cuma membahas paradigma tujuan hidup. Untuk bagaimana menentukannya? Nanti kita bahas di tulisan selanjutnya, insya Allah. Saya sarankan pembaca melakukan dua hal. Pertama, langganan blog saya biar update mengenai artikel-artikel inspiratif dan bermanfaat. Pembaca bisa langsung isi form langganan disini. Kedua, pembaca ada baiknya sudah menentukan apa passion pembaca. Jadi pada artikel-artikel selanjutnya kita udah nyambung, klik, sehati, ber-chemistry. Mengenai bagaimana menemukan passion bisa dibaca pada artikel sebelum-sebelum ini disini. Kalo ada yang butuh temen diskusi, saya bersedia berdiskusi dengan pembaca melalui halaman ini. Dan terakhir, jika artikel ini bermanfaat pembaca bisa bersedekah ilmu dengan mengeklik tombol share dibawah ini.
Have fun!
Danur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H