Sejak kecil orang tua mendidik anaknya agar hemat dan suka untuk menabung. Pertanyaannya, masihkah konsep ini relevan di zaman digital seperti saat ini?
Siapa yang tidak mau untuk menjadi kaya? Tanyakan kepada anak-anak atau bahkan remaja sekalipun, pasti sebagian dari mereka memiliki cita-cita atau keinginan untuk menjadi orang kaya.
Tentu saja ini tidak salah, bahkan ajaran untuk hidup hemat dan suka menabung menjadi salah satu cara agar kita dapat menjadi kaya.
Paling tidak ketika seorang yang sudah bekerja, maka dia tidak lebih besar pasak daripada tiang. Dengan kata lain, pemasukan yang didapat harusnya lebih banyak dan bisa disimpan dibandingkan pengeluarannya.
Lalu yang menjadi bahasan dalam tulisan ini ialah, kemanakah harusnya sisa dari pemasukan yang didapat tersebut? Apakah ditabung menjadi salah satu solusinya?
Menabung entah dimanapun, di celengan yang ada di rumah, bank, koperasi, arisan, atau bahkan dengan kemajuan digital saat ini lewat aplikasi dompet digital juga menyediakan sarana untuk menabung.
Jadi jika ada orang yang mengatakan bahwa dirinya sulit menabung, maka bisa dipastikan memang dia sendiri sebenarnya tidak memprioritaskan hal tersebut.
Mungkin pembaca akan bertanya, lalu bagaimana jika pendapatan saya habis hanya untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, bahkan itupun masih kurang, bagaimana saya bisa menabung?
Untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai, tentu tidak gratis tetapi ada harga yang harus dibayar. Begitu juga jika kita memang ingin menabung, maka ubahlah mindset kita bukan menyisakan tapi menyisihkan.
Saya akan menabung jika ada hasil sisa uang saya di akhir bulan nanti, inilah konsep yang dikatakan menyisakan. Konsep ini pula yang penulis anggap tidak memprioritaskan menabung itu penting.
Ketika orang akan menabung jika ada sisa uang, maka seringkali yang terjadi di akhir bulan, uangnya sudah habis dan tidak ada yang digunakan untuk menabung.
Lalu dirinya akan berkata, wah memang aku belum bisa menabung, karena memang gaji atau pendapatanku masih kecil. Nanti saja jika pendapatanku sudah naik baru mulai menabung.
Dari pengamatan dan juga pengalaman penulis, maka ketika pendapatan naik ternyata di akhir bulan juga uang habis dan tidak ada yang bisa ditabung, karena pendapatan naik maka pengeluaran juga ikutan naik.
Berarti memang tidak bisa menabung? Bukan itu masalahnya, karena yang naik dari pengeluaran seringkali bukannya kebutuhan tetapi keinginan kita.
Ketika dulu pendapatan masih belum seberapa, sesekali makan hanya di warung makan nasi biasa, tetapi ketika pendapatan naik maka sekarang makannya di kafe atau restoran yang harganya lumayan mahal.
Contoh lainnya, dulu membawa bekal ke kantor untuk makan siang, tetapi ketika gaji atau pendapatan naik, maka tidak hanya malam saja, tetapi makan siang juga harus di resto yang berkelas.
Tentu saja tidak akan bisa menabung, jika mindset pengeluaran yang dianut seperti contoh di atas. Bahkan jika naik gaji sampai lima kali lipat juga jika mindset pengeluaran seperti itu tentu tidak akan bisa menabung.
Menyisihkan di awal dari gaji atau pendapatan yang kita dapat, bahkan sebelum kita memotongnya untuk pengeluaran, merupakan mindset awal yang perlu dibangun.
Mulailah dari hal yang kecil atau sedikit, tetapi lakukan dengan setia dan konsisten, sambil kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit.Â
Mulailah menyisihkan 100 ribu/bulan dan disisihkan di awal untuk dimasukkan dalam tabungan. Â Jika dibagi dalam 30 hari maka sehari kira-kira hanya 3 ribu rupiah saja.
Nominal yang sama dengan kita bayar parkir kendaraan bukan? Jadi kalau alasan tidak bisa menabung, sebenarnya bukan karena uang habis tapi memang karena tidak berniat atau memprioritaskan hal itu.
Tulisan ini tidak bermaksud menggurui atau menegur siapapun yang membaca, karena ini juga menjadi refleksi penulis secara pribadi agar bisa terus konsisten untuk menabung.Â
11 Maret 2024
-dny-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H