Tapi saya ngerasa bersyukur dibesarin dalam keluarga yang nggak 'manjain' dengan hal-hal begituan. Jadi hal kayak gitu bukan utama, dan nggak perlu ngerengek-rengek dengan orang tua. Inget banget seumur-umur belum pernah dirayain besar-besaran. Waktu kelas 2 SD pernah dibuatin kue saja. Terus, selebihnya ya apa adanya. Di umur 17 tahun pas punya pacar juga, nggak ada perayaan, yang katanya -seharusnya- di umur ini untuk seru-seruan.
Pernah sekali bikin kue ulang tahun dan nasi tumpeng, itu pas 2013 waktu umur 21 tahun. Kebetulan momennya lagi PPL kuliah, jadi banyak yang bisa diundang, terutama murid-murid pas PPL. Ya pada waktu itu hitung-hitung sesekali untuk ngadain acara di rumah, dan makan bersama. Alhamdulillah banyak yang hadir, dapat kue, dapat kado. Senang deh pokoknya. Ada kejut-kejutan segala dari teman-teman kuliah dan murid-murid.
Setelah saya ngelewatin fase-fase ulang tahun selama dua puluh tiga kali, dan ngebandingin dari tahun ke tahun. Ternyata perayaan dan kado terindah adalah umur itu sendiri, kesempatan hidup yang panjang dari Allah, kesehatan, keluarga, teman-teman. Everything we have now it's the greatest gift ever.
Kadang kita lupa bersyukur, atau alpa menikmati pemberian-Nya karena nggak ada yang kasih kejutan, atau nggak ada yang kasih kado. Padahal lebih dari itu, doa dan cium pipi dari ibunda tercinta bagi saya cukup melelehkan hati dan kado terbaik.
So, fabiayyi ala irobbikuma tukadziban?
Â
Danubrata,
9 Oktober 1992-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H