Sebagai contoh, siapa yang tidak kenal dengan perusahaan konsumer yang produk-produknya hampir dikenal dan dipakai oleh sebagian masyarakat Indonesia?
Saham perusahaan konsumer tersebut sebelum pandemi berada di kisaran harga 8000-10.000 rupiah/lembarnya, atau jika ingin berinvestasi maka kita harus menyediakan antara 800 ribu hingga 1 juta rupiah untuk mendapatkan setiap lotnya.
Penulis kemudian mencoba membeli beberapa lot sekitar akhir tahun 2019 di kisaran harga 8000-an karena itu harga cukup rendah saat itu (ingat ini tidak tahu lho kalau akan ada pandemi).
Tiba-tiba pandemi melanda dan hampir semua sektor mengalami dampak tanpa terkecuali dengan harga-harga saham bahkan dengan perusahaan terkenal tersebut.
Pada titik inilah, penulis dihadapkan pada kenyataan apakah berani menanggung kerugian atau cut loss lebih dari 50% dari modal atau justru menunggu atau bahkan menambah lagi di harga lebih murah? (berani untuk rugi)
Di saham lainnya (perusahaan tambang batubara) yang penulis miliki justru terjadi sebaliknya, penulis membeli saat pandemi dan kemudian dalam waktu kurang dari 6 bulan, penulis untung sekitar 20-30% dan itu keuntungan lumayan dalam waktu singkat.
Akan tetapi, alasan penulis merealisasikan keuntungan saat itu karena takut nantinya akan hilang keuntungan, maka segera merealisasikan keuntungan (seperti judul di atas takut untung).
Lalu apa yang terjadi? Saham perusahaan batubara tersebut melonjak hingga 300 % hanya dalam tempo kurang dari 2 tahun (rentang waktu yang sama yaitu 2020-2022).
Refleksi yang penulis ambil memang, kita tidak boleh menyesali keuntungan yang sudah didapat, namun juga belajar untuk bersabar, karena jika memang perusahaan itu bagus pasti akan berbalik dari kerugian menjadi keuntungan.
Takut kalau nanti keuntungan hilang sehingga segera merealisasikan keuntungan, padahal perusahaan tersebut masih terus bertumbuh.
Di sisi lain berani menanggung kerugian dan tetap menahan saham yang rugi serta tidak cut loss padahal perusahaan tersebut dalam kondisi tidak baik.