Pemilu menjadi pesta rakyat sebagai perwujudan demokrasiÂ
Pernyataan tersebut sering kita dengar bahwa pemilihan umum merupakan pesta rakyat karena merupakan momen dimana rakyat memilih pemimpinnya secara langsung.
Akan tetapi, pernyataan tersebut sebenarnya juga merupakan pertanyaan reflektif, apakah benar demikian yang terjadi?
Mengamati berita dan informasi yang ramai di media baik itu media massa maupun media sosial, maka kita akan disuguhi kisah yang bisa jadi menarik tapi juga membingungkan bagi masyarakat awam.
Bagi sebagian rakyat tentu menganggap kalau dulu ada partai politik atau elit partai tersebut berseberangan, maka akan demikian seterusnya.
Padahal dalam politik itu berlaku "tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada ialah kepentingan yang sama"
Hal inilah yang kadang menjadi membingungkan ketika ada tokoh atau partai politik yang bertahun-tahun sebelumnya berseberangan, tetapi pada pemilu 2024 mendatang bisa jadi menjalin kerja sama atau koalisi.
Bagi elit dan pemerhati politik, tentu itu merupakan hal yang wajar, karena politik memang dinamis dan cair.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan koalisi partai politik yang saat ini terbentuk bisa saja berubah menjelang pendaftaran capres dan cawapres pada bulan mendatang.
Bagi para elit partai politik di tataran atas, yang menyatukan mereka adalah kepentingan yang sama, tetapi belum tentu bagi masyarakat di tataran bawah.
Polarisasi dua kubu akibat pemilu sebelumnya juga masih menyisakan dampak bagi masyarakat, meskipun di tataran elit sudah selesai dengan bergabungnya kontestan capres dan cawapres sebelumnya ke dalam kabinet pemerintahan.
Hal inilah yang mendasari pernyataan reflektif di atas, benarkah pemilu itu pesta rakyat, atau jangan-jangan hanya elit yang berpesta dan rakyat hanya menjadi penonton?
Apakah ketika partai A koalisi dengan partai B, maka otomatis rakyat atau pendukungnya juga akan langsung berkoalisi?
Tentu persoalan koalisi antara elit dengan masyarakat bawah tidak serta merta selaras, karena bisa jadi kepentingan maupun persoalan yang muncul juga berbeda.
Belum permanennya koalisi antar partai hingga saat ini tentu menjadi tantangan, padahal pemilu 2024 kurang dari setahun lagi.
Ketika bangunan koalisi hingga kini belum pasti, maka bagaimana nantinya akan melakukan sosialisasi kepada masyarakat di bawah?
Apakah kemudian rakyat "terpaksa" harus menerima keputusan koalisi tanpa diminta pendapatnya, padahal mereka juga merupakan pemegang hak suara atau voters?
Memang ada yang berkata bahwa hasil survey oleh lembaga survey menjadi bentuk salah satu partisipasi rakyat untuk memberikan pendapatnya.Â
Akan tetapi, survey tersebut hanya memberikan gambaran awal tentu dibutuhkan pula saluran lain sebagai bentuk partisipasi lainnya bagi rakyat dalam menyuarakan aspirasinya.
Pemilu seharusnya bukan hanya memilih tokoh berdasarkan popularitas semata saja.
Akan tetapi, ide atau visi apakah yang diusung nantinya jika mereka terpilih, ini yang seharusnya juga dilakukan survey kepada masyarakat.
Berharap di waktu-waktu saat ini, koalisi antar partai politik segera terbentuk dan bukan menjelang akhir pendaftaran capres dan cawapres.
Dengan lebih awal mengetahui partai politik siapa saja yang berkoalisi, tentu membuat rakyat juga lebih "punya waktu" untuk mengetahui visi dan misi calon pemimpin mereka nantinya.
Jangan sampai yang terjadi justru hanya politik transaksional saja dan hanya dibicarakan di tataran elit partai politik.
Kembali kepada judul di atas, masihkah pemilu menjadi pesta demokrasi rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat?Â
Semoga ...Â
6 Juli 2023
dny
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H