Aku terbangun dengan kepala yang berdarah. Pusing yang luar biasa langsung menyergap begitu mata terbuka. Tertatih-tatih, aku mencoba berdiri melihat ke sekeliling. Laut sudah tenang. Gelap malam meluruh sejauh pandang. Tak ada bekas amukan badai sama sekali di sana. Beda dengan keadaan perahu yang carut-marut. Air masih menggenang di geladak, namun hanya semata kaki. Lubang akibat benturan dengan batang pohon tadi rupanya sudah cukup tertutup, membuat keadaan perahu jadi setimbang. Hanya ada satu keanehan. Aku tak melihat Bapak di mana-mana.
Spontan, aku berteriak sekencang-kencangnya ke segala arah, memanggil-manggil Bapak. Kepalaku kembali berdentam-dentam seiring denyut jantung yang terpacu. Namun tak ada jawaban ataupun tanda keberadaannya. Gelombang besar yang menghempaskanku tadi pasti juga ikut menghempaskan Bapak ke air. Dan aku tak bisa menolongnya. Bapak telah hilang ditelan samudra.
Menyadari itu, air mata langsung meleleh tanpa henti beriringan dengan ratapanku. Aku terhuyung dan jatuh terduduk di atas geladak. Penyesalan akan pertengkaranku dan Bapak siang tadi langsung datang menghantui. Satu-satunya orang yang kusayangi telah pergi dan aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal, mengucapkan maaf. Sekarang hanya ada aku dan samudra. Aku tak akan pernah bahagia lagi.Â
Rasi bintang pari bersinar terang di selatan, mengantar kenanganku kembali datang. Dadaku sesak mengingat bagaimana sayangnya Bapak padaku, anak semata wayangnya. Kami telah menjelajahi banyak lautan dan samudra. Melihat segala macam keunikan dunia dari ujung barat sampai ujung timur. Sekarang, aku tak tahu harus ke mana.
Emosi yang hanya bisa tersalurkan lewat ratap tangis membuatku lelah dan tertidur pulas. Sampai suara berisik di haluan membangunkanku keesokan paginya.
Aku mendapati empat ekor dara-laut berketak-ketuk di atas kayu ketika membuka mata. Mereka membawa sesuatu, sebuah keranjang rotan yang dilapisi kain putih dengan corak kotak-kotak. Tak lama setelah aku mencoba duduk, mereka lantas terbang satu persatu, meninggalkan perahu dan keranjang itu. Dari tempatku berbaring, aku bisa melihat ada tangan mungil yang bergerak-gerak di dalam keranjang. Tangan seorang anak manusia. Terkejut, aku lekas berdiri dan menemukan seorang bayi laki-laki dengan warna mata sebiru lautan menatapku dari peraduannya. Bibirnya yang kecil terbuka, tertawa selebar-lebarnya begitu melihatku.Â
Aku mematung karena tak percaya pada apa yang kulihat. Kenangan akan Bapak mulai muncul lagi. Kata-katanya yang menemaniku tumbuh besar kuputar lagi di kepala. Lalu tanpa sadar, mulutku membuka, menyebutkan satu kata yang selalu terucap dari mulut Bapak.
"Bujang?"
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H