Berkaca pada kaleidoskop pemerintahan beberapa tahun terakhir ini, munculnya undang-undang peberantasan ektremisme (RAN-PE) pada januari 2021 ini tampak bukan hal yang terlalu mengejutkan. Profesor  Grey Fealy, Seorang Akademisi Australia menyebut Jokowi telah melakukan tindakan represif terhadap kelompok islam.Â
Dalam artikelnya yang berjudul  Jokowi in the  COVID-19 Era : Repressive Pluralism, Dynasticism, and the Over-Bearing State, dimuat dalam East Asia Forum Grey menilai bahwa prinsip toleransi dan pluralism yang katanya dijunjung di pemerintahan jokowi berbanding terbalik dengan sikap yang dilakukannya kepada umat muslim. "if indonesia  does value of tolerance and diversity, it should accept the legitimacy of islamist discourses an associational activitiest. "
Benar, meskipun sejatinya kata ekstrem dan radikal adalah sebuah kata bermakna netral, kata tersebut kini sarat makna negatif yang semuanya mengarah kepada islam.Â
Mundur pada beberapa tahun yang lalu, tahun 2020 diluncurkan aplikasi ASN No Radikal sebagai follow up dari perkataan Gubernur Gorontalo Rusli Habibie yang menyebut setidaknya ada 26 persen ASN di Indonesia terpapar radikalisme (gorontaloprov.go.id).Â
Sebelum itu, tahun 2019 Pelarangan penggunaan cadar dan celana cingkrang digunakan oleh ASN dan diadakannya penceramah bersertifikat sebagai buntut dari kabinet yang bertugas pokok mencegah radikalisme. Bahkan ada pembagian antara 'ulama tersertifikasi' dan 'ulama radikal'(bbc.com).Â
Tahun 2018 Badan Pebinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dibentuk. Mahfud MD mengatakan latar belakang dibentuknya lembaga ini adalah pemerintah merasa ada ancaman kepada ideologi pancasila oleh gerakan-gerakan radikal yang berusaha mengubah ideologi pancasila dengan ideologi lain (detik.com). Dan masih banyak lagi kronologi kejadian politik sepanjang bertahtanya rezim saat ini.
RAN-PE SEBAGAI BAGIAN DARI SIMPUL KEBIJAKAN ANTI ISLAM
Rancangan Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme(RAN-PE) menjelaskan definisi dari Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yang tercantum dalam pasal 1 ayat 2 yakni keyakinan dan/ atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme. Â (Perpres RAN PE)
Dari segi definisi saja, beberapa kritik  bertebaran dari berbagai golongan. Salah satunya datang dari Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Fadhil Harahab, mengatakan "bahaya kalau pemerintah tidak bisa mendefinisikan dan menjelaskan kepada masyarakat. Bias pemaknaan itu bisa saja menimbulkan paham yang menyudutkan golongan tertentu. Bisa jadi orang yang kritis terhadap pemerintah dilaporkan dengan tuduhan tersebut."(Republika.com)
Selanjutnya, menilik pasal-pasal lain yang kiranya adalah perwujudan dari soft approach yang dibeberkan jokowi sebelumnya. Meskipun dalam judul dikatakan sebagai tindakan atau keyakinan dengan ancaman kekerasan, nyatanya jika dilihat penjabaran lampiran Perpres ini dikatakan bahwa Rencana Aksi ini ditujukan untuk menangani pemacu dari kasus ekstremisme yang di jabarkan atas dua hal, yakni : (1) kondisi kondusif dan konteks struktural, dan (2) proses radikalisasi (kompasiana.com)
Pembahasan mengenai kondisi kondusif dan konteks stuktural antara lain kesenjangan ekonomi, marginalisasi dan diskriminasi, tata kelola pemerintah yang buruk, konflik berkepanjangan, serta radikalisasi di lembaga kemasyarakatan. Sedangkan untuk penjabaran dari proses radikalisasi adalah latar belakang dan motivasi individu, memposisikan diri sebagai korban, kekecewaan kolektif, dan distorsi terhadap pemahaman tertentu (yang berakar dari kepercayaan, ideologi politik, etnis, perbedaan budaya, jejaring sosial, serta kepemimpinan). Dengan kata lain, Perpres ini tidak digunakan untuk menindak pelaku ekstremisme bersenjata, namun memukul barisan terindikasi masuk kedalam salah satu dari dua indikator tersebut.