Calistung atau baca, tulis dan hitung tanpa disadari menjadi dasar bagi setiap orang dalam menjalani kehidupan ini. Tentu untuk membaca dan menulis bagi sebagian orang menjadi hal yang mudah jika diminta melakukan, namun tidak demikian dengan berhitung. Bagi sebagian orang ketika mendengar atau membaca kata berhitung maka asumsi yang muncul ialah susah, sulit, malas, dan beribu alasan lainnya akan dimunculkan.Â
Padahal dari ketiga hal tersebut (baca, tulis, hitung) memiliki derajat yang sama dan satu sama lain tidak ada lebih sulit atau lebih mudah, karena ketiganya saling terkait dan dibutuhkan oleh kita dalam kehidupan sehari-hari.
Matematika, menjadi mata pelajaran yang selalu dikaitkan dengan berhitung dan ketika ditanya pertama kali kepada sebagian besar siswa tentang pelajaran ini, maka hampir dipastikan kata susah dan sulit yang muncul dari mulut mereka. Padahal, berhitung bukan milik matematika, ekonomi ataupun ilmu eksakta lainnya saja, tapi seharusnya merupakan milik setiap individu yang pernah mengecap pembelajaran.Â
Memahami kecerdasan seseorang memang tidak dapat serta merta dari segi kognitif atau pengetahuan secara akademik saja, namun ada berbagai kecerdasan lainnya yang juga patut dimiliki oleh setiap orang. Hal inilah yang seharusnya menjadi pola pikir bersama untuk dirubah bahwa tidak ada pelajaran yang sulit dan mudah, tetapi setiap orang memiliki bagian dan kecerdasan masing-masing, namun tetap harus memiliki fondasi calistung ini.
Kecerdasan Finansial merupakan salah satu kecerdasan yang sangat dibutuhkan bagi setiap orang saat ini, terlebih dengan berbagai kemudahan teknologi yang ada. Untuk menjadi cerdas finansial, tentu harus juga memahami tentang finansial atau memiliki literasi finansial secara tepat baik konsep maupun prakteknya.Â
Mendengar kata finansial, maka bukan berarti milik dari para ekonom, bankir ataupun mereka yang hanya belajar berhitung seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Seperti penjelasan yang ditampilkan bahwa literasi finansial merupakan pengetahuan atau kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep, resiko dan ketrampilan dalam bidang finansial.Â
Dalam lingkup sederhana sebagai individu saja, maka kita sebenarnya sudah mempraktekkan literasi finansial ini, namun terkadang tidak disertai dengan pemahaman resiko maupun pemahaman yang lengkap, salah satu contohnya ialah rajin menabung maka kamu akan kaya.Â
Pemahaman tersebut jika ditelan mentah-mentah berarti kita harus rajin menabung di bank atau lembaga keuangan lainnya maka kita pasti kaya dari bunga yang didapat.Â
Tentu hal tersebut tidak salah, tetapi juga kurang tepat jika dikatakan kita sudah memahami tentang literasi finansial dan hanya berhenti di kegiatan menabung saja. Makin kita mendalami tentang literasi finansial, maka sudah pasti kita akan meningkat tidak hanya menjadi nasabah atau penabung saja, tetapi belajar untuk menjadi investor.Â
Investasi menjadi kata kunci dalam literasi finansial yang harus didengungkan sehingga tidak lagi muncul slogan rajin menabung tapi rajin berinvestasi. Apapun kegiatan yang kita lakukan, maka pola pikir kita adalah tentang investasi bukan hanya menabung saja, tetapi bagaimana ada penambahan dari modal yang ada, karena itulah tujuan dari kegiatan berinvestasi.Â
Bentuk investasi itu misalnya deposito, tanah, reksa dana, saham, properti / rumah. Jika kegiatan investasi ini sudah menjadi pola hidup bagi setiap orang di masyarakat tersebut, maka dapat dikatakan literasi finansial sudah berjalan dengan baik.Â
Menarik juga ketika literasi finansial sudah mulai menjadi gerakan dari kementrian pendidikan dan kebudayaan saat ini. Ditambah lagi, pemimpin puncak yaitu menteri pendidikan juga adalah orang yang sangat memahami tentang finansial dan ini yang dapat menjadi poin plus agar literasi finansial ini tidak hanya berhenti pada konsep atau teori saja, tetapi sampai juga pada prakteknya.Â
Memasukkan dalam kurikulum ataupun dalam kompetensi dasar di beberapa mata pelajaran yang erat kaitannya dengan finansial menjadi langkah awal bagi kesuksesan literasi finansial pada generasi muda saat ini.Â
Dengan kata lain, sejak dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, mereka sudah memahami apa itu investasi, dan bagaimana profil resiko maupun keuntungannya, sehingga sedari dini mereka juga diajarkan untuk menjadi investor individu.Â
Bahkan, bisa juga untuk siswa kelas menengah (SMP / SMA) hal tersebut menjadi salah satu penilaian ketrampilan (psikomotorik) yaitu berapa pertambahan modal mereka dalam setahun pembelajaran di kelas atau grade itu. Selain diajari menjadi investor mereka juga diajar untuk bertanggung jawab kepada apa yang dimiliki dan tidak bersikap boros atau bahkan konsumtif.
Jadi perlukah Literasi Finansial masuk kurikulum pendidikan? Tidak ada salahnya untuk mulai dipertimbangkan, bukankah sekarang slogan dalam dunia pendidikan adalah "Merdeka Belajar"?Â
8 Feb 2020
-dny-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H