Mohon tunggu...
daniswanda
daniswanda Mohon Tunggu... -

Seorang penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Perahu Bapak

30 Agustus 2016   12:55 Diperbarui: 31 Agustus 2016   01:27 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: pixabay.com

Aku mengerutkan dahi, mencoba menangkap bentuk si pemburu yang Bapak bilang. Lamat-lamat, ia menampakan dirinya. Seorang lelaki tangguh sedang mengangkat perisai dan menghunus pedang. Gagah bukan main. Mataku tak berkedip memandangnya. Lekas saja aku berfantasi menjadi pemburu gagah berani yang sedang bertarung dengan Macan Kumbang. Alangkah perkasanya diriku di sana.

Sayangnya, tak berapa lama kemudian, awan kelabu mulai menyelimuti. Seperti tirai yang menyudahi pentas di panggung langit. Bapak juga sudah mendengkur di sebelahku, pertanda cerita malam ini telah berakhir. Meninggalkan aku yang masih terjaga memandangi arakan awan dengan senyum masih mengembang di wajah. Ternyata bahagia itu sederhana. Aku hanya butuh Bapak, langit dan samudra. Itu saja.

Cahaya mentari pagi lembut menyapa wajahku yang masih mengantuk. Seperti biasa, begitu mata terbuka aku langsung mencari sosok Bapak di atas perahu. Akan tetapi dia tak kutemukan kali ini. Panik, aku langsung bangkit berdiri mencari Bapak. Setelah mataku berhasil menyesuaikan diri dengan terang, aku mendapati hamparan pasir dan deretan pohon kelapa terbentang di hadapan. 

Ternyata kami terdampar di sebuah pulau, entah pulau apa ini. Sepertinya hampir tak berpenghuni. Kukatakan "hampir" karena di bibir pantai aku melihat Bapak sedang bercakap-cakap dengan seseorang. 

Mungkin dia satu-satunya penduduk pulau ini. Lawan bicara Bapak itu berbadan gemuk dan kulitnya cokelat kusam. Kepalanya tidak seperti kepala manusia pada umumnya, tidak seperti kepalaku dan Bapak. Jungurnya yang panjang ditenggeri beberapa helai kumis yang tak kalah panjangnya. Mirip moncong binatang. Telinganya pun lebar-lebar. Aku penasaran. Apa yang Bapak bicarakan dengan orang itu? Tak berapa lama, orang asing itu  menoleh ke arahku. Sontak ada rasa tak suka yang tumbuh di dada. Tak tahu mengapa. 

Aku baru paham kalau orang itu hendak ikut naik ke perahu kami setelah ia dan Bapak  berjalan mendekat. Dari dekat, aku makin tak menyukai orang itu. Lirikan matanya yang mencoba ramah seperti sedang berpura-pura. Buru-buru aku merapat ke arah Bapak, memeluk kakinya erat-erat.

"Tak usah takut, Bujang. Abang ini cuma mau menumpang sampai pulau seberang." Begitu Bapak menenangkanku. Namun tetap saja aku tak melepaskan pelukan, malah semakin kencang aku merangkul kaki Bapak. Bola mataku mengawasi lekat lelaki aneh itu. Aku tahu ada sesuatu yang tak beres dengannya. Mengapa Bapak tidak curiga?

Kami menunggu malam turun untuk berangkat. Waktu seharian itu Bapak pakai untuk memanen buah kelapa segar dan mengangkutnya ke perahu. Sedangkan aku sibuk mengumpulkan berbagai macam cangkang kerang dengan motif warna-warni di pesisir pantai. Sepanjang hari pula, orang asing yang hendak ikut perahu kami hanya bersantai-santai di bawah pohon kelapa. Sesekali kulihat ia mengawasi keberadaan Bapak dan aku. Namun tak terlalu kuacuhkan.

Malamnya, tak butuh waktu lama bagi perahu kami untuk kembali mencapai tengah lautan begitu layarnya mengembang. Angin darat yang bertiup cukup kencang sangat membantu kelancaran pelayaran kami. Orang berkepala janggal itu duduk di dekat kemudi sambil menyulut lintingan daun enau dan menghisapnya dalam-dalam. Matanya mengawasi Bapak yang sedang menyiapkan pukat dari antara kepulan asap tembakau. Dia tak berbicara sepatah kata pun semenjak naik ke perahu.

Rupanya laut sedang bermurah hati pada Bapak malam itu. Dalam tempo singkat, jaring jalanya sudah terisi oleh berbagai macam jenis ikan. Kakap, kembung, cakalang, kuwe melimpah ruah di geladak.

"Ini hari baik, Bujang," kata Bapak singkat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun