Mohon tunggu...
Dany Setia
Dany Setia Mohon Tunggu... Auditor - Pekerja biasa

Hanya seseorang yang telah, sedang dan akan terus belajar untuk bisa menjadi orang

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Tidak Ada Orang Tua yang Ingin Anaknya Salah Jalan...

6 Juni 2011   09:04 Diperbarui: 6 Maret 2024   10:55 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu waktu saya SD... 

Dari kelas 1 sampai dengan kelas 6, saya termasuk anak yang lumayan berprestasi, itu semua karena dipaksa (dituntut) oleh orang tua.  

Setiap pagi setelah bangun tidur, saya wajib menyapu halaman rumah, berbagi wilayah sapuan dengan adik. Setelah menyelesaikan kewajiban itu, barulah saya bisa berangkat sekolah. Siang hari setelah pulang sekolah, saya harus berada di rumah. Saya hanya boleh keluar bermain pada sore hari setelah waktu sholat ashar sampe dengan menjelang sholat  maghrib. Dan jika sampe dengan adazan maghrib saya belum pulang, sudah dapat dipastikan cubitan di pantat akan saya terima. 

Setelah sholat maghrib sampe dengan waktu sholat isya' adalah waktu untuk belajar (menghadapi buku). Kenapa disebut waktu untuk menghadapi buku? karena waktu 1 jam itu adalah kami harus duduk menghadap buku, terserah bukunya itu mau dibaca dan dipelajari atau hanya dilihat saja. 

Selama bersekolah, kami sangat jarang diberi uang untuk jajan. Tetapi jika kami meminta uang untuk membeli buku atau peralatan sekolah, langsung diusahakan dan diberikan. Saat itu, selama 6 tahun bersekolah SD, saya iri dengan teman-teman yang memiliki kebebasan bermain dan bebas tidak belajar, benar-benar iri sekali, saya selalu ingin seperti mereka. 

Seandainya saya diberikan kebebasan seperti mereka dulu..... 

Dulu waktu saya SMP... 

Sekolah saya berjarak kurang lebih 7KM dari rumah. Jarak tersebut saya tempuh dengan mengendarai sepeda. 

Karena harus berangkat pagi, sejak saya masuk SMP, saya dibebaskan dari kewajiban untuk menyapu halaman setiap pagi. 

Pagi-pagi sekali saya harus sudah berangkat bersama teman-teman naik sepeda. Ada 2 jalur yang bisa ditempuh dari desa kami. 

Jalur pertama adalah jalur yang sepi dan lebih aman. Jalur ini yang biasa saya lewati bersama dengan teman yang juga relatif lebih (dipaksa) serius bersekolah. 

Jalur kedua adalah jalur yang lebih ramai dan banyak anak-anak sekolah cewek yang lewat. Jalur itu biasa dilewati oleh teman-teman saya yang tujuan sekolah adalah untuk mencari cewek.

Rutinitas malam masih sama dengan waktu saya masih SD. Saya dipaksa belajar dan tidak boleh pacaran. Sangat berbeda dengan aktifitas teman-teman saya sekampung yang lain, hampir setiap malam mereka bebas nongkrong dan membicarakan teman ceweknya. 

Saat itu selama 3 tahun, saya masih iri dengan mereka. Enaknya jadi mereka. 

Seandainya saya diberikan kebebasan seperti mereka dulu...

Dulu waktu saya SMA...

Akhirnya pelan-pelan saya mulai melihat hasil didikan orang tua. Saya bisa masuk SMA yang dipandang favorit di kota saya. Walaupun untuk itu saya harus tinggal di kos karena jaraknya dari rumah sekitar 25 KM. 

Sedangkan teman-teman sekampung saya hanya bisa masuk di SMA-SMA pinggiran kota. 

Saat SMA inilah saya mulai sadar arti pentingnya belajar. Selama menempuh pendidikan di SMA ini saya belajar dengan sukarela. Dan hasilnya adalah selama kelas 1 dan 2, saya mendapat peringkat 2 dan dikelas 3 saya mendapat peringkat 1. 

Selama menempuh pendidikan di SMA ini, saya cukup dekat dengan 3 orang teman. Yang pertama adalah mantan anak PUNK yang sudah insyaf dan menjadi anak yang serius dengan belajarnya ( walupun masih sedikit membawa sifat2 nakalnya), yang kedua adalah anak pindahan dari jakarta yang cukup gaul dan terakhir adalah anak paling pintar disekolah saya. 3 teman saya ini masih suka nongkrong, gaul, merokok, pacaran, dan sebagainya. Sedangkan saya, sampai dengan sekolah SMA pun masih sangat dilarang untuk pacaran. Terkadang saat SMA saya masih suka berpikir, enaknya jadi mereka...bebas main sepuasnya... 

Seandainya saya diberikan kebebasan seperti mereka dulu...

Dan tibalah saat itu... 

Setelah lulus SMA, saya diterima UMPTN dengan beasiswa di Fakultas Teknik Undip. Selain itu, saya juga diterima di perguruan tinggi kedinasan yang sangat diidam-idamkan oleh sebagian besar teman-teman saya. 

Singkat cerita, saat ini saya sudah bekerja tetap dengan gaji yang bisa dibilang sangat cukup.

Tanpa bermaksud sombong dan takabur...

Teman-teman kampung (SD) saya dulu, kebanyakan hanya lulus SMA dan sekarang bekerja di pabrik. 

Seandainya saya diberikan kebebasan seperti mereka dulu...

Inilah hikmahnya, 

Sekarang saya benar-benar sadar maksud dan tujuan orang tua saya dulu sangat keras dalam mendidik anak-anaknya. Kenapa dulu pergaulan saya dibatasi, kenapa dulu saya dilarang pacaran, kenapa dulu saya hanya disuruh belajar dan belajar.

Sekarang saya dengan sadar akan berkata "terima kasih bapak dan mamak, sudah mengendalikan masa kecil saya, terimakasih sudah menjaga saya". 

Saya sangat beruntung menjadi diri saya dan memiliki orangtua seperti mereka

Disclaimer: cerita dialami anak yang lahir dari keluarga yang pas-pasan dengan lingkungan perkampunya yang kurang kondusif...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun