Mohon tunggu...
DANU HARJA
DANU HARJA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Diponegoro

Saya senang menulis saja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Meninjau Perjalanan Subsidi BBM di Indonesia: Dari Masa Orde Lama hingga Joko Widodo

3 Agustus 2023   20:17 Diperbarui: 3 Agustus 2023   20:25 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Dok. pribadi

Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Dok. pribadi
Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) - Dok. pribadi
  • Masa Presiden Joko Widodo

Pada masa Presiden Joko Widodo atau Jokowi setidaknya pernah tujuh kali mengubah harga BBM subsidi sejak ia menjabat pada 2014 lalu. Namun, jumlah ini seiring dengan dinamika di awal periode kedua ia menjabat. Kemudian, belum termasuk juga dengan hitungan peralihan BBM penugasan dari Premium ke Pertalite yang sama-sama mengalami penyesuaian harga. Sejak 2014-2016 saja misalnya, Jokowi tujuh kali mengubah harga BBM subsidi. Premium tercatat empat kali mengalami kenaikan harga, dan tiga kali mengalami penurunan harga. Berbeda dengan Solar yang mengalami dua kali kenaikan harga, sementara telah lima kali mengalami penurunan harga.

Di awal Jokowi menjabat, harga Premium dipatok Rp6.500 per liter, kemudian naik menjadi Rp8.500/liter pada November 2014. Tak lama, pada 1 Januari 2015, Jokowi menurunkan harga Premium menjadi Rp7.600/liter. Sekitar 2 pekan berselang, Jokowi kembali menurunkan harga Premium menjadi Rp6.600/liter. Tapi, pada Maret 2015, kembali dinaikkan menjadi Rp6.900/liter. Di penghujung bulan yang sama, Jokowi juga menaikkan lagi harga Premium ke Rp7.300/liter. Berselang cukup lama, harga Premium diturunkan menjadi Rp6.950/liter di tahun 2016. Kemudian, turun lagi menjadi Rp 6.450/liter pada April 2016. Berbeda dengan Solar, di awal Jokowi menjabat, harganya sebesar Rp5.500/liter, kemudian naik menjadi Rp7.500/liter, dan turun lagi menjadi Rp/7.250 per liter. Lalu, Jokowi menurunkan lagi menjadi Rp6.400/liter, dan naik menjadi Rp6.900/liter. Menuju penghujung 2015, Jokowi menurunkan lagi harga Solar menjadi Rp6.700/liter, dan turun lagi menjadi Rp5.650/liter di awal 2016. Lalu, kembali turun menjadi Rp5.150/liter di pertengahan 2016.

Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Presiden Joko Widodo - Dok. pribadi
Gambaran Perkembangan Kenaikan Harga BBM (Premium dan Solar) setiap tahun pada masa Presiden Presiden Joko Widodo - Dok. pribadi

Besarnya porsi subsidi BBM dalam APBN mempersempit porsi belanja produktif seperti infrastruktur. Apabila tidak ada roadmap restrukturisasi subsidi BBM, APBN akan terbebani dan rentan terhadap gejolak nilai tukar, harga minyak mentah dunia, dan pembengkakan konsumsi BBM bersubsidi. Dorongan untuk merestrukturisasi skema subsidi BBM juga muncul dari kajian eratnya hubungan antara subsidi BBM yang tidak tepat sasaran dengan meningkatnya kesenjangan pendapatan di Indonesia. Dalam rangka mencegah pembengkakan konsumsi BBM, pemerintah berencana untuk melakukan pengurangan subsidi BBM. Rencana tersebut tentunya banyak memberikan dampak positif, di antaranya penghematan terhadap keuangan pemerintah sehingga bisa dialihkan untuk mendanai program lain yang lebih tepat guna dan tepat sasaran. Penghematan ini juga bermanfaat dalam mengurangi defisit anggaran, kontrol terhadap konsumsi BBM, penghematan sumber daya alam tidak terbarukan. Di atas itu semua, langkah ini juga menjadi wahana dalam pengembangan energi alternatif yang lebih murah, kelestarian lingkungan yang berdampak pada berkurangnya biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh udara yang tercemar residu pembakaran BBM, mengurangi penyelundupan BBM bersubsidi dan menekan permintaan kendaraan bermotor.

Rencana pengurangan subsidi BBM, bagaimana pun juga berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif seperti naiknya harga BBM bersubsidi, naiknya harga komoditas yang diperdagangkan dan komoditas-komoditas yang tergolong kebutuhan pokok, turunnya daya beli masyarakat, potensi kerugian karena penurunan penjualan dan naiknya biaya operasional pada produsen-produsen komoditas yang bukan merupakan prioritas masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, potensi terjadinya pemutusan hubungan kerja akibat kerugian perusahaan pun tidak terelakkan. Usaha Kecil Menengah pun terancam kerugian karena turunnya daya beli masyarakat dan kemungkinan tidak terelakkan. Usaha Kecil Menegah pun terancam kerugian karena turunnya daya beli masyarakatdan kemungkunan tidak tercapainya target inflasi yang ditetapkan pemerintah.

Referensi

Rivani, E. (2014). Kebijakan subsidi bbm dan efisiensi perekonomian. Info Singkat Ekonomi Dan Kebijakan Publik, 1-4.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun