Tenggat waktu pelaporan data transaksi pemakaian kartu kredit akan segera berakhir. Bagi 23 bank penerbit kartu kredit diwajibkan untuk melaporkan transaksi pemakaian kartu kredit nasabahnya paling lambat tanggal 31 Mei 2016 ini, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan  (PMK) 39//PMK.03/2016. Dan kewajiban ini ternyata membuat resah perbankan dan nasabah kartu kredit.
Efek dari kewajiban bank penerbit kartu kredit untuk melaporkan setiap transaksi kartu kredit ini membuat pemegang kartu kredit ramai-ramai menutup kartu kredit mereka atau meminta bank untuk menurunkan limit kartu kredit mereka. Jika trend ini terus berlanjut dikhawatirkan akan berpengaruh pada pertumbuhan kartu kredit yang tentu saja nantinya akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Karena yang selama ini berbelanja dengan menggunakan kemudahan kartu kredit akan menghentikan kebiasaan mereka atau paling tidak menunda keinginan mereka.
Yang perlu dipertanyakan adalah apa tujuan dari dirjen pajak untuk menggali data pemakai kartu kredit? Dan apa efeknya untuk pertumbuhan pendapatan pajak negara? Dan apa hubungan antara pemakaian kartu kredit yang notabene adalah hutang dalam pendapatan perpajakan Indonesia?
Mari kita melihat trend sekarang adalah para nasabah mulai meminta penurunan limit kartu kredit dan penutupan kartu kredit karena mereka takut berurusan dengan kantor pajak akibat dari pemakaian kartu kredit mereka. Tahukah Dirjen Pajak jika trend ini terus berlanjut akan mematikan sektor usaha? Jika saja ada 1 juta pemakai kartu kredit dengan limit 5 juta rupiah  menutup kartu kredit mereka, berarti sektor usaha akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan mereka sebesar 5 triliun rupiah. Jika Dirjen Pajak ingin mendapatkan pajak dari pemakai kartu kredit berapa yang didapat dari 1 juta orang dengan limit 5 juta rupiah per orang? Jika dipotong dengan segala tetek bengek perpajakan saya yakin tidak akan sebesar yang diperoleh dari merchant-merchant yang menerima pemakaian kartu kredit untuk berbelanja.Â
Semoga....