Satuan Kredit Semester atau SKS merupakan penerapan sistem pembelajaran di pendidikan tinggi atau universitas. Tentu jika ini bisa dilakukan lebih awal di tingkat menengah khususnya SMA, mungkin bisa menjadi salah satu solusi bagi dunia pendidikan.
Jika model SKS ini diterapkan sejak sekolah menengah maka tentu akan menjadi kesinambungan yang baik antara jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Siswa dapat mulai fokus sejak SMA untuk belajar dengan jurusan yang akan dimasukinya saat dirinya menjadi mahasiswa nantinya.
Seringkali siswa SMA bahkan di jenjang akhir yaitu kelas XII mereka masih bingung akan kuliah di jurusan apa nantinya. Bahkan tidak hanya itu, ketika dengan kurikulum saat ini yaitu penjurusan dilakukan langsung di kelas X SMA (padahal mungkin mereka sendiri mungkin belum yakin dengan jurusan tersebut).Â
Pengalaman penulis sebagai seorang pendidik, akan lebih baik jika tidak ada pembedaan antara jurusan IPS, IPA maupun Bahasa. Hal ini karena dalam realita di lapangan, ketiga hal itu saling berkaitan satu dengan lainnya dan tidak terkotak-kotak atau terpisah.Â
Imej atau citra bahwa jurusan tertentu dianggap "lebih baik" dibandingkan jurusan lainnya, masih muncul hingga saat ini, meski seringkali disanggah. Akan tetapi, prakteknya tidak demikian dan inilah yang harusnya dikikis dan dihilangkan.
Sudah banyak contoh siswa yang sejak kelas X mengambil jurusan eksak misalnya, tetapi ketika kuliah mereka justru mengambil jurusan sosial bahkan mungkin bahasa. Lalu yang jadi pertanyaan penulis, buat apa sekolah 3 tahun belajar di jurusan eksak jika kemudian kuliah mengambil jurusan sosial?Â
Tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan menengah khususnya di jenjang SMA. Hal inipun yang kemudian dalam kurikulum prototipe diberikan solusi bahwa setiap siswa bisa mempelajari mata pelajaran eksak, sosial maupun bahasa selama di SMA tanpa harus terkotak-kotak dengan label jurusan.
Penerapan satuan kredit semester atau sks di tingkat SMA dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi tantangan atau masalah tersebut. Hal ini karena dengan model sks, maka siswa dapat memilih mata pelajaran yang akan mereka ambil serta pelajari, baik itu mapel sosial, eksak ataupun bahasa.
Dalam satu semester bisa jadi mereka akan belajar beberapa mapel kombinasi jurusan tersebut, misal mengambil mata pelajaran Fisika, Kimia dan Geografi. Tentu juga ada mapel-mapel wajib seperti Bahasa Indonesia, PPKn ataupun Pendidikan Agama yang juga harus diambil. Sebenarnya idenya mirip dengan jenjang perkuliahan, karena memang tujuannya adalah membangun kesinambungan.
Selain itu, dengan sistem sks ini "tidak lagi dikenal siswa tidak tuntas atau tidak naik kelas" tetapi yang ada adalah dia belum menuntaskan kompetensi di mata pelajaran yang diambilnya. Jadi bisa saja seorang siswa menempuh SMA lebih cepat yaitu hanya 2 tahun karena memang dia rajin dan mampu, tetapi bisa juga ada siswa yang menempuh 4 tahun misalnya karena mungkin sikap dan juga kemampuannya.Â
Harapannya ketika mereka lulus nantinya, maka mereka tinggal memperdalam ilmunya di jenjang pendidikan tinggi atau universitas. Tentunya ini dapat meminimalisir siswa untuk belum tahu jurusan yang akan diambil saat kuliah, karena sejak SMA mereka sudah mulai terkonsentrasi dengan minat yang akan mengarahkannya kepada cita-cita mereka.
Mungkin diantara para pembaca ada yang pro dan kontra dengan tulisan ini, tentu itu hal yang wajar. Entah itu karena siswa SMA masih belum siap memilih sendiri, atau kurang tepat penerapan sks di SMA atau hal lainnya. Justru itu yang penulis harapkan karena akan makin mempertajam dan mungkin dapat menjadi masukan untuk kurikulum ini nantinya.
12 January 2022
-dny-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H