Sekarang adalah jaman globalisasi, setiap orang dapat pergi dari satu daerah ke daerah yang lain. Tidak hanya antar daerah, sekarang, fenomena ini dapat terjadi antar negara. Sudah bukan zamannya lagi pola pikir yang terbatas pada batas-batas Kota/Kabupaten, Provinsi dan bahkan Negara sekalipun.
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1)
Bukankah kutipan di atas adalah sesuatu yang mendasar di dalam praktik hukum di Indonesia? Bukankah Undang-Undang Dasar merupakan dasar hukum bagi semua peraturan yang berada di bawahnya? Terdapatnya hal tersebut di dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia sebagai hak warga negara menunjukkan bahwa hal tersebut (seharusnya) dijamin oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Otonomi daerah (yang diatur dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004) menyatakan secara tersirat bahwa penyelengaraan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota (pasal 14 ayat 1) dan provinsi (pasal 13 ayat 1). Dengan demikian, pemerintah darah pun (seharusnya) wajib memenuhi hak warga negara, baik yang berasal dari dalam wilayahnya maupun yang berasal dari luar wilayahnya, di dalam penyelengaraan pendidikan.
Dalam kenyataannya, penulis mengalami hal yang tidak menyenangkan tentang hal di atas. Pada tahun ini (2013), adik penulis, berasal dari sebuah SMP Negeri di Kota Denpasar (yang cukup terkenal), mendaftarkan diri untuk mengikuti penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMA Negeri di Kota Yogyakarta. Hal ini dilakukan karena perpindahan orang tua penulis dari Kota Denpasar ke Kota Yogyakarta yang direncanakan pada bulan Juli atau Agustus 2013. Oleh karena itu, adik penulis mendaftarkan diri secara on-line pada website ini pada tanggal 18 Juni sampai dengan 3 Juli. Dari pendaftaran tersebut, adik penulis mendapatkan bukti pendaftaran dan harus melakukan verifikasi di salah satu sekolah yang dipilih pada tanggal 1 - 3 Juli dengan membawa Ijazah dan Surat Keterangan Hasil Ujian Nasional (SKHUN) asli beserta fotokopi yang telah disahkan oleh Kepala Sekolah.
Oleh karena itu, adik penulis meminta sekolah asalnya untuk menerbitkan ijazah dan SKHUN. Karena sampai tanggal 1 Juli kedua dokumen tersebut tidak dapat diterbitkan oleh sekolah asal, adik penulis membawa surat keterangan yang berisi keterangan sesuai yang tercantum pada kedua dokumen tersebut yang diberikan oleh Kepala Sekolah. Dengan berbekal dokumen pengganti tersebut, adik penulis melakukan verifikasi di salah satu sekolah yang dituju pada tanggal 1 Juli lalu.
Sesampainya di sekolah yang dituju, adik penulis dan ayah penulis mengalami penolakan dokumen akibat tidak disertakannya ijazah dan SKHUN asli. Oleh karena itu, petugas yang berada di sekolah tersebut menyarankan agar adik dan ayah penulis mendatangi Dinas Pendidikan (Kota Yogyakarta) untuk mendapatkan informasi lebih lanjut. Setelah sampai di Dinas Pendidikan, adik penulis tidaklah disambut dengan petugas yang siap sedia membantu dalam hal PPDB tersebut, akan tetapi justru disambut oleh pasukan Satpol PP, seperti protes penggusuran pemukiman liar. Hal ini membuat adik penulis dan peserta lainnya serta orang tua yang mendampingi mereka yang senasib dengan adik penulis menunggu di depan kantor dinas dan hal ini berlangsung sampai sore hari. Pada sore hari, hal tersebut berakhir disebabkan oleh adanya petugas polisi patroli yang membawa mereka ke kantor polisi setempat. Sementara itu, ibu penulis pergi ke sekolah asal dan kantor Dinas Pendidikan Kota Denpasar dan mendapatkan bahwa Ijazah dan SKHUN tidak dapat diterbitkan pada tanggal tersebut.
Sementara itu, hal tersebut juga dialami oleh adik teman penulis. Namun demikian, nasib adik dari teman penulis, menurut penulis lebih baik. Hal ini disebabkan karena Ijazah dan SKHUN-nya dapat dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan-nya. Menurut teman penulis, provinsi adiknya, yang merupakan provinsi di sebelah Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni Provinsi Jawa Tengah, juga belum menerbitkan Ijazah dan SKHUN karena alasan yang tidak penulis ketahui. Selain itu, banyak tempat, antara di Kalimantan (lihat ini), Banyuwangi (lihat ini) dan Riau (lihat ini) kedua dokumen tersebut belum diterbitkan. Bahkan menurut penulis lain, beberapa siswa di Yogyakarta sendiri memliki nasib yang serupa dengan nasib adik penulis, namun dengan akhir cerita yang lebih baik (lihat ini).
Pada tanggal 2 Juli, adik dan ayah penulis merencanakan mengikuti pertemuan dengan Pemerintah Kota yang akan dibantu oleh pihak kepolisian. Penulis tidak mengetahui hasil pertemuan tersebut. Akan tetapi penulis memperkirakan bahwa pertemuan tersebut tidak akan menghasilkan harapan terbaik penulis (yaitu adik penulis dapat mengikuti PPDB Kota Yogyakarta). Hal ini terbukti dengan kepulangan adik dan ayah saya ke Denpasar, setelah memberi tahu penulis bahwa adik penulis tetap tidak diizinkan mengikuti PPDB Kota Yogyakarta.
Sampai dengan tanggal 3 Juli, Ijazah dan SKHUN adik penulis tidak dapat diterbitkan oleh sekolah asal adik penulis. Dengan demikian, adik penulis tidak dapat menyelesaikan PPDB di Kota Yogyakarta. Pembaca yang budiman mungkin mengusulkan untuk mendaftar di kota asal penulis, yakni Denpasar, namun demikian, pembaca sekalian perlu mengetahui bahwa PPDB Kota Denpasar menggunakan sistem yang sama dengan PPDB Kota Yogyakarta. Hal ini mengakibatkan calon peserta didik tidak dapat mendaftar di dua lokasi sekaligus (Kota Yogyakarta dan Kota Denpasar). Selain itu, PPDB Kota Denpasar telah selesai dilaksanakan (pendaftaran 26-28 Juni dan verifikasi 26-29 Juni) sesuai yang tercantum pada laman berikut. Akhir cerita, adik penulis tidak dapat mendaftar PPDB di Kota Yogyakarta, maupun di Kota Denpasar.
"Masih ada waktu tiga hari, hingga hari Rabu 3 Juni mendatang, besok bapak ibu wali murid bisa mengurus SKHUN di daerah masing-masing dan Rabu kembali ke Jogja untuk mendaftarkan putra putrinya di SMA maupun SMK di Jogja," ujar Edy Heri, Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta (lihat ini).
Penulis sangat menyayangkan tindakan dan sikap baik Pemerintah Kota Yogyakarta. Penulis memahami bahwa pemerintah kota Yogyakarta berusaha untuk meminimalisir keberadaan bangku kosong (yakni peserta didik yang tidak melakukan daftar ulang, sehingga posisi tersebut menjadi tidak terisi) (lihat ini). Namun, bukan berarti hal tersebut layak dijadikan dasar untuk tindakan seperti ini. Siapa yang bertanggung jawab atas hal seperti ini, Pemerintah Kota Yogyakarta kah? Pemerintah Kota Denpasar kah? Tidak lain dan tidak bukan, hanya calon peserta didik lah yang dianggap bertanggung jawab.Dalam kasus adik penulis ini, hanya calon peserta didik yang dirugikan karena dipersalahkan (ditolak) atas sesuatu yang di luar pengaruh adik penulis. Penulis berharap hanya adik penulis saja (tidak ada orang lain) yang dirugikan akibat kebijakan pemerintah Kota Yogyakarta.
Pertama, penulis ingin mengatakan bahwa adalah tidak adil mempersalahkan orang atas sesuatu di luar pengaruhnya. Penerbitan dokumen tersebut memang dapat dipengaruhi oleh peserta didik, akan tetapi pengaruhnya sangat kecil dibandingkan peran sekolah dan pemerintah. Mungkin bagi sebagian orang, pemerintah mungkin dapat disuruh untuk menerbitkan kedua dokumen tersebut, akan tetapi menyuruh pemerintah adalah hal yang hampir tidak mungkin.
Kedua, tidak diakuinya dokumen pengganti menunjukkan adanya ketidakpercayaan pemerintah (Kota Yogyakarta) terhadap calon peserta didik dan institusi yang membuat dokumen tersebut. Hal ini membuat banyak hal terjadi dengan tidak baik dan banyak pihak dirugikan. Jangankan ingin masyarakat percaya kepada pemerintah, sesama pemerintah sendiri belum percaya!