Danau Toba adalah salah satu Danau Vulkanik terbesar di dunia, dan menjadi destinasi pariwisata oleh wisatawan lokal dan wisatawan asing. Pada tanggal 2 juli 2020, UNESCO telah menetapkan Danau Toba sebagai UNESCO Global Geopark. Jauh sebelum ditetapkannya sebagai Global Geopark, Danau Toba ditetapkan oleh Presiden Jokowi sebagai destinasi empat super prioritas yang menjadi fokus pengembangan pemerintah.
Sudah begitu banyak kunjungan yang dilakukan oleh pemerintah ke Danau Toba, mulai dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama dan Presiden Jokowi. Begitu juga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang baru, yaitu Sandiaga Uno juga sudah melakukan kunjungan ke Danau Toba.
Wilayah yang berada dipinggiran Danau Toba terdiri dari tujuh wilayah, yaitu kabupaten Simalungun, Karo, Dairi, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan Samosir. Ketujuh daerah yang berada di Pinggiran Danu Toba tersebut, sering disebut masyarakat sebagai orang Batak. Orang Batak yang yakini oleh masyarakat Batak, adalah berasal dari Sianjur Mula -- Mula.
Setiap kabupaten yang berada didaerah Danau Toba, memiliki sistem budaya yang berbeda satu dengan yang lain. Seluruh wilayah yang berada didaerah Danau Toba menganut sistem Patrilinel, yang dimana laki -- laki adalah pewaris marga/klen keluarga atau marga/klen laki -- laki harus diwariskan ke anak.Â
Orang Batak juga dikenal memiliki sifat yang terbuka, pekerja keras pemberani dan memiliki percaya diri yang sangat tinggi. Orang Batak juga memiliki intonasi suara yang keras, tak jarang orang -- orang melihat seperti sedang berantam adu mulut.
Tulisan ini akan fokus membahas tentang hambatan pengembangan pariwisata Danau Toba, dari aspek keilmuan penulis yaitu dari aspek Antropologi.
Lingkungan Danau Toba
Lingkungan Danau Toba salah satu aspek, yang berperan penting mendukung kemajuan Pariwisata Danau Toba. Danau Toba memang memiliki pemandangan yang cukup indah, tetapi  saat ini tidak didukung dengan kebersihan air danau, agar wisatawan bisa berenang tanpa gangguan limbah air danau. Situasi air Danau Toba harus dijamin bersih dari segala limbah apa pun agar para wisatawan nyaman. Akan tetapi, di Danau Toba masih terpampang luas Keramba Jaring Apung ( KJA ). KJA di Danau Toba dimiliki oleh perusahaan swasta dan ada yang dimiliki oleh masyarakat.
KJA yang dimiliki oleh masyarakat, salah satunya dapat terlihat di Haranggaol kabupaten Simalungun. Terdapat ratusan KJA yang dimiliki oleh masyarakat Haranggaol, dan KJA tersbut menjadi sumber ekonomi masyarakat setempat. KJA yang dimiliki oleh perusahaan Swasta, juga memperkerjakan masyarakat dan dari pekerjaan tersebut menjadi sumber ekonomi masyarakat. Tentunya untuk membersihkan KJA dari permukaan Danau Toba, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, dan ini adalah tugas yang berat bagi untuk mendapatkan solusi terbaik.
Sebagian didaerah pinggiran Danau Toba, belum terdapat pengaliran air dari Perusahaan Air Minum ( PAM ). Masyarakat yang  belum dialiri air oleh PAM, memiliki satu kamar mandi umum dan sumber airnya adalah mata air. Hasil aktivitas dikamar mandi umum tersebut, seperti menyuci dan mandi langsung mengalir ke Danau Toba. Ada juga masyarakat yang menyuci langsung di dekat Air Danu Toba, karena diangggap lebih nyaman dan menghemat biaya air dirumah.
Keberadaan permukiman disekitaran pinggiran Danau Toba, tidak semua rumah pada permukiman tersebut memiliki jamban. Rumah para warga yang tidak memiliki jamban, harus menjadi perhatian yang serius dari pemerintah agar lingkungan Danau Toba tidak tercemar. Perlunya bantuan dan dampingan dari pemerintah terhadap penyedian air bersih, agar masyarakat mampu membangun jamban dirumah masing-masing.
Mata Pencaharian
Sistem pendidikan masyarakat lokal didaerah Danau Toba, masih tergolong rendah karena masih banyak yang hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) dan Sekolah Menengah Atas ( SMA ). Orang - orang yang memiliki tamatan dari Universitas atau bergelar Sarjana, sebagian besar pergi merantau keluar Sumatera Utara, dan hanya sedikit yang mengabdi bagi tanah Batak. Putra - putri daerah yang telah menempuh pedidikan tinggi, lebih memilih meninggalkan kampung halaman dengan alasan peluang kerja dan karir.
Masyarakat yang tinggal menetap di daerah pinggiran Danau Toba, sebagian bekerja sebagai petani. Petani di daerah pinggiran Danau Toba, mengeluh akan situasi tanah yang tidak baik dan berbatu - batu. Hanya tanaman - tanaman tertentu dan terbatas yang bisa tumbuh.Â
Salah satu tanaman yang banyak terlihat di pinggiran Danau Toba adalah Mangga, padi dan bawang. Pohon mangga yang ditanam masyarakat pun, jumlahnya hanya terbatas dan sangat kurang untuk kebutuhan ekonomi keluarga yang harus menyekolahkan anak. Tanaman bawang, para petani tidak selamanya bisa bertahan dengan tanaman bawang, karena kualitas tanah yang tidak lagi cocok apabila ditanami bawang selalu. Tanaman padi masih cukup dan sangat membantu, untuk sebagian wilayah pinggiran Danau Toba.
Danau Toba sebagai destinasi Super Prioritas, pemerintah akan membuka persaingan antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. Masyarakat pendatang dengan modal ilmu pengetahuan yang baik, beserta ekonomi yang baik juga, tentunya akan mudah bersaing dengan masyarakat lokal. Masyarakat lokal untuk membuka usaha, masih sangat minim akan modal ekonomi dan kurang akan ilmu pengetahuan berwirausaha.
Masyarakat lokal masih sangat penting dampingan dari pemerintah, dalam hal ikut andil dalam pengembangan destinasi pariwisata Danau Toba. Apa bila pemerintah hanya membuka persaingan terbuka, tanpa memposisikan atau membentuk masyarakat lokal sebagai individu yang siap untuk bersaing, tentunya akan terjadi kesenjangan sosial, antara masyarakat asli dan masyarakat pendatang.
Konflik
Proses pembukaan lahan untuk pengembangan pariwisata Danau Toba diwarnai kericuhan di desa Sigapiton, kecamatan Ajibata Kabupaten Toba Samosir. Kaldera Toba Nomadic Escape yang diwacanakan akan dibangun resort dan hotel dilokasi desa Sigapiton. Masyarakat menolak pembukaan lahan tersebut, karena mereka mengklaim tanah tersebut sebagai tanah ulayat.
Perlawanan yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pemerintah, berujung aksi buka baju oleh kaum ibu - ibu. Sikap para ibu - ibu tersebut, menandai tidak semua masyarakat Batak didaerah Danau Toba mendukung sikap dari pemerintah dalam pengembangan pariwisata Danau Toba. Perlawanan yang ditunjukan oleh kaum ibu -- ibu didesa Sigapiton, bukti kelompak kaum perempuan yang mempertahankan hak mereka, bersikukuh mempertahankan tanah nenek moyang mereka.
Tanah ulayat dalam budaya Batak, sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat petani. Selain sebagai sumber ekonomi, tanah ulayat adalah sebagai identitas budaya. Teritorial tanah ulayat dalam masyarakat Batak, menunjukkan kekuasaan (Klen/Marga) tertentu oleh pendahulu mereka. Jauh sebelum sistem pemerintahan terbentuk, tanah ulayat menjadi saksi bagi masyarakat Batak sebagai daerah kekukasaan nenek moyang mereka, yang mempunyai nilai dan makna.
Tidak hanya tentang konflik antara masyarakat dan pemerintah saja, yang terjadi di daerah Danau Toba. Penelitian Andrew Causey (Antropolog) dalam bukunya yang berjudul Danau Toba, terjadi penolakan masyarakat Batak terhadap wisatawan asing yang berpakaian "seksi". Masyarakat didaerah Danau Toba masih sangat memegang teguh, cara berpakaian yang sopan dalam perspektif budaya Batak.
Identitas
Pemerintah pusat melalui Badan Otorita Danau Toba, telah membangun wisata yang dinamakan Sipinsur dan Huta Ginjang. Wisata Sipinsur berada di kabupaten Humbang Hasundutan, sedangkan wisata Huta Ginjang berada di kabupaten Tapanuli Utara. Kedua wisata tersebut menawarkan pemandangan yang indah, dengan panorama Danau Toba.
Akan tetapi, dari kedua wisata tersebut tidak menghidupkan identitas budaya yang menambah nilai jual wisata tersebut. Identitas budaya tersebut dapat berupa aksi budaya. Pada wisata Sipinsur, patung, lukisan, tulisan, yang menunjukkan identitas Batak sama sekali tidak ada. Rasa bosan wisatawan saat pertama kali datang ke wisata Sipinsur wajar terjadi, karena hanya menjual pemandangan saja dan kayu pinus saja.
Wisata dengan pemandangan Danau Toba dan kayu pinus, sangat banyak berada di daerah pinggiran Danau Toba dan tidak kalah juga dari wisata Sipinsur dan Huta Ginjang, yang sangat gencar di promosikan pemerintah. Pemerintah harus menciptakan hal yang baru dan yang tidak ada, pada tempat wisata -- wisata yang ada di daerah Danau Toba.
KesimpulanÂ
Kemajuan pariwisata Danau Toba, harus didukung oleh masyarakat setempat sebagai tuan rumah. Menjadikan Danau Toba sebagai destinasi wisata seperti Bali, tidak semudah membalikkan telapak tangan, ada banyak hal yang harus mendapat perhatian khusus. Salah satunya adalah budaya masyarakat Batak atau kebiasaan hidup masyarakat Batak. Fenomena -- fenomena yang telah dipaparkan oleh penulis diatas, adalah berhubungan erat dengan budaya.Â
Pariwisata maju, bukan hanya karena banyaknya wisatawan berkunjung, tetapi karena masyarakatnya dan BUDAYAnya juga ikut sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H