Siang itu, seekor sapi misionaris besar mengamuk. Dikejarnya saya dengan derap langkah penuh napsu. Suaranya melengking, bikin sakit kuping. Tubuh saya sampai bergetar, dada berdebar-debar. Tak ada yang menyelamatkan meski saya teriak minta tolong. Orang-orang malah menonton dan terpingkal-pingkal. Hati saya pun mendongkol. Sungguh saya baru tahu adab orang-orang di kota. Mereka menganggap lucu sesamanya yang menderita.
Nama saya Elias, umur baru mau empat belas. Saya tinggal di Pegunungan Tengah Papua. Sehari-hari saya mendalami kitab suci di sekolah agama dekat kampung. Bapa tidak mengijinkan saya belajar di sekolah biasa. Ia ingin anaknya mengabdi kepada Tuhan dan terhindar dari godaan dunia.
Saat ini saya sedang di kota Tembagapura, cari uang buat bayar biaya sekolah. Jumlahnya tiga puluh ribu rupiah. Tadinya saya mau jual kuskus dari hasil berburu di hutan saja. Kalau kurang, Mama akan jual sayur buat menambahnya. Tapi orang-orang di kampung bilang, cari saja uang ke kota. Duit mudah didapat di kota. Jadi waktu seorang kawan mengajak ke Tembagapura, saya menyetujuinya. Berangkat ke kota saya hanya bermodal baju tangan buntung dan celana katung. Sisanya semangat, membayangkan bawa uang banyak saat pulang kampung.
Dari keluar honai sampai ke kota makan waktu berhari-hari. Saya melintasi bukit, lembah, dan hutan dengan bertelanjang kaki. Tapi ternyata cari uang di kota sulit sekali. Bekerja jadi kuli saja tidak mencukupi, Â uang yang didapat hanya bisa buat makan sehari sekali. Selebihnya saya dan kawan-kawan lebih sering dicaci-maki. Sama orang-orang kota juga kami sering ditertawai, entah apa yang lucu dari kami. Kalau tak ingat ajaran agama, sudah mau saya kasih tinju saja di pipi. Kata-kata mereka sering menimbulkan kepahitan di hati.
Satu-satunya hiburan di kota adalah memandangi sapi-sapi misionaris. Hewan ini berseliweran di jalan-jalan. Pertama kali saya melihatnya di kampung, dekat sekolah. Waktu itu Bapak Pendeta dari Amerika yang membawanya saat berkunjung. Saya tak berani dekat-dekat. Badannya jauh lebih besar dari sapi biasa. Rupanya sangar, kakinya gemuk-gemuk. Kalau diseruduk, yang hidup pastilah putus nyawanya.
Seorang kawan pernah bilang, "Jangan dekat-dekat. Saya lihat itu sapi bisa menyemburkan asap dan api. Nanti kita dibakar macam daging babi."
Dengar cerita kawan itu, saya jadi kagum sekaligus ngeri. Sapi itu ajaib sekali. Jangan-jangan bisa mengusir roh-roh jahat di kampung kami. Sejak itu saya dan kawan-kawan menyebutnya sapi misionaris.
Di Tembagapura jumlah sapi misionaris tak hanya satu seperti di kampung dulu. Sapi-sapi ini aneh sekali. Bagaimana mungkin kulitnya bisa berwarna-warni? Bentuknya pun macam-macam tak jelas. Ukurannya ada yang besar, ada juga yang kecil. Sapi-sapi misionaris ini sama sekali tak mirip dengan sapi asal daerah kami. Saya jadi penasaran, seperti apa rasa dagingnya kalau dimasak? Barangkali saja enak!
Segitu banyaknya sapi, pastilah orang kaya yang punya. Entah seluas apa kandangnya untuk taruh itu sapi-sapi. Makanannya pun gimana, sekali kasih makan bisa habis satu bukit ditelan.
Pernah saya diam-diam mengintip dari bawah saat sapi-sapi itu tidur. Saya tak menemukan tempat susunya. Tak ada juga alat kelaminnya. Sulit membayangkan bagaimana sapi-sapi ini buang air atau kawin. Semakin aneh saja sapi-sapi ini.