Sebelum saya menikah, sedikit pria yang mendekati saya ini datang dari berbagai suku. Saya merasa beruntung karena Ayah saya, yang walaupun menjunjung tinggi tata krama Jawa, tetapi dia tidak pernah mengajarkan rasis kepada kami anak-anaknya. Sehingga anak-anaknya bebas mau dekat dengan siapa saja, asal satu agama dan berbeda jenis kelamin. Sedikit pria yang datang dari berbagai suku ini yang mencoba mendekati saya, pasti saya akan perkenalkan kepada kedua orang tua saya.
Karena prinsip saya, setiap pria yang mau serius dengan saya dan diterima oleh kedua orang tua saya, maka itulah pria yang pantas menikahi saya. Mungkin banyak yang akan bilang, "Lho, yang jalanin kan kamu, jadi terserah kamu dong harusnya." Memang.
Tetapi saya tidak akan pernah menghianati orang tua saya yang sudah berjuang sejak saya lahir, mulai dari beli susu saya, beli popok saya, berjuang supaya saya bisa makan, dan berjuang supaya anak-anaknya bisa memperoleh sekolah yang layak, dan sebagainya. Lebih baik saya hidup sendiri daripada seumur hidup saya harus menyakiti hati orang tua yang sudah berjuang untuk saya hanya karena ego saya.
Singkat cerita, setelah sedikit pria tersebut saya perkenalkan kepada orang tua saya. Walaupun tidak semua saya perkenalkan, karena sebelum saya perkenalkan ke orang tua saya, maka seleksi awal ada di saya dahulu, apakah ini kira-kira bisa diterima oleh orang tua saya. Karena saya sebagai anaklah yang paling tahu cara berpikir orang tua saya.
Kebanyakan dari sedikit pria itu ditolak oleh orangtua saya. Bukan karena suku, tetapi karena ada beberapa kriteria yang kedepannya akan sulit bagi kami jika saya menikah dengan salah satu dari mereka.
Sampai pada suatu kali, ada seorang Papua datang mendekati saya. Sebenarnya dia sudah coba mendekati saya sejak tahun 2013. Hanya saja, pada saat itu, saya sedang dekat dengan seseorang. Sampai pada tahun 2018, dia kembali coba mendekati saya. Saya merasakan ada perbedaan antara pria ini dengan pria-pria sebelumnya yang pernah mencoba mendekati saya.
Dia membuat saya merasakan bagaimana rasanya dihargai sebagai seorang wanita, diangkat martabatnya sebagai seorang wanita. Dan saya tersentuh akan hal itu, sehingga membuat seleksi dari saya lolos dan pantas untuk diperkenalkan kepada kedua orang tua saya. Setelah pertemuan pertama, dia pulang, saya tanya kepada kedua orang tua saya, "Gimana Pa, Bu?" Dan mereka katakan, "Dia baik. Kalau kamu suka, ya sudah."Â
Tanpa banyak komentar, orang tua saya merestui hubungan kami hingga kami menikah. Ayah saya adalah orang paling logis, dan tidak banyak orang yang bisa mengimbangi cara berpikirnya. Ibu saya adalah orang yang memiliki intuisi yang luar biasa untuk segala hal. Tetapi mereka bisa menerima orang Papua, yang dalam stigma masyarakat katakan mereka itu kasar, pemabuk, dan sebagainya.
Tetapi jika seorang Papua bisa menaklukan hati Ayah saya dengan cara berpikir yang logis dan intuisi Ibu saya yang luar biasa, cara berpikir mereka yang logis dan sifat tulus mereka tidak kalah dengan cara berpikir kebanyakan orang, dan memiliki hati yang sangat luar biasa tulus.
Sekali lagi, tulisan ini tidak untuk mendiskriminasi suku atau ras tertentu. Bukan juga sebagai bahan untuk menjelek-jelekan apa yang sudah terjadi. Tetapi untuk menyadarkan kita, bahwa kita semua adalah sama-sama ciptaan Tuhan yang memiliki hak hidup yang sama. Entah itu dari suku manapun, agama apapun, warna kulit apapun, bentuk tubuh apapun, baik dia kurus, gemuk, tinggi, pendek, bahkan yang berkebutuhan khusus sekalipun.
Tuhan sudah berikan kesempatan untuk hidup bagi mereka. Oleh karena itu, hendaknya kita sebagai masyarakat mau untuk menghentikan semua ejekan-ejekan rasis maupun agama, ejekan-ejekan body shaming yang kerap terjadi di masyarakat kita.