Mohon tunggu...
DANU HARJA
DANU HARJA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Diponegoro

Saya senang menulis saja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Meninjau Perjalanan Subsidi BBM di Indonesia: Dari Masa Orde Lama hingga Joko Widodo

3 Agustus 2023   20:17 Diperbarui: 3 Agustus 2023   20:25 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Presiden Joko Widodo - Dok. pribadi

Subsidi merupakan salah satu program yang biasanya kita dengar dan rasakan yang berasal dari agenda pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, bentuk subsidi dapat berupa bantuan keuangan dan komoditas, misalnya pangan dan pertanian. Dalam keberjalanannya, agenda subsidi ini telah merambat ke pelbagai sektor kehidupan, misalnya subsidi kesehatan dan pendidikan yang merupakan implementasi dari konsep negara kesejahteraan (welfare state). Konsep subsidi pun, telah berkembang secara massif pada pelbagai orde atau rezim yang ada di Indonesia.

Pada orde lama misalnya, dari data dan informasi Kementerian ESDM dan PT Pertamina, terjadi penyesuaian harga BBM di masa pemerintahan Presiden Sukarno yang dilakukan pada tahun 1965 dan 1966. Gambaran penyesuaian harga BBM sebagai berikut; subsidi bensin jenis Premium dan Solar untuk kendaraan, serta Minyak Tanah untuk kebutuhan rumah tangga. Harga BBM pada 22 November 1965 yakni Rp0,30/liter untuk Premium, Rp0,20/liter untuk Minyak Tanah dan Rp0,20/liter untuk solar. Kemudian, terjadi perubahan harga pada 3 Januari 1966 di mana Premium Rp1/liter, minyak tanah Rp0,60/liter dan solar Rp0,80/liter. Penyesuaian kembali terjadi pada 27 Januari 1966 yakni untuk Premium Rp0,50/liter, Minyak Tanah Rp0,30/liter, dan Solar Rp0,40/liter.

  • Masa Orde Baru 

Pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, BBM bersubsidi tercatat sekitar 21 kali melakukan penyesuaian harga. Meski begitu, penyesuaian harga BBM bersubsidi pada masa Soeharto tidak selalu dilakukan secara serentak untuk semua jenis BBM bersubsidi. Penyesuaian diberlakukan untuk satu jenis, dua jenis, atau tiga jenis BBM subsidi. Pada 1967, harga Premium dibanderol Rp4/liter. Sedangkan, di penghujung masa jabatannya pada 1998, harga Premium menjadi Rp1.000/liter. Berikutnya, harga Minyak Tanah dari Rp1,8/liter (1967) berubah menjadi Rp280/liter (1998). Sementara, Solar dari Rp3,5/liter (1967) menjadi Rp550/liter (1998).

Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Soeharto - Dok. pribadi
Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Soeharto - Dok. pribadi

Pada masa reformasi awal yakni dimasa Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, yang menjabat sejak 21 Mei 1998-20 Oktober 1999, harga BBM bersubsidi sama dengan harga terakhir pemerintahan Presiden Soeharto. Selama menjabat sebagai presiden, BJ Habibie tidak melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi.

  • Masa Presiden Abdurrahman Wahid 

Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang menggantikan BJ Habibie sejak 20 Oktober 1999-23 Juli 2001, diketahui menjabat sekitar dua tahun. Pada masa kepemimpinannya, tercatat enam kali melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi. Adapun penyesuaian harga BBM bersubsidi di masa Presiden Abdurrahman Wahid relatif sama dengan pemerintahan Presiden Soeharto, yakni tidak selalu diberlakukan secara bersamaan untuk semua jenis. Pada Oktober 2000, harga Premium yakni Rp1.150/liter, Minyak Tanah Rp350/liter dan Solar Rp 600/liter. Berikutnya, pada 2001 harga Premium Rp1.450/liter, Minyak Tanah Rp1.289/liter dan Solar Rp1.250/liter.

Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Abdurrahman Wahid - Dok. pribadi
Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Abdurrahman Wahid - Dok. pribadi
  • Masa Presiden Megawati Soekarnoputri 

Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri tercatat 18 kali melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi. Sebagaimana seperti pemerintahan terdahulu, penyesuaian harga BBM bersubsidi tidak selalu diberlakukan serentak terhadap semua jenis BBM subsidi. Adapun posisi harga BBM bersubsidi pada Agustus 2001 yakni Premium Rp1.450/liter, Minyak Tanah Rp1.205/liter dan Solar Rp 1.190/liter. Kemudian, pada Oktober 2004 harga Premium berubah menjadi Rp1.810/liter, Minyak Tanah Rp1.800/liter dan SolarRp 1.650/liter.

Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri - Dok. pribadi
Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri - Dok. pribadi
  • Masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)

Pada masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). Selama menjabat selama 10 tahun (20 Oktober 2004-20 Oktober 2014), Presiden SBY tercatat melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi sebanyak delapan kali. Untuk Premium yang awalnya Rp1.810/liter pada November 2004, berubah menjadi Rp6.500/liter pada Oktober 2014. Dalam rentan waktu yang sama, Minyak Tanah berubah dari Rp1.800/liter menjadi Rp2.500/liter dan Solar dari Rp1.650/liter menjadi Rp5.500/liter.

Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Dok. pribadi
Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Dok. pribadi
  • Masa Presiden Joko Widodo

Pada masa Presiden Joko Widodo atau Jokowi setidaknya pernah tujuh kali mengubah harga BBM subsidi sejak ia menjabat pada 2014 lalu. Namun, jumlah ini seiring dengan dinamika di awal periode kedua ia menjabat. Kemudian, belum termasuk juga dengan hitungan peralihan BBM penugasan dari Premium ke Pertalite yang sama-sama mengalami penyesuaian harga. Sejak 2014-2016 saja misalnya, Jokowi tujuh kali mengubah harga BBM subsidi. Premium tercatat empat kali mengalami kenaikan harga, dan tiga kali mengalami penurunan harga. Berbeda dengan Solar yang mengalami dua kali kenaikan harga, sementara telah lima kali mengalami penurunan harga.

Di awal Jokowi menjabat, harga Premium dipatok Rp6.500 per liter, kemudian naik menjadi Rp8.500/liter pada November 2014. Tak lama, pada 1 Januari 2015, Jokowi menurunkan harga Premium menjadi Rp7.600/liter. Sekitar 2 pekan berselang, Jokowi kembali menurunkan harga Premium menjadi Rp6.600/liter. Tapi, pada Maret 2015, kembali dinaikkan menjadi Rp6.900/liter. Di penghujung bulan yang sama, Jokowi juga menaikkan lagi harga Premium ke Rp7.300/liter. Berselang cukup lama, harga Premium diturunkan menjadi Rp6.950/liter di tahun 2016. Kemudian, turun lagi menjadi Rp 6.450/liter pada April 2016. Berbeda dengan Solar, di awal Jokowi menjabat, harganya sebesar Rp5.500/liter, kemudian naik menjadi Rp7.500/liter, dan turun lagi menjadi Rp/7.250 per liter. Lalu, Jokowi menurunkan lagi menjadi Rp6.400/liter, dan naik menjadi Rp6.900/liter. Menuju penghujung 2015, Jokowi menurunkan lagi harga Solar menjadi Rp6.700/liter, dan turun lagi menjadi Rp5.650/liter di awal 2016. Lalu, kembali turun menjadi Rp5.150/liter di pertengahan 2016.

Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Presiden Joko Widodo - Dok. pribadi
Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Presiden Joko Widodo - Dok. pribadi

Besarnya porsi subsidi BBM dalam APBN mempersempit porsi belanja produktif seperti infrastruktur. Apabila tidak ada roadmap restrukturisasi subsidi BBM, APBN akan terbebani dan rentan terhadap gejolak nilai tukar, harga minyak mentah dunia, dan pembengkakan konsumsi BBM bersubsidi. Dorongan untuk merestrukturisasi skema subsidi BBM juga muncul dari kajian eratnya hubungan antara subsidi BBM yang tidak tepat sasaran dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan di Indonesia. Dalam rangka mencegah pembengkakan konsumsi BBM, pemerintah berencana untuk melakukan pengurangan subsidi BBM. Rencana tersebut tentunya banyak memberikan dampak positif, di antaranya penghematan terhadap keuangan pemerintah sehingga bisa dialihkan untuk mendanai program lain yang lebih tepat guna dan tepat sasaran. Penghematan ini juga bermanfaat dalam mengurangi defisit anggaran, kontrol terhadap konsumsi BBM, penghematan sumber daya alam tidak terbarukan. Di atas itu semua, langkah ini juga menjadi wahana dalam pengembangan energi alternatif yang lebih murah, kelestarian lingkungan yang berdampak pada berkurangnya biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh udara yang tercemar residu pembakaran BBM, mengurangi penyelundupan BBM bersubsidi dan menekan permintaan kendaraan bermotor.

Rencana pengurangan subsidi BBM, bagaimana pun juga berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif seperti naiknya harga BBM bersubsidi, naiknya harga komoditas yang diperdagangkan dan komoditas-komoditas yang tergolong kebutuhan pokok, turunnya daya beli masyarakat, potensi kerugian karena penurunan penjualan dan naiknya biaya operasional pada produsen-produsen komoditas yang bukan merupakan prioritas masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja akibat kerugian perusahaan pun tidak terelakkan. Usaha Kecil Menengah pun terancam kerugian karena turunnya daya beli masyarakat dan kemungkinan tidak terelakkan. Usaha Kecil Menegah pun terancam kerugian karena turunnya daya beli masyarakatdan kemungkunan tidak tercapainya target inflasi yang ditetapkan pemerintah.

Referensi

Rivani, E. (2014). Kebijakan subsidi bbm dan efisiensi perekonomian. Info Singkat Ekonomi Dan Kebijakan Publik, 1-4.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun