PrologÂ
Indonesia disebut sebagai negara agraris, yang masyarakatnya sebagian bekerja di sektor pertanian. Sebagai negara agraris, Indonesia pernah menunjukkan taringnya di dunia internasioanl, yaitu lewat keunggulan petani. Kala itu di tahun 1984 pada era kepemimpinan bapak Soeharto, Indonesia berhasil swasembada pangan.Â
Keberhasilan Indonesia Swasembada pangan, mendapat penghargaan dari organisasi multinasional Food and Agriculture Organization (FAO), yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).Â
Penulis tidak akan membahas khusus tentang Swasembada pangan tersebut, tetapi lebih fokus ke situasi sosial budaya petani. Ketertarikan penulis mengangkat tema ini, karena pengalaman yang di rasakan penulis ketika melakukan kegiatan sosial dan penelitian di daerah desa yang mayoritas masyarakatnya adalah petani.
Defenisi Konseptual
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah, merupakan bentuk jamak dari buddhi (budia atau akal) dan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.Â
Dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai culture dan bahasa latin cultura. Menurut Edward B Taylor, kebudayaan adalah merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan yang lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan tidak bisa lepas dari hidup bermasyarakat, karena kebudayaan adalah bagian dari bermasyarakat. Budaya memiliki peran penting dalam hidup bermasyarakat, salah satunya adalah sebagai pedoman dalam menjalankan aktivitas dan prilaku individu.
Bertani adalah salah satu pekerjaan yang mendorong sektor perekenomian Indonesia. Kehidupan petani tidak lepas dari Streotip, kurang berpendidikan. Walaupun memang pada kenyataannya petani di desa sebagian tidak memiliki gelar akademik, tetapi bukan berarti mereka tidak berpendidikan.Â
Seorang yang memiliki gelar akademik selalu lekat, dengan pandangan sebagai orang yang terpelajar dan memiliki pengetahuan yang luas. Kata berpendidikan hanya sebuah teori, tentunya sebuah teori itu tidak selalu bisa di genalisir karena sifatnya relative.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan di artikan sebagai sebuah proses pengubahan sikap atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.Â
Mereka yang memiliki gelar akademik, belajar dengan proses pelatihan dan didikan dengan jangka waktu yang berbeda-beda, dan di bimbing oleh seorang yang ahli dalam bidang tertentu.
Bagaimana dengan petani? Apakah petani juga berpendidikan? Jika bertolak ukur dari gelar akademik akan ada dua jawaban yang berbeda, yaitu berpendidan dan tidak berpendidikan. Tetapi jika kita pandang tidak dari gelar akademik, maka jawabnya hanya satu yaitu berpendidikan. Pendikan tidak bisa dipandang hanya lewat gelar akademik, karena sejatinya ilmu pengetahuan tidak diwujudkan dari gelar akademik, tetapi terwujud dari sebuah aktualisasi.
Petani desa adalah sekelompok indvidu, yang belajar secara otodidak lewat pengalaman pengalaman hidup. Seorang petani belajar dengan pengetahuan lokal (etnosains), dalam bertani. Pengetahuan lokal ini di dapatkan dari pengalaman bertani. Seorang petani belajar dari pengalaman pendahulunya, dan dari pengalaman kegagalanya dalam bertani, untuk meningkatkan kualitas bertaninya.
Beberapa pembelajaran dari pengetahuan lokal petani adalah, rasa kekeluargaan dan menjaga llingkungan, yang berbentuk sebuah kearifan lokal. Seperti kearifan lokal suku Arfak di Papua, yaitu igya ser hanjop, ini adaalah sebuah pengetahuan tentang menjaga kelestarian hutan. dalam budaya Simalungun yang merupakan salah satu sub etnis Batak, ada namanya marharoan bolon. Marharoan bolon adalah salah satu pengetahuan tentang kebersamaan-gotong royong masyarakat dalam panen padi. Dua hal tersebut adalah nilai pendidikan dalam membentuk rasa tolong menolong, dan kebijkasanaan dalam menjaga alam.
Selain belajar dari pengetahuan lokal, aktualisasi diri seorang petani dalam mencapai hasil panen yang baik, dilakukan dengan rasa emosional untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Rasa emosional untuk memenuhi ekonomi keluarga dalam bertani, sebuah hal yang tidak bisa di dapat lewat dunia akademik. Rasa emosional ini menjadi salah satu, faktor pendorong bagi petani untuk meningkatkan mutu pertanian dengan tujuan hasil panen yang lebih baik.
Pengetahuan-pengetahuan lokal petani tersebut, terbukti sangat berkualitas untuk diterapkan dalam dunia pendidikan formal. Petani memang tidak memiliki gelar akademik, tetapi mereka juga orang berpindidikan yang memiliki ilmu pengetahuan. Hanya petani belajar dengan cara belajar dari pengetahuan lokal. Seorang yang memiliki gelar akademik, belum tentu lebih baik, dari petani yang belajar dengan pengetahuan lokal dalam bertani.
Regenerasi Petani
Untuk menjaga keberlangsungan sesuatu hal adalah salah satunya harus ada regenerasi (penerus). Ada beberapa hal penghambat regenerasi dalan dunia pertanian.
- Tuntutan pendidikan
Bagi masyarakat desa, untuk mendapatkan gelar akademik harus bersekolah di luar tempat tinggal mereka. Tidak sedikit anak-anak petani bisa bersekolah di desa mereka, hanya sampai sekolah dasar saja.Â
Apabila ingin melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seperti SMP dan SMA, harus pergi ke pusat kecamatan dan pusat kabupaten. Aktivitas bersekolah di luar desa, tentunya memakan waktu dan sebagian dari mereka harus tinggal dengan sistem kos.Â
Jarak dan waktu, membuat anak-anak petani mulai melupakan pertanian, sesekali mereka masih tetap bertani apabila hari libur dan waktu masih memungkinkan.
Begitu juga ketika berkuliah, tentunya harus pergi ke kota dan terputus dengan kehidupan bertani. Anak-anak petani desa, ketika berkuliah mengambil jurusan yang tidak berhubungan dengan pertanian. Jikalau pun ada dengan jurusan pertanian, ketika menentukan pekerjaan mereka lebih memilih bekerja di perkantoran.
- Masa Depan Petani
Berbagai alasan orang untuk tidak bertani, salah satunya adalah kehidupan petani yang relative hidup di garis kemiskinan. Petani miskin, hal ini bukanlah sebuah kesalahan profesi sebagai petani. berbagai hambatan yang dirasakan petani, dalam meningkatkan kualitas ekonomi menjadi sebab akibatnya.Â
Seperti keterbatasan lahan, tidak memiliki modal, situasi tanah yang kurang baik, dan harga tani yang anjlok. Faktor penghambat tersebut, tentunya bukan menjadi pekerjaan mudah untuk mengatasinya. Meskipun tidak mudah, bukan berarti tidak bisa. Perlunya kerjasama pemerintah, stakeholder, petani dll, dalam menyelesaikanya.
- Merantau
Minimnya lapangan pekerjaan menjadi salah satu penyebab, para kaum muda pergi mengadu nasib ke daerah lain. Bagi kaum perempuan yang tinggal di desa dan tidak bersekolah lagi, ada ketakutan orang tua anaknya menikah muda.Â
Ketakutan oleh kaum orang tua anak gadis mereka akan cepat menikah, karena di desa tersebut banyak laki-laki yang yang ingin menikah dan belum memiliki pasangan. Hal tersebut mendorong orang tua dan anak gadisnya, untuk pergi merantau mencari pekerjaan ke kota.
Distribusi Hasil Panen
Petani sangat ingin distribus hasil tani mereka, di distrubusikan dengan mudah. Situasi tengkulak dan harga hasil tani, terkadang menghambat pendistribusian hasil tani. Minimnya tengkulak yang ada di suatu daerah, membuat hasil tani sulit di jual.Â
Bagi sebagian petani, harus melakukan perjalanan dengan kendaraan ke pusat kecamatan atau kabupaten untuk menjual hasil tani. Hasil tani yang di jual ke pusat kecamatan atau kabupaten, biasanya dalam jumlah banyak. Sedangkan mereka yang hanya memiliki lahan terbatas, dan hasil panennya hanya sedikit, terpaksa menjualnya dari pintu ke pintu dengan harga yang murah.
Harga hasil tani yang anjlok, terkadang membuat petani harus rugi dan modal menanam tanaman pertanianya pun tidak bisa kembali. Hal ini adalah salah satu ketakutan terbesar dari petani. petani hanya bisa menerka-nerka, harga tanaman pertanian kapan naik dan kapan turun.
Epilog
Untuk mencapai sebuah kesejahteraaan, dibutuhkan kerjasama berbagai pihak. Nasib petani Indonesia, tidak bisa ditentukan oleh petani saja. Segala kebutuhan pokok, yang kita konsumsi sehari-hari adalah hasil keringat dari petani. Layaknya kehidupan petani, mendapat penanganan serius dari pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H